Monday, November 15, 2010

[Teroka] Pembelajaran di Balik Gunung

-- Tjahjono Widijanto

DALAM banyak kebudayaan tradisional, gunung tidak sekadar dianggap sebagai fenomena alam yang ada begitu saja karena hukum alam. Namun, ia juga berkaitan dengan posisinya sebagai ”pusat” dari sebuah kosmos. Sebagai simbol kosmologis, gunung dianggap memiliki makna metafisik sebagai tempat pusat dunia—tempat di mana bertemunya surga dan bumi. Dalam makna dan posisinya sebagai axis mundi itu, gunung menjadi pilihan ideal untuk meletakkan atau membuat kota suci, kuil, candi, sanggar, pedepokan, atau sarana peribadatan.

Pandangan tersebut terdapat di berbagai kebudayaan seluruh dunia. Orang India percaya bahwa Gunung Mahameru merupakan pusat dunia yang di atasnya bersinar bintang utara. Orang Iran percaya bahwa gunung suci Haraberezaiti (Elbruz) berada di pusat bumi dan berhubungan dengan surga. Menurut tradisi Islam, titik tertinggi di bumi adalah Kabah. Sedangkan dalam tradisi Kristen, Gunung Golgotha diberi kedudukan sebagai pusat dunia.

Dalam kebudayaan purba Babylonia, gunung pun memiliki posisi yang cukup sentral dalam menyampaikan pemahaman dan keyakinan kosmologik masyarakatnya. Nama-nama gunung disebut-sebut dalam kuil dan menara suci Babylonia sebagai ”Rumah Gunung bagi Seluruh Bumi” dan gunung sebagai ”Penghubung Surga dan Bumi”. Bahkan, bagi kebudayaan Babylonia, Gunung Babylon dianggap sebagai ”gerbang dewa” (Bab-ilani), tempat di mana para Dewa turun ke bumi.

Gunung di Jawa

Gunung sebagai citra kosmos juga digunakan oleh orang Jawa pada, misalnya, Gunung Merapi di Yogyakarta. Merapi merupakan simbol bapak (laki-laki) yang bersanding dengan Laut Selatan sebagai simbol ibu (perempuan), keduanya merupakan dua unsur berbeda yang menjaga keseimbangan dunia. Di tengah-tengahnya Sultan sebagai raja berdiri sebagai poros dari dua kekuatan alam yang dahsyat itu.

Konsep ini diwujudkan dalam penempatan bangunan keraton yang berada di tengah garis lurus yang menghubungkan Merapi dan Laut Selatan. Dan, untuk lebih menegaskan kosmologi ini, raja-raja Yogya pun memakai gelar yang bermakna dua arah: Sultan Hamengku Buwono (memangku jagat/dunia) sekaligus Sayidin Panatagama Khalifatullah (pemuka/penata agama dan wakil Tuhan).

Posisi gunung yang sentral dalam kosmologi orang Jawa ini diekspresikan dalam berbagai bentuk atau produk kebudayaannya. Salah satunya simbol gunungan atau kekayon, perangkat yang biasa digunakan sebagai pembuka dan penutup cerita dalam seni wayang kulit.

Gunungan dalam konteks wayang menunjukkan proses awal sekaligus akhir dari aneka peristiwa kehidupan di semesta. Tanpa gunungan tak akan ada lakon, tak ada kosmos yang tercipta, tak ada kehidupan yang terjelma. Pemaknaan serupa kita dapatkan pada bangunan candi-candi, seperti Candi Borubudur yang sengaja dibangun dengan pola mirip gunung buatan (ziggurat).

Dalam cerita Jawa, Gunung Lawu di Jawa Timur merupakan tempat pilihan Brawijaya, raja terakhir dari Kerajaan Majapahit, mengundurkan diri dari hiruk pikuk kekuasaan dan duniawi.

Di Gunung Merapi, dalam konteks axis mundi bagi masyarakat dan Keraton Yogyakarta, dilakukan ritual budaya Labuhan Merapi. Prosesi labuhan merupakan cara masyarakat di sekitar gunung itu menyampaikan rasa terima kasih mereka kepada Merapi yang dipercaya telah memberikan rezeki (kehidupan).

Pembelajaran

Pada titik ini, gunung sebenarnya menjadi pembelajaran bagi kita—yang menyebut diri manusia modern—tentang bagaimana hidup—semestinya—berlangsung dalam harmoni antara nafsu manusia dan kebutuhan alam yang ada di sekitarnya.

Pengertian dan praksis hidup seperti itulah yang belakangan ini tidak hanya memudar, tetapi telah hilang, bahkan hubungan itu beralih menjadi semacam eksploitasi di mana manusia merasa dirinya berkuasa, termasuk untuk memperdaya, memerkosa, dan menghina alam di sekitarnya. Kerusakan yang terjadi adalah konsekuensi tak terelakkan dari sikap manusia yang menyebut dirinya modern itu.

Mengapa kearifan tradisi masih juga tidak menjadi pelajaran buat kita? Berapa bencana lagi harus terjadi hingga kita mau memahami dan menjalaninya? Jawaban itu semestinya datang dari Anda, kita semua.

Tjahjono Widijanto, Penyair dan Esais, Menetap di Ngawi, Jawa Timur

Sumber: Lampung Post, Senin, 15 November 2010

No comments: