-- Catur Wiyogo*
APA yang diharap dari sastra ketika faktanya sulit menemukan sekumpulan siswa asyik mendiskusikan Bumi Manusia karya Pramoedya?
Keterpurukuan Indonesia harus diakui berbanding lurus dengan maraknya kasus kemanusiaan dan dekadensi moral. Jika demikian, bisakah apresiasi sastra menjadi alternatif solusi masalah bangsa?
Dibanding negara-negara lain, tingkat apresiasi sastra di Indonesia berada pada taraf memprihatinkan. Siswa sekolah menengah di Malaysia, Filipina, dan Thailand akrab dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer dan sastrawan besar dunia lainnya. Di Indonesia, jarang didapatkan sekumpulan siswa yang asyik berdiskusi novel Bumi Manusia, misalnya.
Anak-anak sekolah menengah pertama di sejumlah negara maju sudah rajin berlatih drama Hamlet, Romeo and Juliet, Macbeth, Othello, King Lear, dan Julius Caesar karya William Shakespeare, misalnya; mahasiswa-mahasiswa di Indonesia baru mengetahui Shakespeare (1564-1616) adalah pujangga Inggris yang sudah terkenal selama lima abad.
Kurikulum Pendidikan
Pada satu sisi, kurikulum pendidikan Indonesia kurang memberi peluang pada kemampuan apresiasi sastra anak didik. Jika kita perhatikan, soal-soal ujian mata pelajaran sastra di sekolah menengah "hanya" pertanyaan-pertanyaan semacam kapan Chairil Anwar dilahirkan atau apa salah satu judul novel terkenal Marah Rusli. Belum pernah kita menemukan ujian yang mengharuskan murid menghafal satu bait puisi Chairil Anwar atau mengharuskan membuat komentar pendek tentang novel karya sastrawan Indonesia, misalnya.
Dalam kurikulum pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan apresiasi sastra, bangsa kita benar-benar menjadi bangsa yang miskin spiritualitas sehingga mudah melakukan hal-hal nista tanpa rasa bersalah atau malu.
Tanpa bermaksud membesar-besarkan pentingnya sastra bagi kehidupan, jika sejak kecil anak-anak kurang mendapatkan pendidikan apresiasi sastra, sangat sulit mengharapkan mereka tumbuh-berkembang menjadi manusia-manusia yang memiliki kekayaan spiritualitas yang dapat membuatnya hidup terhormat. Sebab, dalam karya sastra terkandung nilai-nilai spiritualitas yang dapat memengaruhi perilaku kehidupan bangsa, setelah ajaran agama.
Seringkali konsep hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan alam, maupun hubungan antarbangsa yang baik, berawal dari ide gagasan para sastrawan yang tertuang dalam karya sastra. Roman Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya menyiratkan harmoni tokoh utamanya berkaitan peristiwa hidupnya dengan orang-orang di sekeliling, dengan bangsanya (dalam cerita ini, tokoh utama adalah seorang tentara KNIL) juga mengambil nilai-nilai kebijaksanaan seekor burung manyar.
Sastra juga banyak memberikan informasi tentang masa lalu yang berkaitan dengan sejarah suatu bangsa, yang bisa menjadi spirit dan bisa dikembangkan generasi berikutnya.
Semua itu hanya bisa dimengerti jika dibaca seksama. Karenanya, pendidikan sastra di sekolah harus ditingkatkan dan difokuskan menuju upaya meningkatkan apresiasi sastra sehingga anak-anak sejak kecil terdorong mengenal karya-karya sastra lebih mendalam.
Kurikulum pendidikan selayaknya tidak mengesampingkan upaya peningkatan apresiasi sastra, dengan meminimalkan kuota pelajaran sastra di sekolah-sekolah hanya dengan anggapan sastra tidak penting bagi pembangunan bangsa. Sebab sudah terbukti, bangsa-bangsa yang kini maju memiliki kurikulum pendidikan yang memposisikan apresiasi sastra sebagai "primadona" di sekolah. Siswa di negara-negara maju bisa membanggakan orang tua dan guru-gurunya jika mampu memerankan tokoh utama dalam pentas drama klasik pada perpisahan sekolah.
Layak Ditingkatkan
Sekarang, dengan makin maraknya kejahatan kemanusiaan termasuk dekadensi moral yang merajalela dan berdampak buruk pada tiap aspek kehidupan bangsa, sudah selayaknya usaha peningkatan apresiasi sastra digalakkan. Tanpa bermaksud meremehkan agama dan perangkat hukum, berbagai kasus kemanusiaan di Indonesia menunjukkan tingkat pemahaman yang belum dewasa; bahkan mengatasnamakan agama yang mengakibatkan efek yang menyedihkan. Pada akhirnya, agama dan perangkat hukum tidak mampu mengatur kehidupan bangsa; karenanya harus didukung spiritualitas sastra sebagai produk peradaban dan kebudayaan yang bersifat universal.
Dalam setiap karya sastra, di dalamnya dapat dipastikan terkandung nilai-nilai spiritualitas tentang kehidupan yang bisa dijadikan modal dasar membangun karakter bangsa, yang bersumber dan diawali dari unsur pelaku (manusianya). Dalam konteks lain, karya-karya sastra yang dikategorikan "berbahaya" seperti novel-novel berdimensi erotisme tetap mengandung nilai-nilai moral yang layak dikaji dengan sikap apresiatif. Novel Ayu Utami, Saman, misalnya, tidak hanya mengumbar sensualitas tetapi perbenturan nilai peradaban modern yang coba ditawarkannya. Dalam hal ini, karya sastra "seburuk" apa pun bisa mendidik pembacanya untuk bersikap kritis dalam memilih dan memihak nilai-nilai moral yang ditawarkannya.
Jika ada niat meningkatkan apreasiasi sastra, pihak otoritas sekolah dapat memilih karya-karya sastra klasik yang banyak memuat nilai-nilai moral dan spiritualitas untuk menjadi kajian siswa. Demikianlah, jika kini dekadensi moral dianggap sebagai penyebab robohnya gedung-gedung sekolah, rusaknya jembatan dan jalan-jalan yang baru dibangun serta hancurnya lingkungan hidup di negeri ini, mungkin ini bisa dikaitkan dengan minimnya pendidikan sastra.
* Catur Wiyogo, eksekutif kajian sosial budaya Andrasmara, civitas academica ISI Surakarta.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Maret 2009
No comments:
Post a Comment