JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat adat di Indonesia masih terus-menerus menjadi bagian dari masyarakat yang paling rentan terhadap berbagai dampak negatif pembangunan. Kondisi ini merupakan kelanjutan dari sejarah panjang diskriminasi dan marjinalisasi yang sudah berlangsung sebelum masa kolonial sampai sekarang. Saat ini, empat hak masyarakat adat akan tetap menjadi perjuangan dan tuntutan.
Penderitaan panjang dan ketidakadilan yang dialami masyarakat adat di Indonesia salah satunya bermuara dari tersingkirkannya masyarakat adat dalam proses-proses politik pembuatan kebijakan publik.
Kebijakan pembangunan yang ada saat ini justru menimbulkan beragam konflik dan berdampak secara ekologis yang merugikan masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya.
Demikian benang merah yang terungkap dalam dialog bertema ”Menggagas Mekanisme Nasional untuk Mencapai Pengakuan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Asasi dan Kebebasan Dasar Masyarakat Adat di Indonesia” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bekerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam memperingati satu dekade kebangkitan masyarakat adat Nusantara, Senin (16/3) di Jakarta.
Empat tuntutan
Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan mengatakan, yang dituntut terus-menerus masyarakat adat ada empat hak, yaitu pengembalian hak atas tanah dan wilayah, hak perjuangan memulihkan identitas budaya dan sistem atas kepercayaan (agama asli), hak mengurus diri sendiri berdasarkan kelembagaan adat, dan yang terakhir hak diakuinya hukum adat.
”Tuntutan inilah yang menjadi dasar terbentuknya AMAN. Sebagaimana juga terjadi di seluruh dunia, perjuangan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat adat di Indonesia terus berlangsung, baik dari pemimpin masyarakat adat sendiri maupun dengan dukungan dari pihak-pihak lain yang peduli dengan pemajuan hak-hak asasi masyarakat adat,” katanya.
Kekayaan masyarakat adat
Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim mengatakan, perusakan lingkungan dan ketidakadilan sudah dialami masyarakat adat sejak lama.
Sumber daya mineral, hutan, air, dan laut yang menjadi kekayaan masyarakat adat dirampas dengan berbagai cara, antara lain melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
”Sejak berdirinya AMAN, terjadi perubahan-perubahan signifikan terhadap keberadaan masyarakat adat. Terjadi revisi undang-undang kehutanan sampai dengan undang-undang daerah pesisir. Di tingkat nasional ada beberapa kebijakan sektoral yang mulai berubah dengan mengakui dan menyediakan perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat adat,” katanya.
”Sebagian kebijakan sektoral lainnya masih tetap menegaskan keberadaan hak-hak masyarakat adat ini sebagai hak asal-usul yang masih hidup dalam masyarakat, khususnya yang menyangkut hak atas tanah, wilayah adat, dan sumber daya alam,” ujarnya menjelaskan.
James Anaya dari The UN Special Rapporteur on the Situation of Human Rights and Fundamental Freedoms of Indigenous Peoples mengatakan, advokasi yang dilakukan masyarakat adat selama lebih kurang 23 tahun di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah membuahkan hasil dengan Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.
”Sebagai salah satu standar minimum internasional untuk perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM masyarakat adat, deklarasi ini memberi penegasan bahwa masyarakat adat memiliki hak kolektif, antara lain yang terpenting adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual, hak atas free, prior, and informed consent (FPIC) dan hak atas penentuan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka sendiri,” katanya. (NAL)
Sumber: Kompas, Selasa, 17 Maret 2009
No comments:
Post a Comment