Sunday, March 08, 2009

80 Tahun Tintin

-- Haris Priyatna*

DALAM film "Gold Rush", Charlie Chaplin dan temannya sesama penambang emas kelaparan setengah mati. Temannya yang mulai berhalusinasi melihat Chaplin berubah menjadi seekor ayam gemuk dan mengejar-ngejar Chaplin. Adegan ini terpatri dalam ingatan Hergé dan kemudian memunculkannya kembali dalam komik Tintin, Kepiting Bercapit Emas yaitu ketika Kapten Haddock, yang sangat haus setelah berjalan menempuh gurun, melihat Tintin berubah menjadi sebotol sampanye.

Hergé adalah nama populer Georges Remi sebagai pengarang serial komik termasyhur sepanjang sejarah, Kisah Petualangan Tintin. "Hergé" adalah pelafalan Prancis untuk R.G., kebalikan inisial Georges Remi. Sejak dipublikasikan pertama kali pada 1929 dengan judul Tintin au pays des Soviets (Tintin di Soviet), serial Tintin, sang wartawan berjambul, terus mengemuka di seluruh dunia. Komik Tintin terkenal bermutu tinggi, didukung gambar yang indah dan sangat mendetail serta riset yang mendalam.

Seperti yang diungkap di awal tulisan ini, Hergé-lahir di Brussel, Belgia, pada 22 Mei 1907-banyak mendapat inspirasi dari film, juga buku dan majalah. Pengarang-pengarang yang memengaruhi Hergé antara lain, Daniel Defoe, A.A. Milne, Robert Louis Stevenson, Arthur Conan Doyle, Edgar Allen Poe, Alexandre Dumas, dan terutama Jules Verne. Hergé adalah penggemar berat National Geographic. Banyak gambar latar di dalam komik Tintin berasal dari foto pada majalah ini.

Meskipun karyanya banyak mendapat pujian karena kualitas gambar, kelucuan cerita, dan kisah petualangannya yang seru, Hergé juga sering menuai tuduhan. Dia kerap dituduh pendukung rasisme dan imperialisme serta kolaborator Nazi. Aroma rasis dan imperialis memang terasa pada kisah-kisah awal Tintin karena suasana umum yang berlaku di Eropa pada era itu memang demikian. Hergé mengakui bahwa pada masa-masa awal, dia menggambarkan orang berdasarkan stereotip borjuis dan paternalistis karena hanya itulah yang dia tahu. Belakangan, Hergé merasa sangat malu oleh penggambaran-penggambaran yang bias itu. Adegan yang menuai kritik muncul, misalnya pada Tintin di Kongo, yaitu ketika Tintin memberikan pelajaran geografi kepada penduduk asli di sebuah sekolah Misionari. "Teman-temanku," seru Tintin, "Hari ini saya akan membahas tentang negaramu: Belgia!" (Pada saat itu, Kongo memang menjadi koloni Belgia.) Pada edisi berikutnya, adegan itu diganti dengan pelajaran aritmetika.

Namun, sesungguhnya secara pribadi, Hergé sangat menghargai etnis dan budaya lain. Pandangan Hergé yang menghargai budaya Timur, misalnya, tampak dalam Lotus Biru. Bahkan, sebagai hadiah atas penggambarannya yang sangat baik tentang orang Cina dalam kisah ini, pada 1939, Hergé diundang ke Cina oleh istri Chiang Kai-Shek. Pandangan Hergé yang autentik dalam Lotus Biru tak lepas dari persahabatannya dengan Chang Chong-Chen, seniman Cina yang sedang menuntut ilmu di Belgia, yang di dalam komik ini dijadikannya tokoh yang juga bernama Chang.

Dari Chang, Hergé banyak menerima wawasan filsafat Timur. Sejak itu, Hergé menjadi lebih filosofis dan ini tecermin dalam karya-karyanya selanjutnya. Dari persahabatan ini pula, Hergé menjadi lebih sadar akan problem kolonialisme, khususnya pendudukan Jepang atas Cina. Lotus Biru mengusung pesan antiimperialis yang tegas, berlawanan dengan pandangan yang berlaku di Barat pada saat itu, yang bersimpati kepada Jepang dan kolonialisme. Sebagai akibatnya, komik ini mendapat kritik tajam dari pelbagai kalangan, termasuk protes dari diplomat Jepang kepada Menteri Luar Negeri Belgia.

Hergé dituduh kolaborator Nazi karena sejak tentara Jerman menginvasi Belgia pada 1940, dia bekerja di surat kabar yang dikontrol oleh Nazi. Surat kabar tempat dia bekerja sebelumnya, yang menerbitkan Tintin dalam bentuk komik strip, Le Vingtième Siècle, ditutup oleh Nazi. Satu-satunya surat kabar Belgia yang boleh melakukan aktivitas pada masa pendudukan ini adalah Le Soir. Melalui Le Soir inilah, Hergé terus memublikasikan serial Tintin. Namun, alih-alih meneruskan kisah Negeri Emas Hitam yang bermuatan antifasis, Hergé memulai petualangan lain, yaitu Kepiting Bercapit Emas. Hergé berusaha menjauhkan kisah-kisah Tintin pada periode ini dari isu-isu politik yang sedang berkembang.

Pendudukan Brussel berakhir pada 3 September 1944. Selama masa chaos pascapendudukan ini, Hergé ditahan empat kali oleh kelompok yang berbeda. Dia dituduh sebagai simpatisan Nazi, sebuah tuduhan yang tidak terbukti karena petualangan Tintin yang dipublikasikan pada masa perang benar-benar bersih dari politik. Bahkan, kisah-kisah yang diterbitkan sebelum perang sangat jelas mengkritik fasisme, terutama Tongkat Raja Ottokar. Selain itu, Hergé pernah menolak tawaran Gestapo untuk menjadi informan dan menolak tawaran Gerakan Fasis Belgia untuk menjadi ilustrator mereka. Namun, akibat tuduhan itu, terpaksa selama dua tahun Tintin tidak diproduksi karena Hergé dilarang melakukan aktivitas penerbitan. Pada tahun 1946, seorang penerbit dan pejuang semasa perang, Raymond Leblanc, memberikan dukungan finansial dan jaminan anti-Nazi untuk menerbitkan majalah Tintin bersama Hergé.

Sebenarnya, Hergé hanya menginginkan kehidupan berjalan senormal mungkin, dalam situasi yang sulit semasa perang. Memang, dia bekerja untuk Le Soir, tetapi ini karena kesetiaannya kepada Belgia serta hasratnya untuk terus berkarya dan memberikan pelipur lara bagi para pembacanya selama masa pendudukan. Hergé adalah seorang humanis. Kehidupan manusialah yang menjadi kecintaannya-itulah karyanya. Lihatlah karakter Tintin, Anda akan melihat moral luhur dan jiwa kemanusiaan Hergé. Wajar saja jika Garen Ewing, seorang komikus Inggris, berteriak lantang membelanya, "Hergé had no Nazi sympathies!"***

* Haris Priyatna, Pengamat perbukuan

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 7 Maret 2009

No comments: