KRITIK sastra belum menampakkan gejala yang menggembirakan, ia masih menjadi barang langka. Jika pun tumbuh, ia hanya menjadi kegiatan akademis yang sangat terbatas jangkauannya. Padahal sastra Indonesia menunjukkan perkembangan yang menarik dalam beberapa tahun terakhir.
"Penerbitan buku-buku sastra mencapai taraf kesuburan yang lebih jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Penulis-penulis sastra terbaru hadir susul-menyusul. Pelbagai komunitas sastra juga bertumbuhan, baik dalam penciptaan atau apresiasi," ungkap Ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Zen Hae saat membuka acara Malam Anugerah Sayembara Kritik Sastra DKJ 2007 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, baru-baru ini.
Zen mengatakan, menulis kritik sastra memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi di tengah iklim kesusastraan Indonesia yang penuh gosip, hujatan, dan caci-maki. Dibutuhkan ketabahan tersendiri bagi penulis kritik sastra untuk meloloskan diri dari hal itu.
"Butuh pengetahuan dan kepekaan estetik yang cukup untuk menggali dan menguraikan segi-segi terdalam sebuah karya sastra. Sebab pada mulanya kritik sastra dipercaya sebagai pengamalan teori sastra," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, kritik sastra juga membutuhkan kecakapan dalam menulis, untuk mengurai dan menafsir segi-segi terdalam sebuah karya sastra. Alhasil seorang kritikus terlihat lebih cerdas daripada penulisnya. Kritikus sastra bisa larut dalam arus permainan yang diciptakan pengarang, tapi menemukan lebih banyak dari apa yang dibayangkan sang pengarang.
"Karena itu, kami bisa maklum jika peserta Sayembara Kritik Sastra tahun ini tidak sebanyak jumlah peserta Sayembara Novel DKJ yang pernah kami gelar sebelumnya. Namun peserta kali ini menunjukkan gejala yang cukup menggembirakan, sebagian besar mereka adalah generasi muda. Dari sini, kami pantas berharap tradisi penulisan kritik sastra di Indonesia, yang segar dan inspiratif akan terus tumbuh dan berkembang," urainya.
Salah satu juri Sayembara Kritik Sastra yang juga merupakan dosen dan peneliti sastra, Melani Budianta mengatakan, jumlah naskah yang dikirim para peserta tahun ini mencapai 64 naskah. Selain dirinya, Sastrawan AS Laksana, dan Dosen Filsafat, Franki Budi Hardiman juga didaulat menjadi juri.
Ketiga juri kemudian memutuskan untuk menganugerahkan Sayembara Kritik Sastra tahun ini pada Arif Bagus Prasetyo. Ia didampuk sebagai juara pertama berkat kritiknya terhadap segugusan cerpen Nukila Amal, berjudul Tamsil Tentang Zaman Citra.
"Naskah ini dianggap menunjukkan ketajaman dalam menggali kekhasan karya Nukila Amal dengan memperlihatkan intertekstualitas cerpen-cerpen dengan gaya lukisan Escher. Melalui pembahasan yang rinci tentang penggunaan metafor-metafor dalam karya Nukila, kajian ini memberikan pemaknaan yang orisinal tentang karya sastra di zaman citra," ungkap Melani.
Sedangkan juara kedua dipercayakan pada Manneke Budiman untuk telaahnya atas Cala Ibi karya Nukila Amal dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) karya Djenar Maesa Ayu. Predikat juara kedua juga diberikan pada Bandung Mawardi untuk kritiknya Rumah, Puisi, Penyair (Kisah Rumah: Perpuisian Indonesia Modern).
Juara ketiga diraih oleh Bramantio untuk kritik sastranya berjudul Suara-Suara Perempuan Yang Terbungkam Dalam Sihir Perempuan. Dia "membongkar" habis kumpulan cerpen karya Intan Paramaditha yang berjudul Sihir Perempuan.
Melani mengatakan, sebagian besar naskah yang menjadi peserta Sayembara Kritik Sastra 2007 secara langsung dan tidak langsung mengangkat tema Sayembara Kritik Sastra 2007, yaitu Sastra Indonesia Memasuki Abad ke-21.
"Kelemahan umum yang masih terlihat dalam sejumlah naskah adalah penilaian atas karya yang diasumsikan atau dinyatakan memiliki alur yang sangat memukau, penokohan yang mantap, karya yang sangat indah, dan lain-lain, tetapi kurang secara memadai ditunjukkan melalui pembacaan teks secara rinci, analisis tokoh, gaya dan pembacaan atas unsure teks lainnya," katanya.
Kelemahan umum lainnya, lanjut Melani, adalah pembahasan terlalu banyak terhadap isu atau persoalan tanpa fokus yang jelas. Ada juga peserta yang menyebut teori dan konsep tanpa penjelasan dan penerapan yang memadai atas teks, dan argumen-argumen umum yang cenderung mengkotak-kotakan permasalahan. [Y-6]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 10 Desember 2007
No comments:
Post a Comment