Judul Buku: Presiden Guyonan
Penulis: Butet Kartaredjasa
Penerbit: Kitab Sarimin-Jogjakarta
Cetakan: I, November 2008
Tebal: xxiv + 285 halaman
PADA suatu pagi yang hening, di tengah suasana tafakur doa, para murid tersentak dikegetkan suara guru meditasi mereka bergegar-gegaran meledak dalam tawa. Saat sore tiba, pada upacara pemakaman seorang petinggi kerajaan, para murid dibikin sontak pula oleh derai tawa lepas guru mereka. Malam hari, saat seluruh penghuni perguruan Zen harus silentio stampa (puasa omong), sekali lagi sang guru terpingkal-pingkal ketawa. Para murid masygul mendapati ketidaklaziman itu. Guru pun berkata, ''Manakala surga menyentuh hatiku masakan aku diam saja. Hatiku melonjak girang bagaikan saut riuh kicau burung di waktu fajar.''
Sang guru Zen telanjur dipandang sebagai manusia bijaksana. Sepanjang hidup, ia mencari, mendalami, dan merenungkan kebijaksanaan. Ia merasa belum sampai pada kebajikan hidup. Kesadaran itu ia alami saat tertawa. Kebijaksanaan justru terjadi saat sang guru tertawa karena menemukan persepsi kontradiktif atas realitas hidupnya.
''Abundant living: think deeply, speak gently, laugh often, work hard, give freely, pay promptly, pray earnestly, be kind.'' Aforisma John Kanary, spiritualis Kanada ini, pas banget buat meringkas sepak terjang Butet Kartaredjasa. Pengasong jasa akting itu hidup berkelimpahan berkat kegemarannya berpikir mendalam, bicara gagah, selalu bikin siapa pun tertawa lepas, suka bekerja keras, ikhlas memberi, tidak menunda pembayaran, doa bersungguh-sungguh, dan ramah.
Butet Kartaredjasa punya banyak predikat: raja monolog, tukang tonil (pemain sandiwara), pemangsa makanan enak, panglima Front Pemuja Guyonan, dan kolomnis. Buku Presiden Guyonan bukti Butet piawai bertutur dalam bentuk esai. Buku ini merupakan antologi ''Kolom CELATHU'' di harian Suara Merdeka Semarang.
Celathu merupakan sketsa sosial ganjil dibingkai spirit kejenakaan. Mas Celathu, tokoh alter-ego Butet, manusia waton njeplak yang penuh sense of irony. Gerundelan perihal kepahitan hidup senantiasa dibungkus gurau. Celathu, dalam percakapan lumrah orang Jogja dan Jawa Tengah, artinya berujar, menyambar omongan, dan nyeletuk. Butet menyambar fenomena-fenomena aktual. Pun peristiwa yang sedang menghajar dirinya.
Lomba makan kerupuk dan panjat pinang, bagi Butet, tak lain sindiran rakyat terhadap makna hari kemerdekaan. Para pemimpin yang dipercaya sebagai bangsa konsisten menyelenggarakan kemiskinan. Demi sepotong kerupuk rakyat harus berjuang keras dan berebut mengunyah. Makna 64 tahun kemerdekaan masih seperti panjat pinang. Mereka yang di bawah diminta menjadi tumbal kemakmuran segelintir manusia yang bertengger nun di atas singgasana kekuasaan.
''Dunia ini memang aneh,'' gerutu Butet. Sementara banyak orang bernafsu menjadi raja semu, eh, malah ada raja beneran mendiskon derajat dengan mencalonkan diri sebagai presiden. Pemangku budaya adiluhung itu dinilai Butet silau dengan jabatan politik yang umurnya cuma lima tahun. Kursinya pun penuh ketonggeng, kalajengking, bangsat, lipan, kelabang, dan tikus. Ketimbang jadi presiden beneran tapi mendukung eksperimen guyunan semacam proyek Blue Energi dan Padi Super Toy HL2, Butet memiilih jadi presiden guyonan.
Multimedia di zaman digital cenderung meringkas, memoles, dan memanipulasi informasi dalam bentuk iklan politik. Busuk dibikin segar. Kasar dicitrakan lembut. Jahat dikemas alim. Koruptor dipoles suci. Pembunuh disugestikan dermawan. Kriminal dibesut jadi agamis. Iklan politik bagian dari mata rantai industri dan perdagangan. Hakikatnya jual beli. Modal ditanam agar laba lekas dipanen. Investasi yang tak murah itu jelas bukan pengabdian. Butet menganjurkan khalayak mewaspadai reklame calon anggota legislatif, bupati, wali kota, gubernur, dan presiden. Kepemimpinan tokoh yang mendadak kondang berkat iklan politik punya kecenderungan absurd. Dua tahun pertama ia bakal sibuk sebrak saut mengembalikan modal investasi. Dua tahun berikutnya aji mumpung buat memetik laba. Tahun terakhir sang memimpin sibuk cari modal buat beriklan pada pemilu berikutnya.
Butet mengusulkan merger Departemen Perhubungan dengan Departemen Agama. Departemen Perhubungan sukses meningkatkan keimanan dan ketakwaan manusia Indonesia. Para penumpang pesawat terbang, kereta api, bus, dan kapal laut menjadi religius dadakan. Mereka yang biasanya mengabaikan Tuhan langsung berdoa mohon keselamatan selama perjalanan. Soalnya, pesawat acap nyungsep, kapal karam, bus masuk jurang, dan kereta terguling. Kantor BKKBN sebaiknya ditutup. Peran mengendalikan jumlah penduduk telah diambil alih Departemen Perhubungan. Departemen Agama kelak tugasnya hanya membangun tempat ibadah di bandara, stasiun, pelabuhan, dan terminal. Kelak urusan agama tidak lagi diatur negara. Agama dikembalikan ke wilayah privat seperti halnya mandi, gosok gisi, makan, dan tidur.
Derai tawa Butet berlumuran satir sarkasme yang menggebuk ulu hati. Kemampuan Butet melucuti pelbagai paradoks lalu mengubahnya menjadi ironi bergelimang sikap mencemooh dan menertawakan, meminjam kerangka berpikir antropolog James Scott, boleh disebut sebagai weapon of the weak (senjata kebajikan kaum keserakat).
Butet memang membiasakan diri hidup rileks dan tidak gampang disulut amarah. Serumit apa pun persoalan tidak dibawanya dalam kepanikan. Masalah yang gawat tidak membuatnya kapok ketawa. Selalu ditemukan akal buat mengubah yang pahit menjadi segar. Bercanda membuat syarafnya kendor dan pembuluh jadi longgar. Butet telah menemukan sari pati kehidupan: perasaan syukur. Ia menerima dengan ikhlas diabetes mellitus akut yang bergentayangan di sekujur tubuhnya.
Esai-esai Presiden Guyonan mengalir tak ubahnya kolom Mangan Ora Mangan Kumpul milik almarhum Umar Kayam. Butet memang mewarisi ketangkasan menulis dari mentornya itu. Spontanitas Butet dalam mengironikan tragedi setali tiga uang almarhum Basiyo, komedian masyur Jogja era 70-an. Gaya berkisahnya yang menyengat laksana lebah membangunkan kerbau tidur mengingatkan orang ramai akan obrolan Pak Besut di RRI Jogja dekade 70-an.
Novelis Ashadi Siregar berkomentar, sulit mencari orang Jogja asli yang rileks penuh canda dalam mengurai perkara ruwet. Orang Jogja, tak beda dengan manusia Indonesia umumnya, ngrenggiyek (tegang) menghadapi persoalan pelik semisal status keistimewaan Jogja. Dan, Celathu dibikin asyik dengan goresan jenaka kartunis Dwi Koendoro.
Humor memang siasat menjaga keselarasan semesta hikmah. Celathu menghidupkan kembali semangat ugahari Basiyo dan Pak Besut. (*)
J. Sumardianta, guru SMA de Britto Jogjakarta, penulis buku Simply Amazing: Inspirasi Menyentuh Bergelimang Makna
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 22 Maret 2009
No comments:
Post a Comment