Sunday, March 22, 2009

Persona: Merawitkan Naskah, Membaca Sejarah

-- Bre Redana & Ardus M Sawega

”BU Nancy, tamunipun sampun rawuh...” begitu kata petugas resepsionis hotel di Solo melalui telepon kepada tamunya, Nancy K Florida, yang menginap di situ. Nancy, Indonesianis dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, peneliti naskah-naskah kuna Jawa, fasih dan suka berbahasa Jawa halus dalam pergaulan sehari-hari di Solo. Kehalusan bahasanya kontras tajam dengan cara pandangnya tentang kebudayaan Jawa, berikut gempurannya terhadap sarjana-sarjana, baik Belanda maupun Indonesia, dengan filologi yang dikecamnya keras.

Nancy K Florida (KOMPAS/BRE REDANA)

Sekitar dua bulan sampai sekitar pertengahan Maret ini, pengajar cultural studies itu berada di Solo. Kali ini—setelah penelitian-penelitiannya terdahulu terhadap teks Jawa kuna—ia melakukan penelitian atas karya-karya Ronggawarsita. Dari pergulatannya dengan naskah-naskah kuna, salah satu yang penting dari pandangan Nancy adalah gugatannya terhadap para filolog Barat—atau tepatnya filologi kolonial— yang banyak memberi pengaruh pada cara pandang orang terhadap ”kebudayaan tradisional Jawa”.

Filologi kolonial memberi gambaran atas sastra Jawa, yang dianggap mencapai zaman keemasan dengan ditulisnya teks-teks kakawin oleh para pujangga keraton Jawa pada zaman klasik, yaitu abad ke-9 sampai abad ke-14. Teks-teks itu merupakan puncak dari kebudayaan Hindu-Buddha. Menurut gambaran itu, zaman emas tersebut diakhiri oleh kedatangan Islam pada akhir abad ke-15 (risalah ini bisa dibaca dalam buku Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia, editor Budi Susanto, SJ, Penerbit Kanisius, 2008).

Melalui pergulatannya dengan naskah-naskah Jawa kuna, Nancy sampai pada satu titik, filologi kolonial berada dalam suatu struktur yang disebutnya ”tidak-akan-melihat” kenyataan lain di antara manusia Jawa yang mereka kuasai. Filologi Barat yang menjadi bagian dari proyek kolonial ia anggap gagal ”melihat” (karena berada dalam struktur ”tidak-akan-melihat” itu) signifikansi Islam dalam teks-teks Jawa, bahkan Jawa yang dikategorikan dalam zaman keemasan. Dengan merawitkan naskah (bukan meruwetkan), Nancy sebenarnya bukan hanya melihat gambaran kebudayaan sastra Jawa, tetapi juga sejarah.

Berikut cuplikan dari percakapan dengan Nancy malam itu, beberapa hari sebelum ia bertolak kembali ke Amerika.

Babad Jaka Tingkir

Anda mengajar cultural studies selain studi Asia dan Indonesia di Michigan. Seberapa jauh atau adakah hubungan cultural studies dengan, misalnya, subyek pengajaran mengenai Indonesia?

Derida misalnya. Yang saya dapat dari situ adalah close reading, sangat close.

Apakah itu memberi sumbangan saat Anda membaca babad-babad di Jawa?

Ya, tetapi jangan hanya menjadi budak teori. Anggaplah suatu teori itu hanya sebagai cara mengasah otak. Bagaimana dengan itu kita bisa mendalami materi yang kita teliti. Soalnya, saya termasuk yang tidak mau banyak ”kutipan” atau tanda kurung, tetapi harus berupa fakta langsung.

Pada buku Anda, Writing the Past, Inscribing the Future (di buku ini diungkapkan Babad Jaka Tingkir) seolah-olah ada tantangan di dalam masyarakat Jawa bahwa terjadi proses pencarian akan keaslian, indigenousity....

Buku saya sebenarnya tidak mengangkat itu. Dalam buku saya yang mengungkapkan Babad Jaka Tingkir yang paling menarik bagi saya bahwa Jaka Tingkir tidak muncul di sana. Jadi, tidak ada Jaka Tingkir. Itu bermakna suatu imbauan untuk memperbarui kehidupan atau pola hidup orang Jawa atau orang Indonesia.

Bagi yang menulis sejarah kembali—saya rasa penulis babad ini Paku Buwana VI—mau menulis babad baru yang tidak lazim seperti Jawa sebelumnya. Kita melihat, Jaka Tingkir yang melahirkan suatu dinasti (Mataram), tetapi berakhir dengan pembuangan PB VI di Ambon.

Babad ini agaknya bermaksud melahirkan suatu pemikiran tentang Jaka Tingkir dengan cara beda. Babad Jaka Tingkir yang tidak ada Jaka Tingkir-nya. Seperti Satria Piningit, tetapi tidak ada sosok satrianya. Dengan kata lain, kekuatan baru yang piningit, masih belum muncul. Dan, itu tidak selalu harus dari kalangan elite, tetapi bisa rakyat biasa, atau dalam bentuk kekuatan rakyat.

Konteksnya apa penulis menulis seperti itu?

Perang Dipanegara (1825- 1830). Obsesi terhadap pencarian keaslian dan obsesi itu layak dalam kolonialisme. Ini (obsesi terhadap pencarian keaslian) adalah sesuatu yang sangat modern.

Tasawuf

Perang Dipanegara dengan dukungan kiai-kiai di pesantren yang tersebar di pedesaan dan berkobar menjadi perang besar, mempertegas siasat kebudayaan Belanda, yang ”tidak-akan-melihat” kekuatan Islam di keraton. Dengan kata lain, sebuah politik kolonial yang mencoba membelokkan pandangan atas signifikansi Islam dalam kebudayaan tradisional Jawa.

Dalam buku Membaca Postkolonialitas tadi Nancy menulis, ”Saya ingin merenggang gambaran fiksi yang melukis tembok keraton sebagai benteng kukuh (seolah-olah tanpa pintu) yang melestarikan di baliknya suatu kebudayaan asli Hindu-Buddha yang bertentangan dengan Islam. Waktu tembok keraton itu didirikan (lengkap dengan pintunya), dunia intelektual keraton dan dunia intelektual pesantren tidak hidup dalam pertentangan binaris.”

Jadi, sebenarnya di mana pengaruh Hindu pada suluk ataupun wirid? Selama ini selalu ada pandangan pengaruh Hindu sangat kuat pada Jawa?

Ajaran tasawuf yang berbentuk puisi itu disebut suluk, sedangkan yang dalam bentuk prosa disebut wirid. Dalam Jawa lebih banyak suluk. Banyaknya karya suluk itu menandakan bahwa pengajaran sastra Jawa amat kuat sejak abad ke-16.

Artinya juga pengajaran tasawuf?

Ya. Pengajaran tasawuf sangat kuat dan sophisticated di abad ke-18 dan ke-19. Suluk itu lebih kuat karena pengaruh Islam, bukan Hinduisme. Tetapi, terus terang saya belum paham betul. Saya baru tertarik pada konsep bahwa antara badan dan jiwa itu menyatu.

Kenapa tasawuf sangat kuat?

Karena jodoh....

Bagaimana dengan wayang? Bagaimana dengan ritual-ritual Jawa yang dianggap Hindu itu?

Kalau kita lihat wayang, wayang itu telah disambung-sambungkan dengan dunia Islam. Kita lihat juga Ajisaka. Menarik sekali, itu awal tanah Jawa. Ajisaka kan belajar ke Mekkah, itu yang mendirikan Hindu Jawa.... Yang dianggap Hindu itu tasawuf Islam. Tidak seperti Islam dipraktikkan sekarang.

Jadi, ada suatu politik kolonial yang mencoba mengorting pengaruh Islam terutama setelah Perang Dipanegara?

Menurut saya begitu. Dari 500 naskah di Keraton Surakarta, hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya Islam. Ini kan menarik. Jadi, kalau keraton di Jawa, terutama diwakili Keraton Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, selama ini dicitrakan Hinduistik, itu sama sekali salah. Kalangan berpengaruh di dalam keraton, termasuk para penasihat spiritual dan pujangga bahkan umumnya mendapatkan pendidikan agama di pondok pesantren. Di masa lalu, Islam (di keraton) lebih fleksibel karena lebih cenderung pada tarekat, sedangkan sekarang cenderung menekankan syariat.

Dengan itu bagaimana Anda meramal masa depan Indonesia?

Saya tidak bisa meramal. Ini hanya saran. Dengan tradisi yang kuat itu ada harapan, ya harapan, apalagi kalau diklaim dengan keaslian diri. Jadi, ini bukan hanya untuk kepentingan akademis, tetapi harapan kemanusiaan.

Sumber: Kompas, Minggu, 22 Maret 2009

1 comment:

malamminggu2001 said...

Matur nuwun 🙏