-- Haris Priyatna*
KRISIS global sekarang ini bisa membuat ingatan orang melayang ke ”Great Depression” yang bermula di Amerika Serikat pada 1929 sampai awal 1940-an. Depresi itu merontokkan perusahaan-perusahaan besar di AS, memorakporandakan perekonomian, menciptakan lonjakan pengangguran, dan memiskinkan rakyat Amerika.
Kemelaratan muncul di seantero AS, bahkan banyak warganya yang bergantung pada derma untuk bertahan hidup.
John Ernst Steinbeck memotret penderitaan itu dalam novelnya, The Grapes of Wrath (1939). Novel ini memenangi Hadiah Pulitzer pada 1940 dan mengantarkan Steinbeck meraih Nobel pada 1962.
Dalam novel ini, Steinbeck menggambarkan kegetiran para buruh tani selama depresi berlangsung dengan begitu menyentuh. Pembaca Indonesia dapat menikmati novel ini melalui terjemahan elok Sapardi Djoko Damono dengan judul Amarah.
Laris dan kontroversial
Ketika The Grapes of Wrath pertama kali diterbitkan pada 14 Maret 1939, karya itu menimbulkan kegemparan nasional di AS lantaran penggambarannya yang begitu mengejutkan soal dampak great depression. Pada akhir April, novel ini terjual 2.500 eksemplar sehari—jumlah yang luar biasa mengingat rakyat Amerika sedang dihantam krisis ekonomi. Pada Mei, Grapes menjadi best-seller, dijual dengan laju 10.000 eksemplar seminggu. Pada akhir 1939, hampir setengah juta kopi terjual.
Steinbeck terkejut oleh respons dahsyat novelnya. Nyaris dalam semalam, dia berubah dari seorang penulis pemula menjadi selebriti. Namun, tak urung novel ini menuai kontroversi. Khalayak tersentak oleh kemiskinan dan keputusasaan yang dilukiskannya, ada pula yang menyangkal bahwa keadaan semacam itu bisa terjadi di Amerika.
Namun, kontroversi itu justru mendorong buku ini semakin laris. Orang yang sebelumnya tak pernah membaca buku tiba- tiba membeli The Grapes of Wrath. Dengan harga 2,75 dollar per eksemplar, buku ini terjangkau dan terjual dengan cepat. Perpustakaan-perpustakaan sampai terpaksa membuat daftar tunggu untuk novel ini yang lamanya hingga berbulan-bulan.
The Grapes of Wrath didakwa pula sebagai vulgar, maka novel ini dilarang dan dibakar di Buffalo-New York, East Saint Louis-Illinois, dan Kern County, California, yang merupakan lokasi cerita novel ini. Bahkan, hingga kini Grapes tetap menjadi salah satu buku yang paling sering dilarang di AS.
Kongres malah mencelanya dengan menyebut penggambaran novel ini atas kondisi kehidupan pekerja migran adalah sebuah kebohongan yang vulgar. Steinbeck pun dituduh menjual ”kemesuman” agar bukunya laris.
Untunglah, Ibu Negara Eleanor Roosevelt turun memuji buku itu dan membela Steinbeck dari para pengecamnya. Namun, Steinbeck telanjur mengalami tekanan atas kemasyhurannya dan merasa amat terganggu.
Roh Tom Joad
The Grapes of Wrath adalah sebuah serangan terhadap kapitalisme yang mengisahkan kesengsaraan warga miskin pedesaan selama masa depresi. Novel ini menceritakan kemalangan yang diderita oleh keluarga Joad ketika mereka meninggalkan Oklahoma yang dilanda kekeringan untuk mencari kerja di California.
Tokoh-tokohnya digambarkan dengan kuat: Tom Joad, seorang mantan napi yang geram oleh ketidakadilan di sekitarnya; Ma Joad, sosok matriarkal keluarga petani migran itu yang menjadi tumpuan kekuatan di hadapan semua kesulitan mereka; dan Jim Casy, seorang mantan padri yang menyalakan kembali keimanannya pada kemanusiaan melalui aksi politik.
Hingga kini Grapes tetap menjadi favorit banyak penggemar buku. Meski kondisi bencana ekonomi yang digambarkan buku ini tidak terulang lagi pada skala yang sama, amarahnya atas ketidakadilan sosial terus mengilhami para pekerja artistik menggugat dunia politik.
Para seniman lain yang tertarik pada keadilan sosial terus menghidupkan roh Tom Joad. Hollywood pun membuat film dari karya ini dan mengganjar John Ford dengan Academy Award sebagai sutradara terbaik.
Seniman selanjutnya yang menerjemahkan hikayat Grapes adalah penyanyi folk Woody Guthrie. Pada awal 1940, dia menyanyikan lagu ”Tom Joad” di sebuah konser amal untuk para petani. Lagu itu merangkum kisah Steinbeck, termasuk tekad Tom Joad untuk memerangi ketidakadilan sosial.
Betapa pun penting dan menyentuhnya karya Steinbeck, Ford, dan Guthrie, semuanya tergerus oleh sejarah. Pada 1941, para ”Tom Joad” AS mendapatkan pekerjaan di pabrik-pabrik pertahanan California, bersiap untuk Perang Dunia II.
Kendati demikian, The Grapes of Wrath tidak pernah terlupakan. Buku ini tetap dibahas di kelas-kelas sastra sekolah menengah dan college AS.
Upaya terbaru memanggil kembali roh Tom Joad datang dari album The Ghost of Tom Joad karya artis rock Bruce Springsteen, yang menggambarkan tokoh-tokoh kontemporer dalam situasi-situasi yang menyerupai kesengsaraan tahun 1930-an.
Semangat kepahlawanan
Narator lagu ”The Ghost of Tom Joad” menggambarkan pencariannya akan semangat kepahlawanan Tom Joad. Belakangan lagu Springsteen ini dinyanyikan kembali secara rap oleh Rage Against the Machine, grup band hip metal yang kiprahnya amat politis.
The Grapes of Wrath bertahan sebagai sebuah dokumen penting atas penggalan sejarah pilu Amerika. Namun yang membuat kepiluan itu menjadi makna besar, saat depresi besar berhasil melahirkan sebuah pengarang dan juga karya yang besar. Saat kenyataan pahit tidak tinggal hanya sebagai keharuan bahkan keputusasaan hingga mistisisme murahan akan munculnya ”Ratu Adil”.
Dunia budaya, kesenian dalam hal ini, memberi sumbangan yang kuat dengan lahirnya sebuah karya yang penuh inspirasi. Semua itu dicapai melalui penghayatan yang sangat mendalam terhadap realitas yang berkembang di masyarakat.
Kini, ketika dunia juga mengalami krisis yang magnitudenya dianggap oleh banyak kalangan setimbang dengan depresi besar 30-an—bahkan sebagian lain melihatnya lebih dalam dari itu—adakah memberi sentuhan kreatif dan inspirasi bagi para senimannya? Adakah ia menjadi alasan bagi seniman, sastrawan misalnya, mulai mendekati secara intens masyarakatnya?
Steinbeck dan The Grapes sungguh menjadi cermin bagi kita, yang ternyata justru lebih banyak berlindung dalam romantisme dan licensia poetica salah kaprah, untuk menciptakan karya-karya seni (sastra) yang hanya sibuk dengan dunia klangenan-nya sendiri. Sebuah pelajaran yang tak pernah baik kita pelajari. Sayang. Sungguh sayang.
* Haris Priyatna, Penikmat dan Pengamat Buku, Tinggal di Bandung
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Maret 2009
No comments:
Post a Comment