Friday, March 13, 2009

100 Tahun Sjahrir: Batin Bebas Jiwa Merdeka

-- B Josie Susilo Hardianto

SEBAGAI pemuda, Sjahrir adalah perpaduan antara ketajaman ilmu pengetahuan dan kedalaman batin.

Ia mampu hidup dalam tegangan antara global dan lokal. Ia bukan seseorang yang anti barat, bahkan kepada Sjahrazad, adiknya yang tengah belajar di Belanda, ia menganjurkan agar membuka pikiran dan hati lebar-lebar untuk menyelami Eropa supaya ilmu yang dipelajari menjadi hidup, tetapi Sjahrir adalah orang yang sekaligus mencintai Indonesia dan keelokan alamnya.

Mantan Duta Besar RI untuk Australia Sabam Siagian dalam diskusi bersama tentang Sjahrir yang digelar Kompas, beberapa waktu lalu, mengatakan, Sjahrir bukan manusia yang serba dingin dan rasional, ia juga peka terhadap yang indah dan harmonis. Dalam buku berjudul Sutan Sjahrir Renungan dan Perjuangan, Penerbit Djambatan dan Dian Rakyat, 1990, Sjahrir menuliskan kekagumannya pada keindahan yang ditemuinya selama perjalanan antara Makassar dan Ambon, tentang hutan di pesisir Sungai Digoel.

Kepergian Sjahrir ke Belanda untuk menuntut ilmu pun diduga tidak semata- mata terdorong oleh hasrat kuat untuk menggondol gelar akademis di sebuah universitas terkenal. Sabam menduga, Sjahrir justru terdorong oleh hasrat untuk mendalami pemikiran dunia Barat dengan hidup di tengah-tengah masyarakat Barat tanpa dibebani ikatan kolonial yang cenderung menimbulkan distorsi psikologis. Ada élan vital di dalamnya. Tentang itu, Rudolf Mrazek dalam Politics and Exile in Indonesia, Cornell University, Ithaca, New York, 1994, menggambarkan, Sjahrir bukanlah seorang mahasiswa yang tekun, tetapi ia sekaligus seseorang yang menyelami gagasan yang dibicarakannya, misalnya sosialisme.

Ia mampu berjarak pada pemikiran yang mendominasi dunia kala itu, demikian pun penjara. Sebaliknya, tempat-tempat di mana tubuh manusia dikekang, dan jiwa dikucilkan, Sjahrir leluasa berkelana dalam pemikiran besar dunia.

Petualangan itu pun tidak menjerat jiwanya hingga memaksanya harus memilih mazhab mana yang harus dianutnya. Pada 26 Desember 1936 dalam suratnya ia mengisahkan bahwa dirinya lambat laun mampu bebas dari perbudakan ilmu. Ia menulis, jiwaku menjadi lebih bebas, seolah tidak ada suatu pun tokoh besar yang diakui resmi atau tidak resmi, yang bisa menguasai dunia pikiranku, menyilaukan mataku dengan kewibawaannya dan mengenyahkan atau mematikan segala aktivitas asli dari jiwaku sendiri, tulisnya tentang pencapaian itu.

Keseimbangan dan harmoni. Bahkan harmoni dan keseimbangan pun dipandang hanya sebagai titik-titik istirahat dalam suatu gerak dan kemajuan yang terus-menerus. Menurut dia, yang utama adalah mencari perkembangan yang memampukan manusia bertumbuh dalam jiwanya.

Jiwa bebas

Meski setiap pemikiran dipelajari dengan antusias, jiwanya selalu bebas, batinnya merdeka. Ia mampu menyintesiskan setiap gagasan dengan pemikiran dan arus jiwa serta sikapnya sehingga pemikiran seseorang menjadi makin hidup dalam benaknya. Pemikiran itu seolah menemukan media yang tepat untuk tumbuh dan berkembang.

Kemerdekaan itu juga tampak saat Sjahrir menerima surat pembuangan ke Boven Digoel. Ia menyatakan, meski harus berpisah dengan yang dicintai, dan yang indah, justru saat itu ia merasa lebih erat pada bangsa dan rakyatnya.

Ketika Indonesia bergolak sesudah diproklamasikan, sikap itu tidak berubah. Bahkan, ia berani mengambil sikap menawarkan bentuk pemerintahan baru, parlementer. Menurut Soedjatmoko, putusan Sjahrir itu adalah pilihan taktis untuk melenyapkan cap bikinan Jepang pada kemerdekaan Indonesia serta cap fasisme sebagaimana dilekatkan Belanda. Bahkan pilihan taktis itu yang dilihat Soedjatmoko sebagai jalan untuk menyelesaikan konflik melalui jalan perundingan.

Secara strategis, sistem multipartai yang demokratis memungkinkan menjamin dukungan dan peran serta aktif dari banyak golongan dan aliran yang berbeda- beda dalam masyarakat majemuk Indonesia. Selain itu, sistem demokrasi juga akan membuat Indonesia lebih mampu melawan apa yang disebut Sjahrir sebagai musuh Indonesia jangka panjang, yaitu feodalisme dalam berbagai bentuknya dan warisan fasisme.

Baginya, negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan suatu ekspresi dan alat dari kedaulatan rakyat. Negara adalah alat untuk mencapai tujuan lain di samping revolusi, yaitu keadilan sosial, kebebasan, dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, ia pun dengan lepas bebas, leluasa, meninggalkan jabatannya sebagai perdana menteri, lalu menjalani perjuangan sebagai diplomat demi terwujudnya kemerdekaan Indonesia. Dan, justru karena itu, melalui suaranya, di depan Sidang Dewan Keamanan PBB berkumandang di seluruh dunia nama Republik Indonesia sebagai satu negara baru yang berdaulat.

Kepemimpinan

Sikap itulah yang membuatnya tumbuh menjadi sosok besar yang disegani meskipun ia kerap dipanggil dengan julukan Bung Kecil. Sikap lepas bebas itulah yang tampaknya saat ini semakin sulit ditemukan pada sosok kepemimpinan Indonesia modern. Bahkan sebaliknya, menurut dosen Filsafat FIB Universitas Indonesia Rocky Gerung, kepemimpinan elite Indonesia modern cenderung riuh.

Orang tidak mampu membedakan antara sarana dan tujuan. Ketakutan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM menunjukkan ketidakmampuan elite politik melepaskan diri dari jebakan kekuasaan, bahkan alih-alih berjarak atau membebaskan diri, mereka justru berebut mengikatkan diri dan menjadi hamba kekuasaan yang tanpa sadar menumpulkan, bahkan mematikan, jiwanya. Akibatnya, tiap kebijakan tidak pernah diambil atau berangkat dari keprihatinan masyarakat saat ini, sebagian besar justru berangkat dari kepentingan kelompok, golongan, bahkan kepentingan pribadi. Menyedihkan!

Sumber: Kompas, Jumat, 13 Maret 2009

No comments: