Sunday, March 15, 2009

Wacana: Membangun Gerakan Politik lewat Musik

-- Wakos R. Gautama*

MUSIK mempunyai peran begitu besar dalam kehidupan manusia. Lewat musik, manusia bisa mengaktualisasikan diri. Kita bisa tahu apa yang sedang dialami seseorang hanya lewat musik yang didengarnya; apakah ia sedang sedih, gembira, jatuh cinta atau sedang patah hati.

Ketika sedang patah hati, misalnya, seorang Slankers tidak akan bosan-bosannya mendengarkan lagu Anyer 10 Maret. Atau jika Anda seorang Baladewa yang sedang rindu dengan kekasih, maka lagu Kangen bisa Anda putar berulang-ulang di MP3 player Anda. Saat terjadi bencana tsunami di Aceh, Untuk Kita Renungkan atau Berita Kepada Kawan milik Ebiet G. Ade menjadi lagu wajib di televisi.

Yah, musik adalah gambaran hati seseorang. Anda tahu apa yang dilakukan seorang Iwan Fals ketika ia muak dengan kondisi negeri ini? Jawabannya adalah mencipta lagu. Maka tidak usah heran jika di era Orde Baru lagu-lagu ciptaannya penuh dengan nada kritik terhadap kondisi negeri ini. Bahkan ketika ia menemukan spiritualitas dalam dirinya, ia mengeluarkan album Suara Hati yang penuh renungan.

Musik memang mempunyai kekuatan yang begitu dahsyat. Ia bisa menjadi api yang membakar jiwa yang lemah. Itulah mengapa para tentara setiap berolahraga lari mendendangkan mars kesatuannya. Berlari sambil menyanyi ternyata bisa menambah semangat mereka.

Tidak hanya menjadi api, musik juga bisa menjadi air yang memadamkan api amarah. Seorang teman pernah bercerita bahwa saat rumahnya akan digusur, ia berniat melawan. Tapi niatan itu buyar seketika saat ia teringat secuplik lirik lagu dari musisi favoritnya. Menurutnya lirik itu bercerita bahwa untuk bertahan hidup kita harus bisa bersikap lembut walau hati panas bahkan terbakar sekalipun.

Musik dan Politik

Sebegitu hebatnya peran musik dalam memengaruhi perilaku seseorang. Ia seperti mantra para dukun yang menyihir para korbannya hingga mengikuti apa kemauannya. Hal ini dibuktikan oleh Brian A. Primack, seorang asisten profesor kedokteran dan pediatri di Universitas Pittsburgh. Dalam penelitiannya tentang hubungan musik dan seks remaja, ia mengatakan, "Orang-orang yang terekspos pesan-pesan tertentu dalam musik lebih berkecendrungan meniru atau mencontoh apa yang mereka dengar." (Lampung Post, 26-2)

Dengan begitu, berarti musik pun bisa menjadi instrumen yang memengaruhi dalam dunia politik. Hal yang tidak mustahil karena dunia politik di Indonesia selalu bersentuhan dengan musik.

Sekarang saja kita lihat, dalam setiap ajang kampanye para politisi, tidak bisa dilepaskan dari yang namanya musik. Orasi politik dicampur dengan goyangan para biduanita sudah menjadi kebiasaan dalam setiap kampanye di negeri ini. Porsi musiknya pun lebih banyak ketimbang orasinya. Semua itu dilakukan untuk menarik massa. Maklum, masyarakat lebih tertarik dengan goyangan biduan daripada ocehan para politisi yang belum tentu kebenarannya.

Persentuhan antara musik dan politik yang terjadi di Indonesia ini sebenarnya hanyalah bentuk eksploitasi musik oleh para politisi. Musik hanya dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat para politisi. Buktinya, sampai sekarang jarang para politisi di Senayan yang concern dengan yang namanya pembajakan. Para musisi kurang mendapat dukungan dari para pembuat kebijakan tentang masalah pembajakan yang merugikan para pekerja seni musik.

Hal ini harusnya menjadi acuan para pelaku musik Indonesia ketika akan memutuskan untuk terlibat dalam sebuah ajang kampanye walaupun posisi mereka di situ hanya sebagai penghibur. Jangan sampai mereka hanya dimanfaatkan oleh para politisi. Pelaku musik Indonesia harus mempunyai posisi tawar di hadapan para politisi.

Untuk itu para musisi jangan hanya memosisikan musik sebagai sebuah industri yang hanya dijadikan sebagai ajang pengumpul kapital. Musik, menurut Cak Nun, bisa hadir pada peta sejarah yang lebih luas. Tidak hanya sekedar "abdi dalem oceh-ocehan" tapi musik bisa mengambil posisi untuk menciptakan paradigma zaman (Rolling Stones, Februari 2009).

Artinya, di sini para musisi menurut wartawan senior Kompas, Budiarto Shambazy, dituntut lebih berperan dan memberikan kontribusi kepada perjalanan sosial dan politik bangsa ini (Rolling Stones, Februari 2009). Menurutnya, saat ini belum ada musisi Indonesia yang mampu mengubah atau setidaknya memengaruhi lanskap politik nasional. Kalaupun ada sifatnya hanya sporadis dan ornamental.

Sebagaimana kita tahu, pengaruh musik terhadap perilaku seseorang itu sangat besar. Dan agar musik lebih berguna dalam kehidupan sosial masyarakat maka musisi dengan musik sebagai medianya diharapkan bisa memberikan pendidikan politik kepada para pendengarnya. Jangan hanya berisi tentang kesenduan cinta tapi juga menciptakan musik yang berisi tentang pendidikan politik seperti ajakan untuk tidak memilih politisi busuk.

Tentu hal ini harus diwujudkan dalam sebuah gerakan bersama. Pemilu tahun ini adalah momentum yang tepat untuk memulai sebuah gerakan politik yang digalang para musisi yang peduli terhadap keadaan negeri ini. Dan semoga pertemuan para musisi di Jalan Ampera Raya, Jakarta Timur bisa menjadi tonggak awal bagi terbentuknya gerakan ini.

* Wakos R. Gautama, aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009

1 comment:

Brawijaya said...

mas, aku ingin bertanya untuk literatur yang ngebahas tentang musik dan politik