[JAKARTA] Karya sastra yang hanya mengedepankan sensasi dan pornografi oleh Budayawan, Rendra dimasukkan dalam kelompok aliran viagra. Untuk karya sastra dengan aliran viagra tak diperlukan Undang-Undang Porno atau yang dulu dikenal dengan nama Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP), tapi harus diatasi dengan moral.
Rendra (sp/yc kurniantoro)
Keberadaan Undang-Undang Porno, kata penyair yang akrab disapa Willy ini, hanya akan menunjukkan kelemahan iman masyarakat Indonesia. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat juga dinilai mengada-ada jika memaksakan pengesahan undang-undang tersebut.
"Sebab masalah porno kok diatur dalam undang-undang yang ada malah akan membuat hukum menjadi tidak jelas, ujung-ujungnya nanti yang dipakai adalah tuduhan subversif seperti zaman orde baru. Atau hakim akan menggunakan kamus bahasa Indonesia sebagai rujukannya, karena yang disebut dengan gairah seks itu kan kabur sekali rumusannya. Lah kalau rumus semantik yang akhirnya digunakan hakim dalam menyidangkan sebuah masalah seperti yang selama ini terjadi, saya pikir ini pengadilan atau kuliah Tata Bahasa?" katanya dalam diskusi bertema "Perlukah RUU Porno di Indonesia", yang diselenggarakan Radio 68H Jakarta, di Jakarta, Rabu (5/12) siang.
Willy mengatakan, pemerintah seharusnya tak perlu khawatir dengan bermunculannya sejumlah karya-karya sastra yang mengedepankan unsur seksualitas sebagai nilai seninya. Sebab, karya sastra semacam ini hanya akan dipandang sebelah mata oleh kalangan seniman dan masyarakat. Serta hanya dianggap sebagai sastra sampah dan dimasukkan dalam aliran viagra.
"Karya sastra yang termasuk dalam aliran viagra bukanlah karya sastra yang lahir dari metafora sebuah batin," katanya.
Namun, lanjut Willy, sebuah karya sastra yang memuat unsur seks tidak berarti termasuk dalam aliran viagra. Hal itu tergantung dari bagaimana adegan seks itu dimunculkan. Bagi karya sastra yang termasuk dalam aliran viagra biasanya memunculkan seks sebagai sensasi dengan tujuan merangsang pancaindera.
"Belum apa-apa adegan seksnya sudah dijelaskan secara gamblang sehingga bertujuan merangsang yang membaca," ungkapnya.
Sementara untuk karya sastra yang "berkiblat" pada iman, lanjut Willy, akan menggambarkan seks sebagai metafora dari buah batin. Metafora tersebut berasal dari buah pikiran yang turun ke kalbu kemudian diendapkan sehingga menjadi pengalaman kalbu.
"Pengalaman kalbu inilah kemudian bertemu dengan gairah hidup atau greget, sehingga melahirkan sebuah metafora . Kadang metafora itu muncul menjadi erotika dengan simbol-simbol seksual. Tapi dalam karya sastra ini simbol-simbol seksual itu asal usulnya bukan sekadar mencari sensasi tapi merupakan metafora dari suatu sebuah batin. Berbeda dengan karya sastra aliran viagra yang hanya mengedepankan seksual sebagai sensasi," urainya.
Senada dengan Willy, istri Abdulrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah mengatakan, keberadaan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi tak akan ada hasilnya jika kinerja aparat hukum masih seperti ini, tak tegas dalam penegakan hukum.
"Selain itu, keberadaan Undang-Undang Porno tidak ada urgensinya, karena untuk memberantas pornografi telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata, Undang-Undang Pers, Undang-Undang Penyiaran, dan lain-lain, khususnya dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan moral dan kesusilaan," imbuhnya.
Jika dipaksakan, maka kemunculan Undang-Undang Porno, kata Sinta, hanya akan menimbulkan konflik di kalangan masyarakat. Dan itu artinya keberadaan undang-undang tersebut bukan untuk melindungi masyarakat, melainkan malah sebaliknya.
"Sebagai perempuan, saya menilai keberadaan Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi hanya akan menjadi ancaman baru bagi kaum perempuan," tandasnya. [Y-6]
Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 10 Desember 2007
No comments:
Post a Comment