-- Brigitta Isworo Laksmi
SEJARAH Indonesia tampaknya harus ditulis ulang. Selain kisah kelam di pengujung tahun 1965 yang hingga kini masih diselimuti awan ketidakjelasan, sejarah tentang Sutan Sjahrir pun perlu disimak ulang secara lebih teliti. Yang lebih penting lagi, ditulis kembali dengan kebesaran jiwa.
Tanpa Sjahrir, sejarah Indonesia akan berjalan lain. Dengan Sjahrir, melalui perjuangannya di meja perundingan, kemerdekaan Indonesia menjadi sesuatu yang mungkin dan kedaulatan Indonesia diakui dunia internasional.
Pascakemenangan Sekutu atas Jepang pada 15 Agustus 1945, Indonesia berada di titik persimpangan eksistensial. Situasi saat itu bisa disebut sebagai state of exception situasi darurat. Jika salah strategi dan salah langkah, bukan tidak mungkin Indonesia jatuh ke tangan Belanda lagi.
Ketika itu muncul janji kemerdekaan dari pihak Jepang di satu pihak, sementara di pihak lain muncul desakan untuk memproklamasikan kemerdekaan secara mandiri, yang dengan tegas menolak fasisme dan memilih demokrasi agar akseptabel (bisa diterima) bagi Sekutu yang menang perang.
Sjahrir ketika itu bersama kelompok pemuda memilih minggir dan tidak ikut Soekarno yang memilih bekerja sama dengan Jepang. Akibatnya, Sjahrir dicemooh karena seakan-akan membuat jarak dengan pergolakan seputar proklamasi.
Di sisi lain, dalam posisi berpihak ke Jepang itu, Soekarno bisa dicap oleh Sekutu sebagai penjahat perang. Disebut-sebut, Sjahrir pula yang ”menyelamatkan” Soekarno dari tudingan itu. Sementara itu, Radio Belanda dan Radio Australia terus mendengungkan berita bahwa proklamasi Indonesia sebagai buatan Jepang yang diproklamasikan bersama Jenderal Maeda.
Strategi Sjahrir
Mengenai posisi Sjahrir, Mohammad Hatta dan Bung Karno pada masa itu dalam ruang diskusi muncul cerita. Pada 7 Juli 1942 ketiga tokoh itu rapat. Dalam rapat dilakukan ”pembagian tugas”, Bung Karno dan Bung Hatta resmi bekerja sama dengan Jepang, sementara Sjahrir bersama Cipto Mangunkusumo dan Amir Sjarifuddin berada di posisi underground yang berarti bersama kalangan pemuda.
Menyadari besarnya dukungan rakyat terhadap Bung Karno, Sjahrir terlibat kembali dalam kegiatan Bung Karno. Berkat integritas dan ketajaman politiknya, Sjahrir pasang badan menghadapi NICA-Belanda yang ingin kembali masuk ke Indonesia. Caranya, Belanda ingin mengganti kabinet presidensial Soekarno dengan kabinet parlementer pada 14 November 1945. Dalam kabinet parlementer itu, Sjahrir menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri.
Sjahrir lantas membuat siasat diplomasi dengan tujuan agar Republik Indonesia memperoleh pengakuan dunia internasional. Dia memperhitungkan, melawan Belanda dengan cara perjuangan bersenjata akan terasa berat karena kekuatan militer Indonesia tidak sebanding dengan militer Belanda.
Dengan perhitungan dari aspek geopolitik bahwa Amerika Serikat-Inggris amat mendominasi kawasan Asia Tenggara, Sjahrir menetapkan strategi: jangan menambah musuh, cukup satu musuh saja, yaitu NICA-Belanda. Sebagai bagian dari strategi, Sjahrir meminta agar para pemuda jangan sewenang-wenang terhadap mereka yang bekerja sama dengan NICA-Belanda, yakni orang- orang etnis Ambon, Manado, keturunan Indo- Belanda, dan Tionghoa.
Siasat Sjahrir membuahkan hasil dengan terjadinya Perundingan Linggarjati antara Pemerintah RI dan Belanda yang ditandatangani pada 15 November 1946. Isinya, antara lain, kekuasaan RI secara de facto diakui di Jawa dan Sumatera, kedaulatan RI diakui AS, Inggris, dan negara-negara Arab di Timur Tengah.
Ketajaman diplomasi Sjahrir terbukti kemudian. Pada Maret 1947 di New Delhi, India, dalam pidatonya di depan Asia Relation Conference, Sjahrir mengajukan gagasan politik luar negeri bebas aktif. Gagasan itu diperkuat Hatta dalam kedudukannya sebagai Wakil Presiden di depan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berjudul ”Berdayung antara Dua Karang”. Oleh Soekarno, gagasan Sjahrir itu dirumuskan sebagai politik non-alignment nonblok setelah Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.
Pasca-aksi militer pertama Belanda pada 21 Juli 1947, Sjahrir pula yang harus menghadapi tudingan Menteri Luar Negeri Belanda Van Kleffens di depan Sidang Dewan Keamanan PBB tahun itu. Van Kleffens mengatakan, RI identik dengan mikrofon radio, alias tak punya apa-apa. Sjahrir dengan tegas menjelaskan, RI sudah memiliki sarana kelengkapan, seperti lembaga pemerintahan, tentara, dan teritori.
Semua upaya diplomasi Sjahrir dengan berbagai manuvernya di meja perundingan internasional harus diakui menyelamatkan kelangsungan hidup RI yang ketika itu masih ”bayi”. Namun, Sjahrir yang sudah dua kali ditahan Belanda tersebut pada akhirnya harus menjadi ”korban politik” ketika Soekarno menudingnya berkonspirasi untuk membunuh presiden pertama RI itu. Dari tahun 1962 hingga tahun 1965 Sjahrir ditahan, mula-mula di penjara Madiun, dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Semua akses ditutup. Sjahrir terkena stroke di penjara, dibawa berobat ke luar negeri, dan Sjahrir meninggal dalam posisi sebagai tahanan politik yang tak pernah diadili.
Proses pelupaan
Ironisnya, di antara ”Trio Bung”—Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir”— Sjahrir-lah yang ditempatkan dalam proses pelupaan, amnesia. Sjahrir menjadi korban politik pengabaian, politics of neglect oleh teman seperjuangan, Soekarno, dilakukan dengan berbagai cara. Tujuan utamanya, menghapus ketokohan Sjahrir dari collective memory bangsa Indonesia.
Diplomasi pun pada masa awal kemerdekaan dianggap sebagai ”kecelakaan sejarah”. Kemerdekaan diklaim sebagai hasil perjuangan bersenjata. Sjahrir terpinggirkan dari percaturan dan catatan sejarah. Pada masa Orde Baru, semua gerakan mahasiswa, mulai dari Malari tahun 1974, Gerakan Kampus Kuning 1966, hingga gerakan mahasiswa tahun 1978, dikaitkan dengan Masyarakat Sosialis Indonesia (MSI) dan Masyumi. Nama dan sosok Sjahrir sebagai tokoh sosialis pun semakin tersingkir.
Kini hampir tak ada nama Sjahrir dalam buku sejarah. Anak-anak SMU dan mahasiswa S-1 semakin banyak yang tidak tahu apa-siapa Sjahrir. Buku-buku sejarah versi Orde Baru mencatat Sjahrir sebagai sosok yang sendirian, sepi di pinggir tubir sejarah bangsa Indonesia—sosok yang ”tak tercatat”. Sejarah yang benar-benar history dan bukan his story beradu cepat muncul belakangan ini, memang harus ditulis ulang!
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Maret 2009
No comments:
Post a Comment