Sunday, November 28, 2010

Drama Musikal: Menonton Penonton Onrop!

-- Agus Noor

HARAPAN, gairah, dan kerinduan itu terasa selama sembilan hari pertunjukan Onrop! yang berlangsung 13-21 November lalu, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Berada di antara para penonton, kita bisa ikut merasakan kegembiraan mereka, yang ikut bertepuk, menyanyi, dan tertawa, sepanjang pertunjukan drama musikal yang disutradarai Joko Anwar itu. Inilah tontonan, yang terasa pas dengan para sosialita dan kelas menengah Jakarta, yang merindukan ”hiburan alternatif”, di luar film dan konser musik yang berlimpah.

Onrop (ERIEKN JURAGAN)


Sebagai sebuah tontonan, Onrop! memang telah memuaskan banyak penonton. Tapi, menyaksikan gairah para penonton tersebut, juga menjadi tontonan tersendiri. Setidaknya bagi saya: seperti menonton penonton yang punya kelas sendiri. Penonton yang ingin mengidentifikasikan selera dan minatnya terhadap bentuk pertunjukan yang mereka tonton.

Situasi itu mengingatkan saya pada masa-masa ketika Teater Koma muncul dan menjadi alternatif pertunjukan yang banyak ditonton publik Jakarta. Kemunculan Teater Koma, selain pencapaian artistik yang mereka kembangkan, tidak bisa dilepaskan dari tumbuhnya selera penonton kelas menengah yang kemudian menjadi basis penontonnya. Teater Koma mampu mengisi ”ruang kosong” dunia pertunjukan dan hiburan yang sesuai dengan selera kelas menengah Jakarta. Seperti ditengarai Jakob Sumardjo, yang mencatat sejarah pertunjukan teater di Indonesia, pertumbuhan panggung teater di negeri ini memang tak bisa dilepaskan dari dinamika dan perubahan selera yang terjadi di kelas menengah perkotaan.

Ekspresi budaya kota

Perlu dicatat, pada periode kemunculan Teater Koma itu, pentas-pentas seni tradisi terasa semakin tidak mendapat tempat, terpinggirkan, dan ditinggalkan penonton, seakan panggung pertunjukan tradisi itu tak lagi mewakili ekspresi budaya perkotaan yang tengah berubah. Publik penonton kelas menengah seakan ”merindukan” bentuk pertunjukan yang lebih segar dan baru. Karena itu, kemasan teater modern, dengan nyanyian dan struktur dramaturgi yang terencana rapi, yang dikembangkan Teater Koma dalam pentas-pentasnya (mulai dari Opera Julini, Opera Ikan Asin, sampai Burisrawa) seolah menjadi bentuk pertunjukan yang cocok dan sesuai dengan pertumbuhan selera penonton kelas menengah Jakarta itu. Dengan formulasi komedi, satir, kritik sosial, nyanyian dan tata artistik pemanggungan yang tergarap dengan baik, pentas-pentas Teater Koma kemudian menarik hasrat penonton untuk mendatangi gedung teater.

Dengan formulasi pertunjukan yang tak jauh berbeda dengan Teater Koma itu, pertunjukan drama musikal Onrop! bisa langsung tune in dengan penonton. Berkisah tentang Bram, penulis novel, yang cemas dan tertekan karena lingkungan sosial yang mulai menerapkan ”standar moralitas bagi setiap warga negaranya”, Onrop! seperti mengingatkan bahaya otoritarianisme berkedok moralitas yang kini terasa mengancam kehidupan yang penuh cinta dan toleransi. Bram, yang dianggap melanggar moralitas, akhirnya dihukum buang ke Pulau Onrop, sebuah pulau yang angker dan mengerikan, tempat di mana para penjahat yang mengancam ketertiban moral dibuang dan diasingkan. Tapi pada kenyataannya, Pulau Onrop tidaklah sebagaimana yang digambarkan oleh penguasa moral, hakim-hakim moral.

Kita tak hanya mendapatkan bentuk hiburan yang tergarap dengan baik secara artistik dan dramatik, tetapi juga (ini yang penting) komunikatif dan lumayan reflektif. Penonton menemukan hiburan yang secara artistik sesuai dengan selera mereka, sekaligus memperoleh peluang untuk mengenali apa yang menjadi persoalan dan kegelisahan bersama.

Cerita yang ringan, dengan struktur penceritaan yang populer, menjadikan alur pertunjukan bisa mengalir lancar. Humor seputar seksualitas, dan sentilan sosial atas isu-isu aktual, dengan gampang memancing tawa penonton. Dan inilah yang membuat Onrop! terasa akrab, dekat dan komunikatif. Tema soal ”ornopgrafi dan ornopaksi” juga merupakan tema yang langsung menjadi kegelisahan para penonton yang modis dan wangi itu. Onrop! seperti mampu mengartikulasikan kegelisahan, kecemasan, sampai kejengkelan mereka terhadap ancaman ”otoritarianisme” moral yang langsung bersentuhan dengan gaya hidup mereka.

Mengaitkan Onrop! dengan karakter dan antusiasme penonton yang menyertainya, tak bisa dilepaskan dari banyaknya drama musikal yang belakangan ini banyak digelar di Jakarta. Bisa dicatat pementasan Gita Cinta The Musical (Ari Tulang, diproduksi ArtSwara), yang digelar 19-21 Maret di Graha Bakti Budaya, TIM. Kemudian Jakarta Love Riot (Rusdy Rukmarata-EKI Dance Company) yang digelar 2-4 Juli di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ); Diana (Garin Nugroho-Kompas) Balai Sidang, Senayan, 7-8 Juli; Dreamgirls (Frida Tumakaka, Alicia Kasih-Jakarta Broadway Team) Balai Kartini, Jakarta, 17-18 Juli 2010. Dan yang juga terasa antusias ditunggu oleh publik Jakarta, yang sebentar lagi digelar: Laskar Pelangi (Riri Reza).

Di luar pertunjukan musikal yang disebut itu, sudah tentu masih banyak lagi pertunjukan yang telah menjadi bagian ingatan penonton Jakarta. Terus terang, saya tak menonton semua pertunjukan itu. Tetapi rasanya pertunjukan Onrop! itulah yang seakan mampu memperlihatkan gairah dan antusiasme penonton kelas menengah Jakarta terhadap fenomena drama musikal. Tak berlebihan apabila kita berharap, andai saja Joko Anwar atau yang lain mau secara kontinu memproduksi drama musikal, maka antusiasme penonton itu akan makin terbentuk dan menjadi penopang industri pertunjukan seperti ini. Persoalan terbesar yang sering bikin ngeper adalah biaya produksi yang tinggi. Juga tiket yang akhirnya menjadi mahal.

Soal tiket yang mahal itu, saya ingat sebuah joke: bila bikin pertunjukan di Jakarta, semakin mahal tiketnya, justru semakin diburu. Karena sering kali terjadi, tiket yang pertama kali ludes atau habis terjual justru tiket yang paling mahal, bukan yang kelas festival. Joke itu mungkin menggambarkan minat dan antusiasme penonton kelas menengah itu: yang butuh hiburan bagus, tak soal tiket mahal.

Jadi, jangan khawatir. Ayo terus bikin drama musikal!

Agus Noor, Cerpenis dan Penulis Naskah Monolog

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

No comments: