Sunday, November 14, 2010

Sastra dan Ideologi Nasionalisme

-- Tjahyono Widarmanto

OBJEK semua karya sastra adalah realitas. Griffith menegaskan bahwa sastra merupakan ungkapan dari pribadi yang menulisnya.

Kepribadian, perasaan, respons, pandangan hidup atau keyakinan pengarang akan selalu mewarnai karya yang diciptakannya. Ideologi sebagai sebuah sistem berpikir normatif yang diyakini pengarang, secara langsung maupun tak langsung, sadar maupun tak sadar, akan memengaruhi karya sastra. Sastra dapat menyuarakan ideologi yang diyakini pengarangnya. Ideologi yang muncul dalam teks sastra tak hanya berupa sikap pandangan ideologis pengarangnya. Namun,bisa pula melalui teks sastranya tersebut pengarang memunculkan berbagai tafsiran bahkan menawarkan wacana tandingan atas sebuah ideologi. Dalam situasi demikian, pengarang akan memunculkan berbagai tawaran sebagai bentuk counter-ideology terhadap sebuah ideologi tertentu.

Nasionalisme merupakan sebuah ideologi yang menyatakan kesetiaan dan pengabdian individu harus diserahkan pada bangsa. Kelahiran nasionalisme bisa dari kesadaran kolektif, bisa pula kesadaran akibat rekayasa oleh yang berkuasa kepada yang direkayasa, atau bisa pula sebagai reproduksi makna. Contoh nasionalisme yang muncul akibat kesadaran yang direkayasa dan dikonstruksi oleh kelompok dominan untuk kelompok subordinat bisa dilihat pada ideologi nasionalisme yang ada di Indonesia.Pidato-pidato Bung Karno pada awal kemerdekaan Indonesia merupakan wujud konstruksi nasionalisme yang dibangunnya demi sebuah bangsa, yang disebut Benecdit Anderson sebagai komunitas imajinasi.

Nasionalisme dalam Sastra Indonesia

Sastra yang menyuarakan ideologi nasionalisme bukan barang baru dalam khazanah kesusastraan dunia. Persoalan nasionalisme di Indonesia merupakan lahan inspirasi yang subur bagi penciptaan karya sastra. Bahkan, identitas kenasionalan karya sastra merupakan isu yang panas dalam menentukan kelahiran sejarah sastra Indonesia.Itu berarti, nasionalisme bukan saja hadir sebagai sumber inspirasi belaka namun sekaligus hadir sebagai penanda eksistensi terhadap keindonesiaan sebuah karya sastra. Ajip Rosidi menegaskan bahwa kesadaran kebangsaan itulah yang menjadi pembeda antara kesusastraan Melayu dengan kesusastraan Indonesia.

Kesadaran kebangsaan ini sebenarnya merupakan persoalan politis. Hal itu juga menunjukkan bahwa persoalan sastra Indonesia tak dapat dilepaskan dari persoalan politik. Ideologi nasionalisme menjadi isu penting bagi para sastrawan Indonesia sebenarnya muncul lebih dahulu sebelum keindonesiaan itu sendiri dirumuskan. Cita-cita bangsa yang berdaulat jauh lebih dahulu muncul dibandingkan persoalan batas-batas kewilayahan. Muhamad Yamin di tahun 1921, melalui puisinya Bahasa, Bangsa, merindukan tanah airnya: /…di mana Sumatra, di situ bangsa/di mana perca, di sana bahasa/Andalasku saying,jana benjana…/.

Dalam puisi tersebut,M Yamin mengidentifikasi Tanah Air-nya masih terbatas pada daerah kelahirannya saja. Bangunan imajinasi sebuah bangsa pada diri Yamin adalah masih terbatas pada kedaerahan saja.Namun, delapan tahun setelah Yamin menulis puisi itu, rasa nasionalisme dan identifikasinya terhadap Tanah Air telah bergeser lebih luas, tak lagi sebatas Sumatra, tapi meluas ke seluruh nusa, sebagaimana ia ungkapan dalam puisinya, Indonesia, Tumpah Darahku. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 makin mengukuhkan persolan nasionalisme dalam konstelasi sastra Indonesia. Majalah Pujangga Baru dengan penuh kesadaran meneriakkan bahwa kesusastraan Indonesia mempunyai tanggung jawab dan kewajiban luhur yaitu menjelmakan semangat baru bangsa Indonesia.

Dengan kesadaran akan semangat nasionalisme, majalah Pujangga Baru bersemboyankan “pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia”. Globalisasi menyebabkan perbenturan nilai-nilai etnis (etnisitas) dengan nilai-nilai global,dan nasionalisme terjepit di antaranya. Cornelis Lay dalam bukunya Nasionalisme Etnisitas: Perubahan Sebuah Wacana Kebangsaan,menyebutnya sebagai terjepit di antara dua kekuatan besar yaitu globalisasi dan etnonasionalisme.

Persoalan inilah yang menyebabkan Indonesia sebagai sebuah negara yang baru berkembang berada dalam konteks kebangsaan yang sulit. YB Mangunwijaya sebagai sastrawan memunculkan persoalanpersoalan baru dalam nasionalisme tersebut melalui karya sastra. Dua novelnya, yaitu Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung Rantau menawarkan pemikiranpemikirannya tentang nasionalisme. Dalam Burung-Burung Manyar, Mangun menyimbolisasikan bahwa Indonesia harus membangun sarang-sarang baru.Merumuskan kembali wujud masyarakat Indonesia dan menafsirkan nilai-nilai yang ada.

Nasionalisme bagi Mangun berarti penciptaan identitas Indonesia,penciptaan kembali nation bulding yang harus menyertakan berbagai kemungkinan,bahkan dari kutub yang paling ekstrem seperti peran “pembelot” sebagaimana yang tercermin dalam tokoh Teto, tokoh utama Burung- Burung Manyar.. Burung-Burung Rantau lebih tegas lagi dalam menafsirkan hakikat nasionalisme. Nasionalisme tak lagi dibatasi oleh wilayah Negara saja. Dalam novel ini, Mangun dengan tegas membuang unsur-unsur masa lalu yang feodal. Generasi Indonesia kelak haruslah seperti burung-burung rantau kalau ingin berkembang secara spiritual dan material.

Harus berani membebaskan dirinya dari sarang untuk berani terbang keluar mencari berbagai alternatif kebenaran untuk membangun jati dirinya. Dari uraian di atas tampaklah bahwa persoalan nasionalisme sebagai ideologi akan selalu menjadi sumber ide yang menarik bagi terciptanya karya sastra. Selama nasionalisme menjadi paradigma yang terbuka, yang membuka peluang untuk selalu ditafsir dan dikaji, maka para sastrawan akan selalu menarik untuk mengangkatnya dalam karya sastra. *

Tjahyono Widarmanto
, Penyair, esais, dan Pembantu Ketua III STKIP PGRI Ngawi.

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 14 November 2010

No comments: