-- Muslim*
ANGIN padang pasir tampaknya sedang berembus ke Tanah Air. Novel-novel dan karya fiksi para sastrawan Timur Tengah banyak sudah yang mampir. Sejumlah pengarang yang sebelumnya tak dikenal di sini, kini buku mereka dapat dengan mudah kita pergoki di rak-rak toko buku.
Tidak hanya sastrawan dari dunia Arab, seperti Naguib Mahfouz, Nawal el-Saadawi, Fatimah Mernissi, Kahlil Gibran, atau Ihsan Abdel Qudous dan Naguib Kaelany, belahan lain Timur Tengah seperti Turki dan Iran juga ikut meramaikan rak berisi novel terjemahan. Bahkan, kalau kita mau memperluas istilah Timur Tengah hingga ke negeri-negeri Islam di Asia Selatan, kita akan mendapati novel-nevel menarik dari Tariq Ali dan Khaled Hosseini.
Timur Tengah, dari mana pun orang memandang, adalah arah mata angin di mana cahaya matahari mulai bersinar. Mungkin juga, seperti kata orang pada suatu ketika, bahwa Timur adalah mata sang bijak, justru datang bila orang pergi kian jauh ke arah Barat. Tapi dalam pengertian wilayah geografis dan konteks politik global, Timur adalah belahan dunia sebagaimana Inggris memandangnya saat bersaing dengan Rusia ketika memperebutkan pengaruh di Asia Tengah, dulu, mulai abad ke-19.
Dari beberapa nama sastrawan terkemuka dari Timur itu, Orhan Pamuk, sastrawan asal Turki, dapatlah digolongkan dalam deretan sastrawan terkemuka dunia saat ini. Reputasi internasionalnya mulai melambung tinggi setelah novelnya Benim Adim Kirmizi terbit pada 1998, dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Erdag M. Goknar sebagai My Name Is Red pada 2001.
My Name Is Red yang ditulis Pamuk selama enam tahun itu telah memenangkan sejumlah hadiah sastra internasional terkemuka, antara lain International IMPAC Dublin Literary Award 2003 di Irlandia. Dan sampai saat ini, novel yang mengangkat perbedaan budaya antara Barat-Timur serta Islam-Kristen tersebut telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa.
Kini nama besar Pamuk semakin mencorong setelah Akademi Swedia menobatkannya sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra 2006 pada 12 Oktober silam. Untuk itu, ia berhak atas hadiah uang senilai 11 miliar rupiah. Seperti halnya saat hadiah bergengsi ini diberikan kepada Gabriel Garcia Marquez pada 1982, khalayak sastra dunia umumnya menganggap penobatan Pamuk sebagai sesuatu yang amat pantas.
Selain My Name Is Red, beberapa karyanya yang lain juga telah meraih pelbagai penghargaan. Novel pertamanya, Karanlik ve Isik (Darknes and Light) memenangi sayembara penulisan novel Milliyet Press 1979 dan Hadiah Novel Orhan Kemal pada 1983. Novel keduanya, Sessiz Ev (The Silent House), memperoleh Hadiah Madarali 1984. Sedangkan novel historisnya, Beyaz Kale (The White Castle), mendapat Independent Foreign Fiction Prize di Inggris pada 1990 dan memperluas reputasinya di luar negeri. Dan novelnya Kara Kitap (The Black Book) menjadi salah satu bacaan paling kontroversial dalam sastra Turki karena kompleksitasnya.
Novel keempat Pamuk, Yeni Hayat (New Life), sempat menimbulkan sensasi di Turki pada 1995 dan menjadi buku terlaris dalam sejarah negeri itu. Novel terakhirnya, Kar (Snow), terbit pada 2004, membahas konflik antara Islam dan Barat di Turki modern, dan meraih Prix Midicis untuk Novel Terjemahan Terbaik yang terbit di Prancis pada 2005. Sejauh ini novel-novelnya laris terjual hingga ratusan ribu eksemplar di banyak negara dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa.
Pria yang lahir dengan nama Ferit Orhan Pamuk ini memang penuh dengan kontroversi. Ia lahir di Istanbul, 7 Juni 1952, dalam sebuah keluarga yang giat berwiraswasta. Ia melanjutkan studi di Columbia University pada 1985-1988. Lalu Pamuk kembali ke Istanbul dan menetap di sana hingga 2006. Tak lama setelah itu, ia kembali ke Amerika untuk meraih gelar profesor di Columbia.
Di negaranya, Pamuk sering "diperlakukan" sebagai pengamat sosial. Namun, ia lebih suka menyebut dirinya sebagai penulis fiksi yang sama sekali tidak memiliki agenda politik. Dan ia merupakan penulis pertama yang menentang fatwa hukuman mati terhadap Salman Rushdie, sang novelis The Satanic Verses yang (dianggap) melecehkan Nabi Muhammad.
Ia juga berbicara lantang tentang hak-hak asasi manusia, hak-hak perempuan, reformasi demokratis, dan isu-isu lingkungan hidup serta membela hak-hak etnis minoritas Kurdi di Turki. Dalam salah satu wawancaranya dengan Das Magazin, sebuah majalah terbitan Swiss pada Februari 2005, ia menyatakan, "Tiga puluh ribu orang Kurdi dan sejuta orang Armenia dibunuh di negeri ini dan tak ada seorang pun yang berani berbicara tentang hal ini, kecuali saya."
Karena pernyataannya yang membuat berang pemerintah Turki itu, akibatnya ia mendapat tekanan politis dan dakwaan kriminal. Dan bila dinyatakan bersalah dalam pengadilan, Pamuk akan dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun.
Tekanan penguasa terhadap Pamuk itu mengundang reaksi internasional dan menghambat rencana masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa. Pada Desember 2005, Amnesti Internasional mengeluarkan pernyataan yang menyerukan agar Pamuk dibebaskan dari dakwaan. Dalam bulan itu juga, delapan sastrawan terkemuka dunia--Josi Saramago (Portugal), Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), Gunter Grass (Jerman), Umberto Eco (Italia), Carlos Fuentes (Meksiko), Juan Goytisolo (Spanyol), John Updike (Amerika Serikat), dan Mario Vargas Llosa (Peru)--menerbitkan pernyataan bersama dan mengecam tuduhan atas Orhan Pamuk itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Ironisnya, sebagian rekan sebangsanya justru menyerang Pamuk karena dianggap terlalu menyudutkan bangsanya sendiri. Selain itu, sebagian pengamat curiga terhadap maksud Pamuk dan menganggap bahwa pernyataan keras yang dilontarkannya adalah agar ia mendapat Hadiah Nobel Sastra 2005. Namun ternyata, penghargaan tersebut malah dianugerahkan kepada dramawan Inggris, Harold Pinter.
Pada Oktober 2005, Orhan Pamuk memenangkan Hadiah Perdamaian dalam Pameran Buku Jerman untuk karya-karya sastranya yang dianggap berhasil mengemukakan konflik nilai antara peradaban Eropa dan Turki-Islam. Ini adalah hadiah buku paling bergengsi di Jerman. Walaupun tengah menghadapi ancaman serius di negerinya sendiri, dalam pidato yang disampaikannya pada upacara pemberian hadiah itu, Pamuk menegaskan kembali kesaksiannya, "Saya ulangi, saya katakan dengan jelas bahwa sejuta orang Armenia dan tiga puluh ribu orang Kurdi telah dibunuh di Turki."
Salah satu karya Pamuk yang telah diterbitkan ke bahasa Indonesia adalah The White Castle (Serambi, 2007), peraih penghargaan Independent Award for Foreign Fiction di Inggris pada 1990. Karya inilah yang menjadi titik awal ia bereksperimen dengan teknik postmodern, berubah total dari gaya naturalis di awal karyanya. Penghargaan itu, tak pelak lagi, makin mengharumkan namanya ke seluruh dunia. Bahkan, The New York Times sampai memujinya dengan menyatakan, "A new star has risen in the East 'Orhan Pamuk'."
Novel ini berkisah tentang kehidupan seorang asal Venesia yang konon menjalani kehidupan sebagai seorang budak di Istanbul, Turki, pada sekitar abad ke-17. Karena pengetahuannya yang luas, tuannya yang segala-galanya sangat mirip dengannya berusaha dengan segala cara menggali semua pengetahuan dan sekaligus menguras semua pengalaman hidup si budak.
Tuan dan budak harus mengarang banyak cerita ajaib dan menafsirkan mimpi sultan yang mereka abdi, termasuk merancang sebuah senjata pamungkas yang hebat. Ketika senjata aneh yang dianggap pembawa sial itu gagal menaklukkan Istana Putih di Polandia, kehidupan mereka pun terancam, terutama si budak kafir itu.
Novel-novel Pamuk acap bercirikan kegamangan atau hilangnya identitas yang sebagian ditimbulkan oleh konflik antara nilai-nilai Eropa dan Islam. Karya-karyanya itu kerap menggelisahkan, dengan plot yang rumit dan memikat, serta penokohan yang kuat, sekaligus diramu dengan intrik politik dan dongeng klasik. Dan melalui karyanya ini, Orhan Pamuk telah mampu membuktikan dirinya sebagai salah satu sastrawan terkemuka dunia saat ini.
* Muslim, Penyuka sastra, penggiat Jamaah Mahasiswa Islam Lampung (JaMILa)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Desember 2007
No comments:
Post a Comment