Judul buku : Panggilan Rasul
Pengarang : Hamsad Rangkuti
Penerbit : KPG
Cetakan : September 2010
Halaman : vi + 111 hlm
PULUHAN tahun mengabdi di ranah penulisan cerpen telah menempatkan Hamsad Rangkuti dalam gerbong terdepan sastra Indonesia. Tak lengkap bila tak menyebut nama beliau dalam deretan cerpenis terkemuka Indonesia beberapa dekade belakangan ini.
Penikmat dan pengamat cerpen-cerpen Hamsad, tentu sudah familiar dengan ciri khas cerpen beliau yang realis, terselip nuansa satir atau ironi yang dipadu dengan suasana komedi. Tema-tema yang ditawarkan memang sederhana, acap berangkat dari hal-hal remeh di kalangan masyarakat kecil, namun diolah menjadi cerita yang memikat oleh Hamsad. Mayoritas persoalan dan penokohan yang digunakan adalah persoalan keseharian kaum menengah ke bawah yang kadang luput dari pengamatan kita.
Menjelang akhir tahun, Penerbit KPG merangkum empat belas cerpen bernuansa islami karya beliau dan menerbitkannya dengan titel Panggilan Rasul. Tak ada yang baru dalam kumpulan cerpen ini. Buku ini menjadi semacam daur ulang karena sebagian besar cerpen sudah pernah termuat dalam antologi-antologi sebelumnya. Yang membedakan mungkin nuansa religiusnya yang lebih spesifik, di mana mayoritas cerpen bertema suasana lebaran atau puasa.
Cerpen Panggilan Rasul yang menjadi judul buku ini berkisah tentang keluarga di sebuah kampung yang tersirap mitos tentang khitan. Dua anak sebelumnya meninggal ketika disunat, dan ketika anak ketiga hendak dikhitan, mereka khawatir akan bernasib sama. Hamsad meredakan suspens dalam cerpen ini dengan humor khasnya.
Yang cukup menarik, cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji bercerita tentang guru mengaji yang karena tuntutan ekonomi beralih pekerjaan menjadi tukang baca doa di kuburan. Istrinya yang gemar membanding-bandingkan manusia, merujuk tetangganya yang lebih dulu jadi tukang baca doa di kuburan. Guru mengaji itu menyerah dan mengikuti kemauan istri, meski hatinya tak sepenuhnya menerima. Takdir dan dedikasinya sebagai guru mengaji akhirnya mengantar beliau naik haji, lewat sebuah keluarga yang minta dibacakan doa saat ziarah. Hampir sama dengan cerpen ini, Si Lugu dan Si Malin Kundang atau Karjan dan Kambingnya pun memadukan yang satir, ironis, sekaligus menggelikan.
Ihwal malam lailatulqadar menjadi berbeda di tangan Hamsad Rangkuti. Cerpen Lailatul Qadar dan Malam Seribu Bulan, misalnya. Versi tokoh-tokoh dalam cerpen ini adalah ketika tugu Monas merunduk dan emas di puncaknya bisa dicungkil oleh orang-orang kecil atau berupa jodoh dalam perjalanan mudik.
Sementara cerpen Reuni (1994) menjadi semacam sekuel dari cerpen Malam Takbir (1993), ketika para tokohnya bertemu kembali setahun kemudian. Namun kali ini akhir ceritanya terasa lebih mengenaskan bagi tokoh aku. Cerpen yang lebih terasa personal berdasarkan pengalaman pribadi Hamsad, mungkin ada dalam Antena yang sebagian paragrafnya akan mengingatkan kita pada Taufik Ismail dan SCB. Juga pada cerpen Pedagang Kacang dari Berenun.
Hamsad Rangkuti, kelahiran Titikuning 7 Mei 1943, kerap menerima penghargaan lewat tulisan-tulisannya. Tahun 2007, dia menerima pengharaan SEA Write Award untuk kumpulan cerpen Bibir dalam Pispot. Sejumlah bukunya yang lain, seperti Sampah Bulan Desember, Lukisan Perkawinan, dan Aisyah di Balik Tirai Jendela.
Empat belas cerpen yang terangkum dalam buku ini semua pernah termaktub dalam sejumlah antologi bersama, seperti Malam Takbir dan Reuni yang ada dalam kumcer Kurma (kumpulan cerpen puasa dan Lebaran) yang diterbitkan Kompas. Ada juga yang lebih dulu dimuat dalam antologi bertema sama, Mudik (Bentang).
Pendekatan religius dalam tema-tema cerpen Hamsad, pun yang termaktub dalam kumpulan kali ini, tidak membiarkan cerpen-cerpennya terpenjara dalam pesan moral atau religius, namun justru membentangkan sudut pandang lain yang humanis bagi pembacanya.
Arman A.Z., cerpenis
Sumber: Lampung Post, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment