-- Ade Saptomo*
DALAM era reformasi, rakyat Indonesia disuguhi tontonan politik angka ketika jumlah suara akhir menjadi dasar rujukan proses pengambilan keputusan politik.
Ketika pemilu sebagai proses pelahiran pemimpin bangsa, tentu yang dibutuhkan bukan pemimpin yang selalu mendasarkan jumlah angka, melainkan yang mampu menjadikan budaya sebagai pedoman bertindak.
Untuk itu pemimpin yang dibutuhkan dari hasil Pemilu 2009 adalah pemimpin yang mengetahui, mengerti, memahami, menghayati akar budaya bangsa, dan menjadikan pedoman bertindak dalam proses pengambilan keputusan sosial, ekonomi, dan politik.
Secara kuantitas, bangsa Indonesia memang terkesan tidak akan kekurangan calon pemimpin bangsa, lebih-lebih menyusul kesiapan Ketua Umum Partai Golkar M. Jusuf Kalla menjadi capres pada Pemilu 2009 mendatang.
Kesiapan Kalla menjadikan deretan capres makin panjang; sebelumnya telah ada Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Megawati Soekarnoputri (PDIP), Wiranto (Partai Hati Nurani Rakyat), Sultan Hamengkubuwono X (Partai Republika Nusantara), Sutiyoso (Partai Indonesia Sejahtera), Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Rizal Ramli (Partai Bintang Reformasi, Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia), yang menyatakan kesediaan dan kesiapannya menjadi calon presiden periode 2009--2014.
Satu hal yang harus diingat dalam proses pemilu adalah muatan budaya bangsa Indonesia dalam proses melahirkan pemimpin bangsa. Karena, akan terlalu naif dan kering apabila kalkulasinya sebatas dan berhenti pada hitungan-hitungan politik jumlah angka terbanyak saja.
Dalam konteks bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan sosial budaya, diharapkan proses produksi pemimpin dalam Pemilu 2009 ini melahirkan seorang pemimpin yang percaya diri bukan karena legalitas suara terbanyak, melainkan juga percaya diri karena berkarakter akar budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, pertanyaannya, apa akar budaya bagi pemimpin bangsa Indonesia dimaksud.
Akar Budaya Bangsa
Secara etimologi, budaya berasal dari dua suku kata: Budi yang berarti olah pikir (ngulir budhi) yang baik, dan daya (dhaya) yang berarti kekuatan. Dengan demikian, maknanya adalah kekuatan olah pikir warga masyarakat atau warga bangsa yang menghasilkan nilai bersama, sebuah nilai yang diyakini benar dan dijadikan pedoman bertindak oleh masyarakat atau bangsa yang telah melahirkan budaya dimaksud.
Untuk mengetahui hal itu, perlu pembayangan sementara jauh ke belakang, yaitu sebuah proses kelahiran entitas sosiologis yang disebut masyarakat.
Proses kelahirannya diawali dengan fenomena kedatangan perorangan atau kelompok orang ke satu wilayah yang sama dan dalam wilayah sama dimaksud mereka saling kontak. Dalam kontak kehidupan sehari-hari, mereka mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dalam dirinya masing-masing sekaligus mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan diri orang kepada siapa orang dimaksud akan berinteraksi.
Setelah mengenali dan menyadari kelemahan dan kekurangan di satu pihak dan kekuatan dan kelebihan di pihak lain, mereka terdorong mencoba mengisi kekurangan yang ada dalam dirinya sendiri dengan kelebihan yang ada dalam diri orang lain, dan sebaliknya.
Kondisi demikian menjadikan mereka terus menerus berinteraksi membentuk pola kehidupan sosial dan budaya. Akibat sosiologisnya tentu proses itu mengujung pada terbentuknya komunitas-komunitas sosiologis yang akhirnya membesar menjadi masyarakat dengan spesifikasi struktur sosial masing-masing, misalnya desa dalam masyarakat Jawa, gampong dalam masyarakat Aceh, kurnia dalam masyarakat Batak, nagari dalam masyarakat Minangkabau, marga dalam masyarakat Palembang, negory dalam masyarakat Ambon.
Pada saat masyarakat itu terbentuk, lahir pula nilai budaya bersama dan dijaga bersama yang dapat digunakan sebagai rujukan pada hampir setiap kegiatan sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Dalam konteks masyarakat Indonesia (Jawa, misalnya), nilai budaya bersama dimaksud dapat dilihat secara kasad inderawi dalam kegiatan-kegiatan gotong-royong dan sambatan.
Paham-paham kedesaan telah terangkat secara politis menjadi paham ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara filosofis menjadi payung perjalanan bangsa Indonesia, yang kini biasa disebut local wisdom nusantara. Jika kegiatan pengambilan keputusan politik cenderung menonjolkan suara terbanyak, berarti kedaulatan rakyat yang terkandung dalam sila ke-4 semakin jauh karena pengambilan keputusan politik makin renggang dari akar budaya.
Tercerabut
Terangnya, pemimpin yang tidak tercerabut dari akar budaya adalah pemimpin yang dalam kepemimpinan kesehariannya mewujudkan, pertama, nilai kebersamaan. Dengan kebersamaan, ia akan melampaui batas-batas identitas formal dan situasional, bukan terhenti pada identitas orang perorangan/kelompoknya.
Kedua, berpikir universal. Meski bersumber dari lokal, berpikir melingkar keluar sehingga berdaya jangkau global, bukan melingkar ke dalam sehingga berjangkau semakin menyempit, sekuler, dan parsial.
Ketiga, idealis untuk mewujudkan cita-cita bangsa yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945, bukan jangkauan yang terhenti godaan materialistik.
Keempat, toleran/empati. Bertoleransi dan berempati tinggi untuk mengiringi setiap proses pengambilan keputusan, baik keputusan legislatif maupun eksekutif terhadap penderitaan semua lapisan masyarakat.
Indikasi awal tercerabut dari akar budaya dapat dilihat dari tindakan calon pemimpin dalam proses pemilu. Apakah gagasan-gagasan, tindakan, perilaku, ucapannya sudah jauh dari muatan niat berprasangka buruk, niat mencela, sentil sana sentil sini, olok sana olok sini terhadap lawan-lawan politik internal partai maupun eksternal partai.
Jika ini masih menonjol, tentu perlu dipertanyakan kemampuan mewujudkan nilai budaya kebersamaan ketika memimpin bangsa. n
* Ade Saptomo, Guru Besar Fakultas Hukum Unand Padang/Usakti Jakarta
Sumber: Lampung Post, Senin, 2 Maret 2009
No comments:
Post a Comment