MATA Laksamana Cheng Ho menatap tajam ke samudera yang luas. Tugas dari Dinasti Ming untuk menguatkan pengaruh China di mata bangsa lain, wajib ia tunaikan. Ia membawa begitu banyak sarjana, penulis, dan duta besar untuk ditempatkan di kerajaan yang bakal ia singgahi dalam pelayaran panjangnya nanti. Cheng Ho sudah menyiapkan peti-peti untuk mengangkut kekayaan negara lain yang bakal menjadi bentuk perniagaan yang akan dilakukan Dinasti Ming.
Untuk keperluan itu, Cheng Ho membawa sedikitnya enam puluh dua kapal mahabesar. Satu kapal rata-rata punya panjang 152 meter dengan lebar 52 meter. Jika semua kapal itu sedang berlayar, para sejarawan melukiskan armada besar itu bak kota terapung. Jika dibandingkan dengan kapal Sao Gabriel milik Vasco da Gama, kapal Portugis itu tidak ada apa-apanya. Kapal milik da Gama cuma berpanjang 23 meter dengan lebar 5 meter. Kapal Vasco da Gama cukup ditempatkan di satu geladak dari satu kapal laut milik armada milik anak Haji Ma itu. Kapal milik Cheng Ho juga berlapis-lapis. Ada kapal pemasok, kapal logistik, dan kapal perang. Kapal baochuan dianggap oleh para sejarawan sebagai kapal kayu paling besar yang pernah diluncurkan manusia.
Cheng Ho memulai muhibah baharinya pada 1406 hingga 1407. Bahtera laut itu mulai meninggalkan Nanjing dengan membawa jutaan porselen, rempah-rempah. Cheng Ho menyinggahi banyak negara dan pelabuhan penting di sepanjang pelayaran yang ia daraskan, dan Ma Huan menuliskan setiap detail cerita soal kemahsyuran Cheng Ho—kasim yang sudah dikebiri itu.
Cheng Ho membuka akses buat Ming dalam perdagangan dengan Samudera Hindia sebagai jalur utamanya. Ia juga memberikan hadiah kepada kuil Buddha sebagai wujud toleransi beragamanya yang kental. Di semenanjung Afrika, Cheng Ho juga menerima binatang eksotis khas Benua Hitam, seperti zebra, singa, dan burung unta dari sultan di Aden. Satu-satunya pertempuran darat dilakukan pasukan Dinasti Ming ialah di Sri Lanka saat seorang penguasa pemberontak Buddha di sana menyerang tentara Cheng saat turun ke darat. Di luar itu, Cheng Ho menjadi duta peradaban yang luar biasa. Ia menempatkan manusia pada derajatnya yang tertinggi. Ia juga belajar kearifan lokal dari semua kota yang disinggahi.
Di Indonesia, Cheng Ho menyempatkan diri menuju beberapa gunung berapi. Ia kumpulkan belerang sebagai bahan mentah untuk pembuatan obat, bahan kimia, dan bubuk mesiu yang diracik ilmuwan China. China juga mengimpor hampir separuh komoditas berpengaruh dunia: logam industri, cendana, gading, dan rempah-rempah.
Pelayaran terakhir laksamana muslim ini berakhir di pantai Swahili, Afrika, dengan tambahan perjalanan ke kota suci Mekah.
Cheng Ho memang tak secara fisik ke Mekah. Karena ia seorang Laksamana Dinasti Ming, membuatnya tak dapat berlutut di hadapan takhta raja asing. Ia mengutus "jurnalisnya", Ma Huan, ke sana. Cheng menunggu di Kalkuta. Itu terjadi pada 1432. Ma Huan melaporkan kepada Cheng Ho: setiap tahun pada hari ke-10 bulan ke-12, kaum muslim dari negeri asing...datang beribadah. Kaum pria memakai baju panjang, sedangkan kaum perempuan memakai penutup kepala sehingga Anda tak bisa melihat wajahnya. Cheng Ho, oleh para sejawaran, diprediksi meninggal dalam perjalanan pulang, dan dimakamkan di laut pada 1431 hingga 1433.
Ia menemukan apa yang ia cari sepanjang hayatnya. National Geographic menulis: bukan seorang prajurit haus darah yang berakhir di medan perang, tetapi seorang visioner perdamaian yang pengabdiannya berakhir di lautan, dalam kabut tipis kebiruan.
Nunung Nurdiah, guru di Bandar Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment