Sunday, March 08, 2009

Meyakini Kembali Komunitas

-- Setoaji Purnasatmoko*

SEJAK terserang stroke beberapa tahun yang lalu, maestro tari topeng Indramayu Rasinah (Mimi Rasinah) sehari-hari hanya bisa duduk di rumahnya sambil mengasuh cicitnya. Penari yang pernah tampil di Jepang dan sejumlah negara Eropa itu kini masih terus menjalani pengobatan. Foto diambil, Selasa (24/2) di rumahnya, Desa Kandangan Kab. Indramayu.* AGUS BEBENG

DIKEPUNG zaman SMS, online chatting, facebook, e-mail, dan aneka model percakapan "langit-elektronik" lainnya, menerima suratmu via jaringan kantor pos benar-benar terasa berbeda: terasa lebih personal- secarik kertas yang dapat diraba seakan kita saling bersentuhan kulit secara langsung. Kabar darimu datang menghampiri seakan kita bercakap-cakap langsung berhadap-hadapan muka. Ah ya, kita bahkan sudah tidak lagi sekadar berbasa-basi, "Halo, apa kabar?" Tetapi lebih dari itu, surat balasanmu berupa karyamu-aneka bentuk seni yang bisa terkirim via pos. Surat seni! Kamu menyatakan ekspresi dalammu, senimu, wilayah yang diyakini sebagai tanpa batas, mendalam sekaligus meluas dan sukarela mengirimnya kemari.

Terima kasih sahabat, suratmu menggetarkan diri. Tiupan solidaritasmu tambah menyalakan harapan yang tengah redup. Kami mendapatkan suntikan tenaga berkat kehadiran ungkapan empatimu. Dengan itu teguhlah kembali jalinan rasa kemanusiaan kita di dunia yang semakin kerontang, tetapi juga serbadingin menggigit ini. Kami menikmati ekspresimu dengan penuh suka cita. Rasa bahagia bersemi lantaran kami jadi yakin tidak bersendiri dibekuk gundah dan letih mempertahankan kehijauan hutan kota dan kehangatan komunitas kami.

Suratmu dari jauh itu, yang meliputi tiga puluh negara, melelehkan batas-batas jarak. Adapun surat-surat dari para sahabat satu kota makin mempertautkan langkah keseharian kami masing-masing. Yang jauh dan yang dekat dalam tatapan jarak geografis, luluh mengkristal bening sebagai kehadiran intim yang bikin hati bungah. Demikianlah kita bersama menghimpun surat-surat seni ini guna saling meneguhkan keyakinan "From The World With Love", tanpa diembel-embeli harga, tanpa pasar kapitalistik! Semata kasih.

Demikianlah saya membayangkan pertautan batin yang tercipta oleh momen Pameran Surat Seni di Sanggar Olah Seni (SOS) Bandung, 7-21 Februari 2009. Menurut Deden Sambas, salah seorang penggagas yang juga pengusung projek Seni Rupa Koran, kontak-kontak surat berjalan kurang lebih sejak dua bulan terakhir. Evie Setiyadi dan Toni Antonius turun sepenuh diri meyakini dan menjalankan gagasan yang pada gilirannya membentuk jejaring sosial ini.

**

SOS di bawah pimpinan Syarif Hidayat dengan bersemangat turut mengeksekusi projek ini. Lebih dari seratus seniman dari tiga puluh negeri berhasil terhimpun karyanya, melalui pengorganisasian yang ramping, sederhana, bekerja berbasiskan kesukarelaan yang riang, dan keyakinan tengah memperjuangkan sesuatu yang bermakna konkret bagi publik.

Alhasil, sebenarnyalah dalam pandangan saya, yang tengah mengalir dan tersalurkan secara alamiah ini adalah energi spontan yang terhimpun dalam sebuah kolektivitas cair. Dan terwujudnya sebuah perayaan spontanitas tiada lain itulah festival dalam makna sesungguhnya. Ini sesuatu yang mustahil dicapai oleh birokrasi pemerintahan. Sebabnya ada dua alasan mendasar. Pertama, birokrasi pemerintahan sudah sedari karakter dasarnya memang nonalamiah. Ia serba pesanan dan penuh beban. Kedua, birokrasi yang sudah sebagai sumber mata pencaharian bagi para pengusung dan pegawainya, akan dengan sendirinya menelurkan organisasi yang reyot dan lembam. Sialnya mereka kerap tak tahu diri. Aneka perhelatan mereka gelar dan dengan keras kepala mematut-matutnya sebagai festival. Persisnya festival kemubaziran: sudah pasti festivalnya tampil artificial, pasti pula menyedot dana miliaran guna memanggung-manggungkan seni penghiburan yang sebenarnya memiskinkan publik secara lahir dan batin.

Akan tetapi, lantas untuk apakah "From The World With Love" tersebut diseru-serukan? Demi apakah?

Pada tatapan permukaan, sebagaimana kita maklumi bersama, itu adalah upaya mempertahankan tetap adanya komunitas sanggar-sanggar seni di kawasan Babakan Siliwangi yang sekaligus juga area hutan kota. Kita paham mereka terancam oleh rongrongan egoisme pembangunan yang kapitalistik. Upaya tersebut merupakan salah satu dari serentetan upaya panjang sebelumnya yang sudah bertumbuh sebagai upaya kewargaan yang meluas.

Langgam kapitalistik yang garang merangsek itu, ada di mana-mana. Ia menebar dari dunia terdekat hingga pelosok terjauh sekalipun. Namun tindak spontan berkarya, mengemasnya dan sengaja keluar rumah untuk mengeposkannya kemari, ini sungguh sebuah pertanda bahwa yang meluas ada di mana-mana, tidak otomatis berarti benar. Betapa pun mereka menyatakan sebagai pembangunan yang ramah lingkungan. Toh, tampak dalam beragam langkah keseharian, tindak-tanduk mereka beraroma tak sedap, nyaris di setiap tahapan pelaksanaan projeknya, mereka meminggirkan publik. Mereka bahkan mengembangkan habitus bermuka manis seakan bermartabat. Mereka berceloteh tentang kebaikan bersama, demi kesejahteraan ekonomi pengangguran. Namun sebenarnya menuai keuntungan sesaat sembari mencekik masa depan, degradasi lingkungan yang diakibatkannya menebarkan ancaman kematian bagi flora fauna dan kanak-kanak masa depan. Ini persis muslihat serigala berbulu domba.

Jika pada lapis kedalaman berikutnya, warga meneriakkan pentingnya ruang publik, maka sebenarnyalah ada arus dalam yang genting dan yang tak selalu ternyatakan, tak tersuarakan. Maklum, sebagian diri kita, oleh sebab terjangkiti habitus kapitalistik, sadar maupun tidak menyuarakan langgam yang sama dan sebangun dengan mereka. Yakni suara yang berdasarkan azas fungsional ruang fisikal kota-kota yang berderap seirama ekonomi pasar kapitalistik. Maka yang terbayangkan pun sebatas pelataran terbuka, taman ataupun sejumput seni budaya pariwisata agar kerumunan bisa duduk santai sejenak sembari tak henti didorong-dorong untuk terus mengonsumsi, terus berindustri sekreatif apa pun. Kemudian kerumunan terpecah-pecah kembali, dalam kesendirian masing-masing pulang ke rumah untuk lagi-lagi dihajar mimpi buruk itu. Diburu atau memburu, senantiasa yang kuatlah yang menang (survival of the fittest) seakan dunia adalah medan perang tak kenal henti. "Kau dongengkan aku surga, kendati itu semata kilatan neon," teriak nyanyian Hannah Marcus.

Kita kerap lupa bahwa ruang publik sejati tak akan pernah bisa hadir tanpa adanya komunitas yang berdaulat menjalankan mikropolitik keseharian yang tak selalu mesti heroik. Kita ingat di tanah ini pernah ada Bapak dan Ibu Iso yang menanak dan mengepalkan nasi timbel berkat kayu bakar Babakan. Pak Iso telah melakukan pilihan dan menjalaninya, hidup berbasis kealamiahan yang hijau dan benci kepada lalu lintas ramai yang tak mengizinkan manusia seperti dirinya menyeberang dengan aman. Di luar Babakan bisa kita kenali kegairahan muda yang egaliter, saling ber-saya-kamu tanpa beban kendati usia saling berpaut jauh. Mereka mengumpulkan sayuran, memasaknya, dan membagikannya di ruang terbuka. Namun mereka tidak sedang menabung wibawa moral dan tidak sedang berderma. Mereka tengah menentang politik makanan yang melulu menghasilkan ketimpangan. Kiranya, festival spontanitas serupa Surat Seni pun mustahil terselenggara tanpa adanya komunitas.

Maka agar tak pulang dengan lagi-lagi jiwa yang hampa, tepatlah kiranya meyakini kembali komunitasmu. Sepanjang sejarah negara bangsa rontok namun tidak demikian halnya dengan komunitas. Komunitas senantiasa ada kendati dipendam dan dikangkangi oleh negara, modal dan para pelayan hukumnya. Yakinilah dan rebutlah kembali aliran arus bawah yang sayup-sayup dari komunitasmu.***

* Setoaji Purnasatmoko, Aktif di studi ekologi sosial Kolektif Hijau Merdeka.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Maret 2009

No comments: