-- Ilham Khoiri
Kami pun setiap malam berada dalam ruangan itu: dia main piano dan aku mendengarkannya. Yang selalu dimainkannya adalah Fur Elise, salah satu mahakarya Beethoven yang selalu membuatku seperti mengambang dalam keheningan untuk kemudian lenyap menjelma butir-butir udara yang dihirup dan dihembuskannya... Kami tak pernah bersentuhan. Hanya kadang memandang, mungkin itu tanda bahwa kami saling mengajukan pertanyaan, atau saling menyodorkan jawaban...
Aktris Niniek L Karim dan gitaris Jubing Kristianto sedang membawakan cerita pendek karya Sapardi Djoko Damono di Newseum Kafe, Jalan Veteran, Jakarta, Jumat (27/3) malam. (KOMPAS/ILHAM KHOIRI)
Cerita sangat pendek berjudul Untuk Elisa karya penyair Sapardi Djoko Damono itu berdenyut-hidup dalam gaya monolog aktris Niniek L Karim. Sambil mengucapkan kata-kata lembut, sesekali perempuan awet muda itu berhenti sejenak, lalu menatap Jubing Kristianto. Gitaris itu sendiri tengah asyik memetik senar yang mendentingkan alunan nada Fur Elise: tung tang tung tang tung... ting ting tung tung... ting ting tung...
”Huh... Ingin sekali saya menjadi gadis itu,” ujar Niniek yang mengaku terhanyut dalam cerita pendek itu.
Begitulah salah satu pementasan puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dalam pertunjukan ”Sihir Hujan” di Newseum, gedung tua di kawasan Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (27/3) malam. Tampil sebagai pengisi utama, duet Ari Malibu dan Reda Gaudiamo yang menampilkan musikalisasi puisi. Ada juga model Maudy Kusnaedi yang berdeklamasi, serta komunitas Soca asal Tasikmalaya dengan dua film pendek yang dibuat berdasar tafsir atas puisi Sapardi.
Sapardi juga tampil membaca dua puisi pendek. Pada pentas itu, penyair itu meluncurkan antologi puisi terbarunya, Kolam, dan revisi buku puisi Mantra Orang Jawa. Kedua buku itu dicetak terbatas.
Apa yang menarik dari pentas ”Sihir Hujan”? Terasa sekali, pentas itu semakin membuktikan, betapa fleksibelnya puisi-puisi Sapardi. Karya sastra itu terasa begitu kenyal dan terbuka sehingga bisa ditafsir untuk menjadi bermacam pertunjukan baru, seperti menjadi musik, film, atau dimainkan dalam monolog.
Dengar saja musikalisasi Ari-Reda yang terkenal sejak tahun 1990-an itu. Meski sebagian kita kerap mendengarnya, penampilan duet itu tetap saja menggugah. Lagu Hujan Bulan Juni, Gadis Kecil, Akulah Si Telaga, Di Restoran, atau Sihir Hujan seperti menyihir penonton yang memenuhi ruangan Newseum. Komposisi musik yang mengalun bersahaja, diksi puisi mengena, dan dentingan gitar Ari (kadang diiringi Jubing), semuanya bersinggungan untuk menciptakan suasana yang bikin dada terenyuh.
Peristiwa di atas panggung itu menarik penonton untuk masuk dalam dunia yang begitu romantis, sublim, dan intim: hujan, gerimis, gadis kecil, telaga, jembatan, kabut, gunung... Itulah dunia yang berjeda dari rutinitas sehari-hari, berjarak dari hiruk-pikuk kampanye partai politik, atau segenap krisis yang mendera negeri ini.
”Saya selalu terenyuh mendengar musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni. Saya hafal liriknya,” kata I Wibowo, pengamat budaya China dari Universitas Indonesia (UI), yang khusyuk menonton malam itu. Saat masih kuliah di London, dia mengaku kerap menyetel kaset Hujan Bulan Juni yang membuatnya rindu pada Tanah Air.
Terbuka
Kenapa puisi Sapardi cukup lentur untuk ditafsirkan menjadi musik, monolog, atau film?
”Puisi saya itu terbuka untuk interpretasi. Mau diapain saja bisa, dan hasilnya bisa bagus, malah kadang mengejutkan,” kata Sapardi.
Menurut guru besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu, puisinya tidak menggunakan kata yang neko-neko, apalagi gagah-gagahan. Puisinya tidak menggurui dengan petuah-petuah, melainkan menciptakan dunia yang terbuka. ”Dengan begitu, semua orang bisa masuk dan menemukan dirinya sendiri.”
Pengamat sastra UI, Maman S Mahayana, menilai puisi Sapardi itu punya kesederhanaan bahasa sehingga hampir semua kalangan mudah mengikutinya. Namun, di balik diksi yang sangat terjaga itu tersimpan makna yang dalam. Pembaca bisa menikmati puisi itu, tetapi juga tak pernah selesai saat mencoba memahami maknanya.
Puisi-puisi penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940, itu punya citraan kuat sehingga berhasil menghadirkan suasana tertentu. Diksinya menciptakan rima seperti bebunyian lagu. Dengan tema sehari-hari yang akrab dengan banyak orang, siapa pun mudah tersentuh oleh puisinya.
”Dalam kesederhanaan, puisinya kaya tafsir. Itulah yang membuat puisi itu bisa melahirkan pentas baru, entah dalam bentuk lagu, musik, atau monolog,” kata Maman.
Bagi Jubing, kata-kata puisi Sapardi memang menciptakan ruang terbuka. Dalam ruang itu, dia leluasa menggali kekayaan petikan gitar untuk membuat iringan musikalisasi Ari-Reda. ”Kata-kata puisi itu menuntun irama, tetapi juga memberikan ruang kebebasan improvisasi,” katanya.
Terbatas
Sapardi mengaku, musikalisasi yang dilantunkan Ari-Reda telah membuat puisinya lebih populer bagi banyak kalangan. Apresiasi sastra pun makin luas. Soal hasilnya bagaimana, itu diserahkan pada tafsir masing-masing orang yang menggarapnya jadi pertunjukan lain.
Bicara soal hasil, komposer dan pengamat musik Franki Raden punya pendapat berbeda. Bagi dia, tak semua musikalisasi puisi Sapardi oleh Ari-Reda berhasil. Pada beberapa karya, memang lagu dan puisi muncul sama-sama kuat. Namun, beberapa karya lain justru membuat musik dan puisi malah hanya tampil setengah-setengah.
Dengan pendekatan terbatas, beberapa puisi yang berbeda digarap dengan musik serupa. Padahal, masing-masing puisi punya kekuatan bahasa, konteks, isi, dan pesan unik—yang semestinya menuntut eksplorasi musik lebih kompleks. ”Dengan pendekatan musik pop yang begitu-begitu saja untuk semua puisi, ruh puisi itu bisa hilang.”
Menurut etnomusikolog itu, sebenarnya musikalisasi puisi sudah mentradisi dalam sastra tutur di Nusantara. Tembang di Jawa, misalnya, adalah lagu yang dinyanyikan secara mocopatan tanpa iringan musik atau bisa dilantunkan sebagai lagu yang menyatu dengan gamelan. Hal serupa juga terjadi pada banyak sastra tutur di daerah lain.
”Tradisi kita punya sejarah musikalisasi puisi dengan pendekatan yang kaya dan berbeda-beda. Semestinya musikalisasi puisi sekarang juga ditangani dengan berbagai pendekatan lebih terbuka, tak hanya mengandalkan musik pop standar yang terbatas itu,” katanya.
Sumber: Kompas, Minggu, 29 Maret 2009
No comments:
Post a Comment