Wednesday, March 11, 2009

Sutan Sjahrir, Pelopor Diplomasi Indonesia

NAMA Sutan Sjahrir mungkin tidaklah tersohor seperti dua proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Muhammad Hatta. Namun, kalau berbicara kontribusi pengabdian dalam proses menuju kemerdekaan Indonesia, pahlawan nasional yang pernah menjabat sebagai perdana menteri Republik Indonesia pertama dalam tiga kabinet yang berbeda, sekaligus merangkap menteri dalam dan luar negeri (1945-1947) itu, tidak bisa dipandang sebelah mata.

M Hatta, Soekarno, dan Sjahrir (kanan) (Repro Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka)

Ia merupakan perdana menteri termuda di dunia, ketika pertama kali menjadi perdana menteri dalam usia 36 tahun, dan tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan bangsa. Pengabdian Sjahrir untuk bangsa dan negaranya tercinta memang tidak melalui jalan yang saat perjuangan kemerdekaan itu sangat popular yakni perang mengangkat senjata.

Dia menempuh jalur yang berbeda dari orang lain yaitu diplomasi. Sjahrir sangat yakin kemerdekaan haruslah diraih dengan diplomasi. Baginya, perjuangan kemerdekaan Indonesia haruslah antifasis.

Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda, saat memberi kuliah umum "Mengenang 100 Tahun Sutan Sjahrir" di Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Banten, Selasa (10/3), bahkan menjuluki pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 5 Maret 1909 ini, sebagai pelopor diplomasi Indonesia.

Predikat terhormat itu tentu saja didasarkan pada sejumlah fakta sejarah. Sjahrir adalah ujung tombak Indonesia saat menghadapi bangsa penjajah saat itu, Belanda, di meja perundingan. Berbagai upaya yang dilakukannya mencapai beberapa kesepakatan damai, seperti pada 25 Maret 1947 terjadi penandatanganan Perjanjian Linggarjati, yang mengakui kemerdekaan de facto Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura, dan Sumatera.

Sebenarnya, kata Hassan Wirajuda, perundingan hasil Linggarjati hanyalah sebuah strategi awal Sjahrir untuk mewujudkan negara Indonesia yang memiliki wilayah dari Sabang sampai Merauke, atau daerah-daerah jajahan Hindia Belanda.

Sejarawan, Prof Leirissa mengatakan, perundingan Linggarjati merupakan pancaran sosok tegas Sutan Sjahrir dalam membela kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Dalam rancangan persetujuan yang dihasilkan Belanda dalam Pasal 2 tercantum, "Negara Indonesia Serikat adalah negara yang merdeka." Namun, Sjahrir menolak tegas usulan itu dengan mengganti kalimat tersebut dengan "Negara Indonesia Serikat adalah negara yang berdaulat."

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPH, Edwin MB Tambunan mengatakan, hasil perundingan Linggarjati ternyata sama-sama tidak mendapat sambutan baik di pihak Republik Indonesia sendiri dan juga di dalam pemerintah Belanda. Bahkan tidak lama berselang, yakni pada 21 Juli 1947, Belanda menciderai perjanjian dengan melakukan agresi militer ke wilayah Indonesia.

"Sjahrir terpukul dengan kenyataan ini. Di New Delhi, India, pada 23 Juli 1947, berbicara dengan nada emosional, Sjahrir untuk pertama kalinya mengakui pentingnya perjuangan bersenjata," kata Edwin.

Namun sayang, perjuangan Sjahrir ternyata tidak berujung manis untuk dirinya sendiri. Wartawan Senior, Sabam Siagian, menuturkan, pada awal 1962, Sjahrir dikenakan status tahanan politik oleh rezim Soekarno. Dan setelah berpindah-pindah tahanan dan menderita tekanan darah tinggi, ia diizinkan mendapat perawatan di Zurich, Swiss, dengan status tetap sebagai tahanan politik sampai akhirnya meninggal dunia 9 April 1966 di usia 57 tahun. [SP/Erwin Lobo]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 11 September 2009

No comments: