* Praktik "Pencurian" Produk Ekspresi Budaya Harus Dibendung
Jakarta, Kompas - Tindakan Malaysia mengklaim "kepemilikan" ekspresi produk budaya tradisional Indonesia tak cuma terjadi pada bidang kesenian. Melalui kalangan akademis, mereka juga terus mengincar naskah-naskah Melayu klasik Nusantara hingga ke pelosok desa di belahan timur Indonesia.
Dalam rapat kerja Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta, 10-11 Desember 2007, terungkap bahwa perilaku di luar etika akademis tersebut sudah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan, ratusan hasil penelitian budayawan Tenas Effendi atas tradisi lisan dan naskah- naskah Melayu klasik yang dihimpunnya selama bertahun-tahun sebagian besar kini sudah "diangkut" ke universitas terkemuka di Kuala Lumpur.
"Oleh mereka lalu dibuatkan situs tersendiri. Ketika kita mau menggunakannya harus bayar," tutur Al azhar dari ATL Riau.
Menurut Al azhar, semangat kapitalisme yang melilit pemikiran orang-orang kaya baru di Malaysia ikut memicu "perburuan" naskah dan atau manuskrip serta perekaman tradisi lisan Melayu oleh orang-orang Malaysia. Apalagi, sejak beberapa dekade terakhir Malaysia terobsesi untuk menjadi pusat tolehan dalam budaya Melayu sedunia.
Riau daratan dan Riau Kepulauan adalah wilayah subur tempat "perburuan" mereka. Dengan berbagai dalih mereka bisa masuk hingga ke pedalaman, lalu diam- diam merekam tradisi-tradisi tutur anak bangsa. Biasanya, kata Ketua Yayasan Bandar Seni Ali Haji, mereka pun menelisik naskah-naskah yang ada di masyarakat dan menawar tinggi untuk membelinya.
Kenyataan ini juga terjadi di Sumatera Barat. "Bagaimana masyarakat penyimpan naskah tak tergiur, mereka dengan ringan bahkan mau membayar Rp 50 juta hingga Rp 60 juta. Padahal, bagi kita uang Rp 5 juta saja sudah luar biasa," tambah Adreyati dari ATL Sumatera Barat.
Fenomena yang sama muncul di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. La Niampe, peneliti dan penggiat ATL di Buton, Sulawesi Tenggara, mengaku pernah "menangkap basah" seorang profesor dari Malaysia beserta tujuh rekannya yang melakukan pemotretan secara diam-diam atas naskah-naskah Buton. "Profesor itu akhirnya kami usir, tetapi beberapa puluh naskah sudah sempat mereka ambil," kata La Niampe.
"Menghadapi kenyataan ini, Sulawesi Selatan membentuk Dewan Ketahanan Budaya. Perannya antara lain untuk membendung praktik ’pencurian budaya’ yang juga terjadi pada naskah- naskah di sini," kata Halilintar Latief dari ATL Makassar. (ken)
Sumber: Kompas, Rabu, 12 Desember 2007
No comments:
Post a Comment