-- Dorothea Rosa Herliany*
AWAL bulan ini (4-10 Maret 2009), Dubai menyelenggarakan sebuah festival puisi yang sangat spesial. Ratusan penyair dari 45 negara datang dan masing-masing membacakan karya puisi-puisi mereka di enam lokasi berbeda (termasuk pusat pertokoan dan klub-klub sosial yang ada di Dubai) hampir setiap malam. Para kritikus sastra dari sejumlah negara diundang untuk membentangkan buah pikiran mereka di bidang ilmu sastra; Wole Zoyinka (Nigeria), peraih Nobel Sastra tahun 1986, penerima Nobel pertama dari wilayah sub-Sahara Afrika hadir; juga beberapa tamu kehormatan, seperti Breyten Breytenbach (penyair Afrika Selatan, aktivis antiapartheid yang beberapa tahun dipenjara), serta HH Prince Badr bin Abdulmuhsin (Saudi Arabia). Di tengah itu semua ada pembacaan puisi karya dua putra kepala negara dan peluncuran buku puisi Poetry from the Desert karya Yang Mulia HH Sheikh Muhammed bin Rashid al-Maktoum.
Acara ini merupakan festival puisi internasional pertama yang diselenggarakan oleh Dubai. Sudah sekitar setahun lalu Dubai berambisi mengusung penyair dari sejumlah belahan dunia untuk datang ke negara ini, membangun jembatan pemahaman menyeberangi perbedaan kebudayaan masing-masing negara. Tak tanggung-tanggung, acara ini diprakarsai oleh sebuah yayasan milik Kepala Negara Dubai sendiri, yaitu Yang Mulia HH Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, yang juga merupakan Wakil Presiden dan sekaligus Perdana Menteri Uni Emirat Arab. Ia juga mendapat dukungan penuh dari sejumlah pejabat penting Dubai, seperti Sheikh Majid bin Mohammad Rashid al-Maktoum, Menteri Seni dan Budaya; Sheikh Ahmad bin Sayeed al-Maktoum, Presiden Otoritas Penerbangan Sipil Dubai dan sekaligus CEO Emirates Airlines Group; Shaikh Nahyan bin Mubarrak al-Naryan, Menteri Pendidikan Tinggi; Shaikh Hasher bin Maktoum al-Maktoum, Menteri Informasi. Jadi, tak pelak, ini menjadi sebuah acara resmi kenegaraan. Seorang penyair asal Tunisia, Al Munsif Al Mughni, berkomentar, ”Jika sebuah acara puisi diprakarsai oleh seorang kepala negara, sudah pasti itu akan membawa pengaruh besar di dunia dan saya kira negara yang lain perlu mengikuti langkahnya.” Sementara Breytenbrech menyebut ”Ini adalah sebuah acara yang merupakan oasis pikiran dan hati.” Menurut dia, sulit meningkatkan akses puisi ke wilayah publik yang lebih luas. Karena itu, jika ini bisa terselenggara, ini adalah sebuah kemenangan. ”Semoga kita semua bisa saling belajar. Ini bisa mengukuhkan dialog masing-masing untuk merayakan kemanusiaan melalui bahasa puisi.”
Beberapa penyair yang datang menyampaikan hal senada. ”Festival puisi Dubai adalah keajaiban nyata dan kemenangan akan kekuatan kata, indikator dari sebuah era kebudayaan baru atas puisi dan sastra. Ini juga merupakan kemajuan gagasan yang membuka cakrawala kreativitas dan keunikan yang tak terbatas,” demikian Rawdha al-Haj, penyair perempuan asal Sudan. Sementara itu, Wole Zoyinka mengungkapkan, ”Dubai adalah tanah yang subur untuk budaya dan bahasa. Dubai bisa menjadi negara yang menjadi pusat kebudayaan yang terus hidup,” ujarnya di depan para wartawan dari sejumlah negara yang juga diundang oleh penyelenggara festival. ”Sayangnya hanya sedikit penyair perempuan yang bisa terlibat di acara ini,” ujarnya sambil berharap tahun depan semoga lebih ada imbangan.
Festival puisi Dubai mengambil tempat utama di Madinat Theatre di Soukh Ukadh. Soukh adalah satu kekhasan etnik Dubai berupa bazar perdagangan yang asal muasalnya merupakan keping sejarah Dubai itu sendiri. Pada zaman dulu Dubai masih berupa wilayah pesisir dan menjadi tempat bongkar muat barang dari kapal milik para pedagang dari teluk Arab. Lalu datang pedagang dari Iran, India, dan Somalia yang membawa mutiara. Jual beli barang dagangan dimulai sejak itu, tepatnya mulai abad ke-16. Semula hanya beberapa orang saja berjongkok bernaungkan pakis pohon palem, menjual rempah-rempah, kurma, tembakau, dan arang. Lalu mereka makin banyak, kerumunan makin luas hingga ke pinggiran anak sungai Dubai. Sejak itulah Dubai termasyhur di kalangan pebisnis maupun pelancong dan hal itu tak bisa dilepaskan dari pesona soukh.
Pemilihan soukh ini memang sengaja hendak menyoroti Dubai dengan caranya yang khas untuk menawarkan platform dari keberagaman budaya sambil membangkitkan tradisi zaman lama yang membuahkan hasil kebudayaan yang kaya. Soukh Ukadh secara efektif membawa kedalaman, menggabungkan perdagangan, evolusi kebudayaan, perkembangan intelektual, tetapi sekaligus mampu merefleksikan spirit kemanusiaan kontemporer ke tradisi puitik. Sebagai negara dengan julukan ”mutiara teluk”, Dubai percaya pada potensi kreatif dan karena itu membuat proyek yang menjadikan bertumpuk-tumpuk budaya bisa eksis bersama, warisan masing-masing bangsa bisa saling dihargai dan bagaimana gagasan yang bebas bisa saling bertukar, serta para penyair berinteraksi memperkaya kedalaman kreativitasnya.
Identitas
Konsep identitas adalah satu topik penting yang dibahas dalam festival ini. Dapatkah puisi menjaga Arab (dan bangsa-bangsa lain) dari efek globalisasi? Para ahli sastra Arab mencemaskan krisis identitas. Kita bisa melihat dunia lewat internet, tingkah laku akan jadi global, negara-negara akan jadi multination, lokal dan internasional akan tak ada. Dunia menjadi tempat paling berbahaya. Namun, justru di tanah bernama ”puisi” bisa ditemukan kedamaian. Sebab, ia memiliki kekhasan, yakni bahasa. Bahasa puisi bukan bahasa biasa. Ia adalah bahasa hati. Di sana ada refleksi jiwa suatu bangsa. Puisi memelihara kepedihan, menjaga kehidupan, mengembangkan kekayaan bahasa, meningkatkan nilai keindahan dan seni komunikasi. Puisi menjelajahi esensi keberadaan manusia. Ia adalah orientasi semangat, jiwa, hati. Sumber terdalamnya sukar dipahami, di luar pengetahuan dan pengalaman manusia biasa. Pada pengertian ini, puisi tak hanya menjadi yang paling kuno, tetapi juga seni yang paling universal.
”Ada banyak suara dan lengking yang tak ada hubungan saat ini. Saat itulah penyair mesti mampu mengusung kesunyiannya dalam dunia yang gila ini. Makin lama dunia ditimpa kecurigaan satu sama lain. Namun, dalam kenyataannya kita jadi makin dekat, melalui puisi,” cetus Imitiaz Dharker, penyair India.
Selain diskusi yang menganalisis berbagai aspek puisi dan mengidentifikasi bagaimana mereka dilengkapi, disempurnakan, ditegaskan, dan bagaimana sebuah elan kreativitas menyumbang puisi dan bentuk sastra lain, seperti novel dan drama, juga ada beberapa malam yang didedikasikan bagi para sastrawan dunia. Seperti malam Omar al-Khayyam yang yang diselenggarakan di Rumah Puisi Dubai (di mana karya-karya rubaiyat penyair besar tersebut dibacakan dalam bahasa tak terbatas: Arab, Parsi, Albania, dan lain-lain), malam penghargaan untuk Mahmoud Darwish, dan lain-lain.
Pertunjukan artistik yang menghibur juga tersaji saat putra mahkota, Syaikh Hamdan bin Mohammed dan adiknya, Syeikh Ahmad, yang rupawan memesona ribuan hadirin dengan pembacaan puisi tanpa teks yang sederhana, tetapi mengalir lancar dan sangat ekspresif. Malam berubah menjadi penuh ”api” karena puisi mereka bertemakan patriotisme dan cinta. Sebagaimana sebuah dinner ditutup dengan dessert, acara DIPF ini juga diakhiri dengan satu hidangan penutup yang manis: Yang Mulia Syeikh Mohammed meluncurkan 27 ode liris yang disusun dari tradisi puisi nabati Arab dalam terjemahan bahasa Inggris (dari bahasa Arab) dan membagikannya ke seluruh penonton yang hadir. Lalu, tirai diturunkan, karpet merah digulung, pintu ditutup, para penyair melambai, sampai bertemu tahun depan: Ma’assalaamah!
* Dorothea Rosa Herliany, Penyair Tinggal di Magelang, Jawa Tengah
Sumber: Kompas, Minggu, 22 Maret 2009
No comments:
Post a Comment