Wednesday, March 18, 2009

Opini: Pluralisme Budaya dan Rekonsiliasi Sosial

-- A. Fauzie Nurdin

PENGAKUAN terhadap masyarakat adat sebagai bagian tidak terpisahkan dari masyarakat bangsa dalam negara merupakan hak setiap manusia berbudaya. Ini dapat dibuktikan secara historis, sosiologis maupun antropologis.

Pemahaman pluralisme budaya memerlukan pendekatan filosofis yang bersifat universal, komprehensif, dan integral melalui berbagai kajian ilmu. Jika pendekatan filsafat disepakati dan budaya lokal menjadi indikator, pluralisme dalam tataran ideal, praksis, politik maupun strategis ternyata bersifat manusiawi dan sangat sensitif.

Sebaliknya, pluralisme sangat jarang terdengar pada tataran operasional dan prosedural dalam masyarakat adat maupun birokrasi pemerintahan. Seperti ada "ruang antara" ketika terminologi pluralisme dipertanyakan, apakah ia berada pada tataran ideal, historis, sosiologis, antropologis, politis; atau "apakah pluralisme budaya dapat digunakan sebagai pendekatan penyelesaian permasalahan sosial dalam tataran praksis dan operasional?"

Pluralisme Budaya

Pemahaman pluralisme budaya diperlukan sejalan dengan dinamika masyarakat di era otonomi daerah. Di lain pihak, pluralisme budaya cenderung dianggap "kambing hitam", mengingat belum bagusnya implementasi otonomi daerah, maraknya anarkisme, dan konflik sosial.

Pada masa lalu, nilai-nilai pluralisme dirangkum dalam wawasan nusantara. Konsep wawasan nusantara mampu mengakomodasi pluralisme yang memaknai dinamika masyarakat beragam suku, kelompok sosial, dan adat istiadat. Refleksi operasionalnya ketika itu berlangsung antara lain dalam bentuk sosialisasi "Sumpah Pemuda"; setelah merdeka lebih dikenal dengan ideologi Pancasila.

Ketika itu, pluralisme budaya dalam konteks wawasan nusantara berkembang sebagai wahana dialog antara pluralisme masyarakat untuk saling menyadari dan memahami kultur masing-masing. Persoalan konkret muncul ketika keanekaragaman budaya menjadi kebutuhan membangun kepercayaan diri masing-masing masyarakat yang dianggap berbeda dan berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul terkait pluralisme.

Sementara visi yang perlu dibangun adalah memelihara semangat hubungan yang harmonis dan sinergis antarkelompok masyarakat adat dalam hubungan internal maupun eksternal. Misalnya, dengan menyediakan ruang dialog antaretnis, antarkelompok sosial, dan keagamaan. Sehingga pluralisme bisa dipahami dan dapat memperpendek ruang dan jarak pemaknaan antarsuku bangsa, golongan atau elemen, dan kelompok keagamaan yang bersifat plural, termasuk juga dalam masyarakat majemuk di Lampung.

Pluralisme dan Rekonsiliasi Sosial

Pluralisme secara konseptual dapat dipahami sebagai nilai-nilai yang menghargai perbedaan dan mendorong kerja sama berdasar kesetaraan; terkandung makna "dialog" membangun hubungan antarunsur dengan latar belakang berbeda, termasuk kerja sama mencapai tujuan searah.

Pluralisme dalam perspektif filsafat sosial merupakan konsep kemanusiaan yang memuat kerangka interaksi dan menunjukkan sikap saling menghargai, saling menghormati, toleransi satu sama lain dan saling hadir bersama atas dasar persaudaraan dan kebersamaan; dilaksanakan secara produktif dan berlangsung tanpa konflik sehingga terjadi asimilasi dan akulturasi budaya.

Pluralitas tidak bisa dihindarkan apalagi ditolak meskipun manusia tertentu cenderung menolaknya karena pluralitas dianggap ancaman terhadap eksistensinya atau eksistensi komunitasnya.

Dalam konteks rekonsiliasi, secara terminologi, konsiliasi berasal dari kata concilicum (bahasa: Latin) yang berarti persatuan, pertemuan, sidang. Dari situ, rekonsiliasi diartikan pertemuan kembali antara punyimbang adat, tokoh masyarakat, pemuka agama, dan pejabat pemerintah untuk konsolidasi atau melakukan penguatan membahas berbagai masalah budaya (tradisi, adat-istiadat) Lampung.

Rekonsiliasi dapat ditujukan untuk menghasilkan keputusan baru yang mengikat dan didasarkan peraturan daerah (perda) Provinsi Lampung sehingga ada pengakuan terhadap masyarakat adat beserta segala hak-haknya dalam mengatur rumah tangga sendiri.

Dalam masyarakat dapat saja terjadi peristiwa ironi berupa konflik internal di dalam budaya (tradisi; adat-istiadat) tertentu. Jika mereka "mempertahankan" ironi tradisional, itu justru menjadi celah potensial bagi efektivitas dan produktivitas praktek dekonstruksi sosial.

Sekiranya rekonsiliasi dapat dilangsungkan, dekonstruksi takkan efektif dan produktif terlebih lagi jika bergerak di luar komunitas adat. Karena itu dekonstruksi tetap harus menggunakan konsep-konsep metafisika (tradisi berdasar moral dan etika).

Meski masyarakat berbudaya, tetap saja ada potensi kemenduaan dan konflik internal dalam masyarakat lokal, baik berupa tradisi "perdamaian dan pengampunan" maupun "islah" dalam kehidupan sosial. Implikasinya, komunitas itu tentu dapat menciptakan ruang dan peluang bagi perdamaian dan pengampunan untuk "bermain bebas" dan berubah-ubah sesuai dengan situasi relevansi kontekstual yang dihasilkan dari relasi antarkomunitas berdasar ajaran moral dan antarwacana budaya lokal, yang disilang-silangkan secara keatif.

Permainan kreatif teks ini dapat dilakukan di seputar masalah rekonsiliasi dalam kaitannya dengan permainan kekuasaan politik, hukum, dan ekonomi, yang sering dilakukan para pejabat pemerintah berdasar kekuasaan terhadap masyarakat adat yang lebih lemah, dengan mengatasnamakan negara.

Orang Lampung memiliki filsafat hidup berupa piil pesenggiri, nilai-nilai filosofis dalam budaya yang sangat luhur, berpakaian adat siger dan tapis. Orang Jawa juga memiliki tradisi berpakaian lengkap sorjan besikap, kain, dan selop; sehingga di antara mereka tidak boleh menganggap pakaian itu lebih tinggi secara hierarkis bahkan lebih baik dan lebih benar dari orang Papua yang masih memakai koteka.

Fenomena adanya gagasan "keadiluhungan" budaya bukan dengan cara merendahkan yang lain. Jika pandangan itu teraktualisasi akan membahayakan kerukunan dan keutuhan bangsa-negara. Terlebih lagi apabila masyarakat bangsa terjebak pada pandangan dan sikap formalisme. Sebab, kebenaran yang bersifat ahistoris dan wacana yang berbasis budaya lokal adalah kebenaran semu.

Dalam konteks itu berarti etika multikulturalisme adalah konsep yang mampu mengartikulasikan dimensi aksiologis kebenaran budaya dengan tidak "membunuh" pluralitas budaya dalam arti yang luas dan universal. n

* A. Fauzie Nurdin, Pengamat Budaya Lampung, Dosen Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 18 Maret 2009

No comments: