Sunday, March 01, 2009

Fiksi Indonesia Minus Fiksi Ilmiah

-- Nyoman Tusthi Eddy

ISTILAH fiksi ilmiah yang terbentuk dari dua kata paradoks dapat dijelaskan demikian: Fiksi adalah cerita prosa yang berdasarkan imajinasi atau angan-angan penulisnya. Ilmiah berarti bersifat ilmu pengetahuan. Unsur ilmu pngetahuan dalam hal ini masih berupa gagasan, belum terwujud dalam kenyataan.

Panuti Sudjiman dalam bukunya "Kisahan yang alur, tema, dan latarnya secara imajinatif didasarkan pengetahuan, teori,dan spekulasi ilmiah" (1990: 16).

Salah satu fiksi ilmiah klasik yang terkenal misalnya From the Earth to the Moon karya Jules Verne yang ditulis pada abad ke-18. Sepanjang pengetahuan saya inilah fiksi ilmiah pertama tentang penerbangan ruang angkasa.

Berbicara tentang fiksi ilmiah kita bisa kecewa berat terhadap khazanah fiksi Indonesia. Kita belum memiliki fiksi ilmiah. Tetapi hal itu tidak merupakan indikasi Indonesia belum meliki iptek. Fiksi telah banyak ditulis. Iptek telah dikembangkan dan diaplikasi. Masih ada faktor yang menyebabkan belum munculnya ilmiah dalam khazanah fiksi Indonesia.

Dari sifat spesifiknya fiksi ilmiah lahir dari seorang penulis fiksi yang terampil sekaligus berselera tinggi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketrampilannya mengolah imajinasi disintesekan dengan ketrampilannya berimajinasi dalam ilmu pengetahuan. Penulis fiksi ilmiah harus menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan. Sebab dalam fiksi ilmiah terdapat ungkapan-ungkapan rasional.

Hal lain yang mendorong lahirnya fiksi ilmiah adalah kebebasan berfikir. Maksudnya adalah bebas dalam menginterpretasikan pengalaman keilmuan dalam kenyataan dan bebas pula mengekspresikan dalam bentuk fiksi.

Seorang penulis fiksi ilmiah adalah pencipta (cerita) yang melampaui zamannya. Gagasan ilmiah yang diungkapkan dalam fiksinya mungkin masih sangat asing bagi masyarakat zamannya. Resiko paling niscaya bagi seorang penulis fiksi ilmiah adalah diejek atau dicemooh oleh masyarakatnya. Hal ini wajar karena reaksi masyarakat itu merupakan salah satu refleksi kebebasan berfikir. Jules Verne tak pernah ambil pusing dengan ejekan budayawan dan ilmu sezamannya.

Kedua faktor itu belum dimiliki oleh penulis fiksi kita. Tampaknya para penulis fiksi kita belum mau mengakrabi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya seorang ilmuwan yang punya ketrampilan menulis masih merasa tabu mengembangkan imajinasinya; karena imajinasi masih dianggap kurang berharga bagi dunia ilmu. Dari dua kutub yang paradoks dan tertutup itu tak mungkin lahir fiksi ilmiah; sebab masing-masing menganggap dunianya tak ada hubungannya satu dengan lainnya. Kebebasan berfikir dan berpendapat, seperti halnya para intelektual dan budayawan di negara maju, belum mentradisi di negara kita. Penyebabnya tak lepas dari sifat sosio-budaya masyarakat kita. Kita ditradisikan untuk cenderung menyelaraskan diri dengan lingkungan dan sedapat mungkin menghindari perbedaan frontal. Orang menjadi takut dan grogi jika berbeda dengan orang lain. Orangpun takut dicemooh dan diejek karena pendapat berbeda dengan orang lain.

Keadaan ini diperkuat lagi dengan sistem politik represif pemerintah Orde Baru; yang salah satu wujudnya adalah penyeragaman di segala bidang. Maka kreativitas sebagai salah satu manifestasi berfikir menjadi kerdil.

Sumber ilham fiksi ilmiah amat banyak; karena merupakan bagian integral dari kebudayaan. Ilmu dan fiksi saling mengisi dan mendorong dalam perkembangan kebudayaan. Unsur-unsur dari keduanya juga ada dalam diri manusia. Berimajinasi, mengkhayal, dan berfikir tumbuh selaras dalam diri manusia yang normal.

Dongeng dan mitologi adalah sumber fiksi ilmiah yang potensial. Embrio fiksi ilmiah bisa lahir dari dongeng atau mitologi yang diinterpretasikan dan ditransformasikan dengan matra ilmu pengetahuan. Dari sini lahir dongeng baru dimana ilmu pengetahuan menjadi substansinya.

Fiksi ilmiah memiliki adaya tarik unik karena mengambang antara fiksi/dongeng dengan ungkapan ilmu pengetahuan. Buku-buku Erich von Daniken misalnya Chariot of the Gods (Kereta Para Dewa), The Gold of the Gods (Emas Para Dewa), mirip fiksi ilmiah meskipun buku itu ditulis atas dasar data hasil penelitian antropologi yang berskala luas dan mendalam. Karena bukti-bukti historis yang dipakai landasan telah jauh ditelan zaman dan diinterpretasikan berdasarkan keilmuan modern, maka pembaca modern saat ini mungkin menganggapnya fiksi. Gods (Para Dewa) dalam berbagai mitologi ditafsirkan sebagai astronot dari suatu galaksi di luar tata surya kita yang pernah mengunjungi planet kita di masa silam. Interpretasi yang kontroversial inilah menimbulkan nuansa fiksi ilmiah.

Dari sudut penulisan dan pengembangan fiksi ilmiah, buku-buku Erich von Daniken dapat menjadi sumber modern paling potensial, terutama dalam menginterpretasikan substans mitologi.

Melalui penafsiran kontemporer ala Erich von Daniken, unsur mitologi dalam cerita Mahabharata dapat menjadi substansi fiksi ilmiah. Keluarga Korawa yang dikisahkan lahir dari potongan-potongan daging yang dipelihara dalam tempayan bisa ditafsirkan sebagai manusia rekayasa dengan sistem bayi tabung. Mesin penditeksi milik Kresna yang dapat memantau sidang para Dewa di Surga ketika membahas perang Bharatayudha adalah perangkat internet super canggih. Cakra milik Kresna yang dapat dilepas dan diperintahkan untuk kembali adalah UFO tanpa awak yang dkendalikan dari jarak jauh. Penafsiran-kreatif kontemporer semacam ini bisa terus diperpanjang dari berbagai sumber.

Sumber-sumber ilham itu memerlukan seorang penulis fiksi yang kreatif dan punya wawasan iptek. Apresiasi seorang seniman terhadap hasil-hasil iptek adalah bahan mentah fiksi ilmiah. Rancang-bangun sebuah model pangkalan ruang angkasa misalnya, sebagian merupakan hasil garapan para seniman. Rancangan ini mungkin belum terwujud dalam kenyataan, tetapi jelas memiliki spekulasi ilmiah.

Harapan kita akan lahirnya fiksi ilmiah khas Indonesia mungkin masih sangat jauh. Kendalanya bukan hanya terletak pada ketrampilan, wawasan dan kreativitas para penulis fiksi, tetapi ada faktor sosio-budaya (antara lain kebebasan berfikir) yang perlu dikondisikan. Faktor itu harus diupayakan melalui transformasi budaya yang mendasar.***

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Februari 2009

No comments: