-- Fransisca Dewi Ria Utari
DALAM buku Demonstran Sexy, Binhad Nurrohmat melawan kecenderungan puisi mutakhir.
Sebagai bagian dari karya seni yang diciptakan manusia, sastra tidak pernah kehilangan persediaan persoalan untuk diungkapkan. Sepanjang manusia tetap ada, sastra akan tetap muncul sebagai bagian dari perjalanan sejarah manusia. Namun sejarah juga mencatat beragam perubahan yang dilakukan manusia. Lantas apakah posisi sastra—dalam hal ini pelakunya—juga ikut berubah atau menetap.
Posisi sastra dalam kaitannya dengan terus berubahnya kehidupan sosial politik manusia, menjadi tema hangat yang dibicarakan dalam diskusi Sastra dan Slogan Politik, bedah buku puisi Demonstran Sexy karya Binhad Nurrohmat di Darmint Café, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (27/3). Diskusi yang diadakan Balesastra Kecapi ini mengundang budayawan FX Mudji Sutrisno dan pengamat politik Yudi Latif sebagai pembicara dengan dimoderatori oleh Damhuri Muhammad.
Menghubungkan puisi ini dengan perjalanan sosial politis bangsa Indonesia, sama-sama menjadi bahan acuan bahasan kedua pembicara. Bisa dibilang diskusi ini lebih cenderung membicarakan soal posisi sastra dalam ruang publik ketimbang memberi pandangan soal dimensi estetis atas karya-karya puisi Binhad.
Sedari awal, Yudi Latif mengakui bahwa dalam mengupas karya Binhad, ia mengabaikan dimensi tehnikalitis dan estetika, karena ia memilih mendekatinya dari aspek signifikansinya. “Karena saya tidak dalam otoritas untuk memberi pandangan secara estetik. Lagipula, menurut saya ketika sastra tidak pernah kehilangan stock persoalan, sastra bisa mencoba mencari ruang pengucapan alternatif untuk memberi proses artikulasi tanding terhadap persoalan-persoalan itu,” ujar Yudi Latif.
Yudi kemudian membuka diskusi ini dengan membandingkan masa Orde Baru dengan saat ini. Ia melihat bahwa Orba merupakan masa represif otoritarian di mana ortodoksi negara menjadi standar objektifitas. Subjektifitas-subjektifitas di luar negara ditiadakan dengan contohnya ilmu-ilmu sosial atau akademik takluk di bawah ortodoksi negara. “Jalan bagi rakyat untuk keluar dengan pikiran-pikirannya sendiri, justru mendapatkan mediasinya dalam kesusastraan,” kata Yudi yang juga memberi kata pengantar pada buku Binhad.
Situasi saat itu memperlihatkan bagaimana dunia imajiner atau fiksi, menjadi kerajaan objektifitas. Para sastrawan menjadi interpreter dari masalah-masalah sosial. Kita bisa melihat contohnya dalam puisi-puisi Widji Thukul di mana persoalan-persoalan masyarakat saat itu diartikulasikan secara kuat.
Sangat berbalik dengan situasi sekarang. Di mana objektifitas negara hampir hancur lebur, negara tidak bisa membawa standar otoritas. “Kita berayun dari situasi otoriter ke situasi nyaris tanpa otoritas,” kata Yudi. Ia mencontohkan bagaimana negara tidak bisa membuat rule of law, atau bahkan mengeksekusi satu jengkal tanah di jalan tol. Situasi ini memunculkan perlombaan-perlombaan subjektifitas yang mengurung ruang publik. “Yang kita tunggu bagaimana respon kesusastraan di dalam eksplosi samudera subjektifitas identitas ini,” ujarnya menambahkan.
Jika dulu sumber dari represi itu muncul dari representasi negara, maka sekarang ini standar objektifitas luluh oleh lautan subjektifitas dalam bentuk politik identitas, fanatisisme, dan fundamentalisme. Ditegaskan Yudi, ancaman saat ini justru datang dari elemen-elemen civil society.
Yudi mencontohkan sejumlah kasus-kasus fanatisisme yang mengancam. Fanatisisme dalam hal ini adalah suatu paham untuk menolak adanya prinsip representasi. Contoh dalam agama adalah munculnya watak anti ikon, yang ditunjukkan dengan tindakan membakar patung Budha dan ikon-ikon lainnya.
Dalam politik, penolakan representasi ditunjukkan dengan pandangan bahwa kerajaan Tuhan lah yang harus dihadirkan tanpa perlu adanya perantara.
Sedangkan dalam seni, fanatisisme tidak bersedia memahami keberadaan estetika gap. Yakni, di mana realita yang dikemukakan dalam sebuah karya seni tidak selalu merupakan tiruan dari realita sesungguhnya. Pandangan inilah yang dihantam oleh fanatisisme.
Selain lautan subjektifitas, problem kehidupan saat ini adalam persoalan demokrasi di mana tengah terjadi tekanan persoalan kelembagaan dan prosedural yang tidak didukung oleh ruang publik yang sehat. Yudi kemudian mengambil sudut pandang Habermas, di mana ukuran ruang publik yang sehat, adalah ketika terjadi keseimbangan antara dimensi kognitif scientific, praktek moral, dan ekspresif estetik.
Ketiga ukuran itu sedang kosong dalam situasi ruang publik kita. Dihadapkan pada ruang publik yang sakit seperti ini, apakah sastra sebagai rumah kehidupan itu, akan menjadi persoalan itu sendiri atau bisa melahirkan alternatif untuk keluar dari kepengapan ruang publik tersebut.
Jadi mestinya, menurut Yudi, dengan problem ruang publik saat ini, cukup amunisi bagi kalangan sastra untuk melahirkan karya-karya besar.
Adapun posisi karya Binhad dalam situasi ‘sakit’ saat ini, Yudi menilai bahwa ia mewakili pandangan masyarakat saat ini yang tengah kehilangan kepercayaan. “Puisi Binhad menunjukkan aspek distrust. Ia tidak percaya pada penguasa, tidak percaya pada penyair, tidak percaya pada senioritas, bahkan tidak percaya pada Indonesia,” ujar Yudi.
Dalam situasi ketidakpercayaan itu, Binhad melakukan dekonstruksi atas apapun, namun tidak berpretensi untuk melakukan rekonstruksi. Binhad juga dinilainya melakukan pengambilan jarak terhadap realitas kehidupan dengan dua cara: yaitu memfamiliarkan jargon-jargon politik yang tidak akrab di telinga masyarakat, namun juga melakukan sebaliknya. Yaitu menjauhkan atau tidak mengakrabkan istilah-istilah yang sudah dikenal.
Aspek politis mutakhir juga dikaitkan Mudji Sutrisno pada puisi-puisi Binhad. “Saya melihat pentingnya buku ini karena muncul dalam ruang publik yang pengap oleh politisasi, spiritualisasi, fundamentalisasi dan terutama ekonomisasi. Posisi buku ini menjadi enak karena bisa menjadi cermin untuk menunjukkan apakah terjadi politisasi estetika atau politisasi puisi atau estetisasi dari politik itu sendiri,” ujar Mudji Sutrisno.
Di dalam buku ini, Mudji melihat bagaimana Binhad dengan kentara mengkritik penyair yang tampil ke panggung dengan gaya sok politikus, namun mengaku sebagai seorang yang melawan tirani.
Lantas Mudji mengistilahkan karya Binhad ini sebagai salah satu karya yang masih koma. Penjelasan tentang koma ini dikisahkan Mudji lewat kenangannya akan almarhum Romo Mangun Wijaya. Dalam sebuah diskusi, seorang peserta dari kalangan muda, mengeluhkan pada Romo Mangun, bahwa karyanya terlalu menggunakan istilah yang panjang-panjang dan susah dimenegerti. Saat itulah Romo Mangun menjawab bahwa generasi si penanya itu adalah generasi titik. Sementara generasi Romo Mangun adalah generasi koma di mana ketika terbentur jalan buntu, tidak langsung menyerah.
“Buku ini adalah sebuah koma untuk merebut ruang-ruang kultural yang lebih manusiawi dan lebih Indonesia. Termasuk berani untuk mengkritik ke dalam dan keluar,” ujar Mudji Sutrisno.
Adapun pandangan yang lebih mengkritis soal estetika puitis justru berhasil diberikan Radhar Panca Dahana yang hadir dalam diskusi tersebut. Ia menilai puisi Binhad merupakan sebuah ekspresi dalam melawan kecenderungan-kecenderungan puisi mutakhir yang retorik dan prosaik. “Prosaik itu kan bermain-main pada diksi yang lebih dipahami orang awam. Dan kebanalan dalam puisi saat ini, dibongkar oleh Binhad. Dengan kata lain, lebih jujur,” ujar Radhar.
Namun pilihan ini dikelompokkan Radhar sebagai puisi masa romantik yang tentu saja malah kembali ke masa lalu. Di sinilah Radhar menegaskan bahwa hingga sejauh ini, belum ada penyair yang bisa menciptakan artikulasi baru dalam situasi yang disebutnya the dead of literature.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 29 Maret 2009
No comments:
Post a Comment