Sunday, December 23, 2007

Esai: Perempuan dalam Sastra

-- Nurani Soyomukti*

DALAM kesusastraan Indonesia, masih sedikit kaum perempuan yang berkecimpung di bidang sastra. Dunia sastra masih didominasi kaum laki-laki.Tak heran jika cara pandang bias gender pun terjadi.

Ideologi patriarki yang mendominasi masyarakat kita nampaknya turut memengaruhi cara pengarang dalam menempatkan tokoh perempuan dalam karya-karyanya. Kontradiksi pokok masyarakat Indonesia mulai dari feodalisme (yang masih tersisa dan belum hancur), kapitalismeimperialistik, dan militerisme adalah tantangan terbesar bagi kemerdekaan perempuan.

Struktur sosial tersebut menempatkan perempuan sebagai makhluk penuh dosa, dilemparkan secara nista dari wilayah produktifnya ke dalam domain domestik; pernikahan seperti pelacuran yang berpilar pada kebaikhatian dan kepasrahan perempuan.

Dalam bukunya Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer menceritakan bahwa perempuan tidak lebih dari media pelatihan bagi pria menuju kesejatiannya untuk menikahi perempuan lainnya yang lebih berderajat atau bangsawan, tetapi tetap dijadikan perhiasan dalam sangkar emas, tetap menjadi alat untuk memproduksi keturunan.

Tidak lebih dari itu. Meski tragis, melalui karya itu, Pram menampilkan perempuan yang memberontak. Tokoh Srintil adalah gadis yang melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya dengan kesadaran melakoni hidup sebagai ronggeng yang dianggapnya sebagai pilihan untuk memberontak.

Humanisme realis Pram memang cukup kritis dalam melihat keberadaan struktur sosial yang membelenggu kaum perempuan. Karena itu pulalah, syaratsyarat munculnya kesadaran akan ketertindasan selalu dimiliki kaum perempuan. Pram menemukan tokoh-tokoh perempuan yang tercerahkan dalam sejarah kebudayaan Indonesia.Tradisi inilah yang sebenarnya harus dikembangkan dalam karya sastra agar berguna bagi kemanusiaan.

Tokoh Ibu yang Mencerahkan


Tokoh Nyai Ontosoroh dalam Tetralogi Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) adalah gambaran lain dari perempuan yang mengalami pencerahan; sosok yang bersahaja.

Ia mirip dengan seorang ibu dalam novel Ibundanya Maxim Gorky yang memahami dan mengerti kenapa anaknya dan anakanak muda lainnya harus berjuang membebaskan belenggu ketertindasan. Bahkan, sang ibu tersebut bukan hanya merelakan anaknya dengan tangis keharuan atas jiwa kepahlawanan.

Seorang ibu dalam novel Gorky digambarkan sebagai orangtua yang bertindak; mengirimkan surat-surat ke penjara, membagi-bagikan selebaran secara sembunyi-sembunyi.

Secara tegas, ibunda dalam karya Gorky digambarkan sebagai sosok perempuan yang hidup di masa Revolusi Demokratik berlangsung di Rusia, sekitar awal abad 20. Ia bersama rakyat miskin lainnya hidup di tengah peluit pabrik yang menjerit-jerit di atas perkampungan buruh yang kumuh. Ibunda menikah dengan Michail Wlassow, laki-laki peminum berat yang memperlakukan istri secara amat kejam.

Setelah suaminya meninggal, banyak keadaan yang berubah.Ia masih punya anak bernama Pavel,yang kemudian menjadi aktivis buruh dan terlibat dalam gerakan politik pada waktu itu. Keterlibatan Pavel dalam politik dimulai ketika ia memiliki kebiasaan baru, yaitu membaca buku dan interaksinya dengan para aktivis yang ditemuinya di tempat lain.

Awalnya, ketika dilihatnya bahwa kepribadian, komitmen, dan (utamanya) tujuan hidup anak laki-laki itu berubah, sang ibunda cemas dan khawatir padanya.Tetapi, akhirnya ia mulai dapat memahami hal-hal baru yang tak pernah terbayangkan dalam hidupnya setelah kawan-kawan Pavel menyusun sebuah gerakan kemanusiaan yang juga dibicarakan di rumahnya.

Bahkan,sang ibunda haru karena sekecil kumpulan pemuda tidak mabuk-mabukan ketika mengadakan pertemuan di antara mereka. Padahal, di daerah tempat ia tinggal, bila seorang pemuda telah usai kerjanya di pabrik dan berkumpul dengan teman-temannya, kegiatan yang normal adalah minumminum sampai mabuk.

Hal baru lainnya adalah bagaimana seorang gadis kawan Pavel mengorbankan dirinya, waktunya, hanya untuk sesuatu yang abstrak, yang disebut cita-cita. Maka,dalam novel Gorky ini, seorang ibu digambarkan sebagai sosok yang produktif dan aktif dalam sejarah untuk perubahan masyarakat.

Bukan seorang ibu yang cengeng dan hanya menginginkan kesuksesan pribadi anaknya.Ibunda dalam novel Gorky ini adalah yang memiliki cinta kasih universal, menyinari perasaan-perasaan tersulit anak-anak selama menghadapi represi kekuasaan Tsar.Ketika Pavel dan anak-anak itu satu persatu ditangkap, bahkan disiksa di depan matanya, Ibunda terjun ke kancah revolusi dengan peranannya sebagai pendistribusi pamflet ke kalangan buruh dan tani.

Kemudian, ia dituduh sebagai pencuri oleh seorang mata-mata dan saat sedang ditangkap polisi militer dengan kekerasan, ia teriakkan,“ Bahkan samudra pun takkan mampu menenggelamkan kebenaran!” Pengaruh Maxim Gorky dan sastra realisme sosialis di Indonesia memang melekat pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia yang telah meninggal dunia beberapa waktu lalu.

Melalui karya terbesarnya, tetralogi Bumi Manusia, Pram juga mengangkat sosok perempuan sekaligus seorang ibu di masa penjajahan yang banyak melontarkan pemikiran yang maju dan mencerahkan. Tokoh Nyai Ontosoroh yang dikonstruksi dan diidealisasi Pram juga merupakan seorang yang ikut mendukung pemikiran baru yang sedang bangkit waktu itu karena pengaruh pencerahan.

Nyai Ontosoroh adalah seorang wanita bumiputra yang bernama asli Sanikem, perempuan pribumi sederhana yang awalnya tak berdaya untuk menolak menjadi gundik (nyai) seorang Belanda bernama Herman Mellema. Tetapi, ia menemukan kebangkitan diri. Kekalahannya dalam bentuk ketakberdayaan dalam menolak menjadi gundik mendorong Nyai Ontosoroh untuk banyak menyerap berbagai arus pemikiran Belanda dan bahkan mengendalikan perusahaan milik Herman.

Nyai Ontosoroh tetaplah Sanikem, wanita pribumi yang lagi-lagi tak berdaya ketika anaknya, Anellies, diambil paksa dari tangannya. Namun bagaimanapun, Nyai Ontosoroh dalam novel tersebut telah berusaha keras melakukan perlawanan mempertahankan anaknya, meski kalah. Kekalahan adalah risiko dari pertarungan. Tetapi, semangat untuk mengalahkan belenggu penindasan dan kemunafikan adalah sebuah harga yang mahal.

Dalam novel tersebut digambarkan bahwa Nyai Ontosoroh berkata kepada tokoh Minke dengan kepala tegak, “Kita kalah. Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!” Dalam novel tersebut, Nyai Ontosoroh adalah seorang ibu yang sangat mengasihi anaknya,Annelis.

Bahkan, ia adalah ibu yang memberikan banyak gagasan maju yang mencerahkan anak angkatnya, Minke, seorang pemuda keturunan bangsawan Jawa yang tidak lagi mau tunduk patuh pada produk pikiran dan tindakan lama yang mencerminkan relasi ketidakadilan.

Seorang ibu, Nyai Ontosoroh, telah mendorong seorang pemuda untuk berpartisipasi dalam mendukung perubahan di sebuah negeri yang memang hendak meninggalkan zaman kegelapan. Seorang ibu dalam masyarakat transisi memiliki peran yang kuat, tidak lemah dan hanya tunduk patuh serta jatuh ke dalam kubang posisi dan peran domestik,apalagi sampai menjadi objek kekerasan suami.

Karya-karya semacam itulah yang sangat kita butuhkan sekarang ini.Perjuangan memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut partisipasi aktif dan produktif bagi kaum perempuan adalah kebutuhan yang tak dapat ditawar. Para penulis dan pengarang (sastrawan) harus mengagendakan aktualisasi komitmen sosial kepengarangannya, terutama dari kaum perempuan sendiri yang seharusnya berada di garis depan dalam dunia kesusastraan untuk menuliskan posisi dan peran yang maju dan mendobrak budaya patriarki.

Mendobrak Kebudayaan Lama


Akhir-akhir ini memang banyak karya sastra yang menjadi tempat bagi kaum perempuan mendobrak kebudayaan lama Indonesia yang membelenggunya.Bukan lagi lelaki seperti Pram yang hadir,tetapi justru kaum perempuan sendiri yang telah menghasilkan karya sastra untuk melontarkan pemikirannya menamai relasi kesetaraan.

Sebut saja Ayu Utami yang dengan novel Saman dan Larung-nya berhasil merebut diskursus baru tentang perempuan yang memiliki hak atas tubuh dan pilihan ideologis atau keberpihakan. Nama lain seperti Jenar Mahesa Ayu,Dewi “Dee” Lestari,Rieke Dyah Pitaloka, turut membuka kembali kebekuan paham lama.

Mereka melanjutkan upaya perlawanan yang dirintis Kartini. Melalui sastra, pencerahan dimulai dan paham lama ditinggalkan. Karya-karya tersebut turut mengiringi gerakan sosial untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Capaian legal dan formal saja tidak cukup.Memang,dibutuhkan sebuah penempatan perempuan dalam perjuangan untuk menghadapi dan menghancurkan tatanan penindasan yang kini didominasi neoliberalisme dan sisa-sisa feodalisme.

Perjuangan perempuan tidak boleh eksklusif, tetapi harus terlibat dalam perjuangan massa rakyat, mengarahkan serangan ideologis,dan programatiknya untuk menyerang akar permasalahan. Sebagaimana kita rasakan, karya-karya sastra tersebut turut mewarnai dan memberikan nuansa estetis pada gerakan sosial dan (bahkan) politik untuk menghancurkan sumber-sumber sosial yang menyebabkan ketertindasan perempuan.(*)

* Nurani Soyomukti, PendiriYayasan Komunitas Teman Katakata (Koteka), memperoleh penghargaan Juara I Lomba Esai Pemuda Tingkat Nasional Menpora 200

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 23 Desember 2007

No comments: