Tuesday, September 06, 2005

Nuansa: Tentang Perkawinan

: Udo Z. Karzi, 11 September yang itu

TIDAKKAH kau baca berita-berita itu, juru kamera televisi ke sana-ke mari, tak lupa juga polisi penjaga hukum-hukum kita itu. Pada sebuah berita, lelaki entah juga ia suami atau apalah--jika ia suami, mengapa ia begitu saja menggerakkan sepuluh jemari, mencekik leher istri--yang sadis menusukkan jejarinya ke leher putih selembut roti tawar itu. Cepat saja, esok hari berita-berita mengumandang tentang si suami yang mencekik istri hingga tewas. Leher melegam, bahu memerah; kata berita juga, telinga-mulut berdarah.

Mari-mari kita sama merasa, apakah ini perkawinan yang menghalalkan sesuatu yang haram, air mani dan nuftah ovarium menjelma jasad yang kemudian ditiupkan ruh oleh yang Mahahidup? Seperti inikah?

Oh, ya ... Kita sedang berbicara sebuah perkawinan, bukan berhebat-hebat merumuskan sebuah perkawinan. Mari-mari, Udo Z. Karzi, kita sama bertemu pada bejana besar tak berhingga hingga segala gagas tumpah. Kemudian ia menggunung, membantu kita memberi bentuk perkawinan-perkawinan itu.

Mari-mari Udo Z. Karzi.

Tidak ada yang ideal, kata kamu. Mungkin benar. Silakan kamu menggagas sepuas kau berkhalwat di pusat malam. Mari-mari Udo Z. Karzi. Bukankah Ia mencipta malam untuk kita-kita yang ingin menikmat rasa: bumi-langit-manusia adalah jagat kecil yang berhadap-hadap juga luruh dalam jagat besar yang itu...???

Lelalang-wewadon, lelaki-perempuan juga jagat-jagat yang luruh pada sebuah pertemuan kosmis yang mistis. Begitukah, saudaraku Udo Z. Karzi?

Ahaaa...mungkin kau bersungut malu, tentang jasad-jasad telanjang, misalnya. Tapi, ehemmm...bukankah kita sudah usang hingga jasad telanjang-telanjang kita tak lagi telanjang seperti lelanang-wewadon bergumul dalam jiwa-jiwa rusuh. Ada wiski, mungkin black label, juga seliwer pramumalam mengusung dentum bas drum dan keciprak senar drum di barbar. Gubahan mengacak-acak binal malam. Ehemmm...!

Menurutku, "tidak". Karena kita sudah lampau!

Andai kau ingin berseberangan, mungkin membantah omonganku, ooo...silakan. Silakan, saudaraku, Udo Z. Karzi. Kita ini sedang menggagas sebuah perkawinan, tidak sedang mendefinisikan apa itu perkawinan. Kita datang dari rasa, lalu rasa menggerak karsa. Rasa kita adalah rasa semesta. Rasa rasaning urip. Lalu, apalagi yang memaksa kita khawatir...?

***

Malam masih ada, sebentar lagi kau di peraduan berdua.

11 September sudah dekat, katamu. Kataku, biarlah sekat-sekat itu menjelma kekasih yang melekat bagai belikat. n RAHMAT SUDIRMAN

Sumber: Lampung Post, 6 September 2005

Monday, August 01, 2005

Sekuraan, Sebuah Pesta Topeng Rakyat Lampung

-- Udo Z. Karzi*

DI samping sastra (tradisi lisan), ternyata khazanah budaya Lampung juga menyimpan seni tupping (topeng). Di Kabupaten Lampung Barat dan Tanggamus umpamanya, dikenal sekuraan, sebuah pesta topeng tradisi untuk merayakan Hari Raya Idulfitri.

Panjat pinang dalam acara Sekuraan.

Gagasan Panitia Festival Krakatau 2005 menggelar Apresiasi Topeng Seribu Wajah, Sebuah Pesta Rakyat untuk Mengekspesikan Diri yang dilatarbelakangi tradisi sekuraan tersebut, dengan demikian sangat menarik. Apalagi seperti halnya nasib seni tradisi Lampung lainnya, sekuraan pun tidak luput dari ancaman kepunahan.

Gerusan globalisasi dan modernisasi yang tidak tertahankan menghantam dan mengancam keberadaan seni tradisi, tak terkecuali sekuraan. Padahal sekuraan dalam tataran budaya daerah Lampung mempunyai arti yang cukup penting sebagai sarana bersilaturahmi dan juga menampilkan kebebasan berekspresi lewat topeng.

Ketua Panitia Pelaksana Netti Eryuna mengatakan sekuraan ini hanya dikenal di beberapa kecamatan seperti Belalau, Batubrak, Liwa, dan Sukau (Lampung Barat) serta Kotaagung dan Wonosobo (Tanggamus). "Sebab itu, event ini kami jadi sarana memperkenalkan sekuraan kepada khalayak luas," katanya.

Berangkat dari penelitian Lilia Aftika, ada dua versi asal-usul sekuraan. Versi pertama menyebutkan sekuraan sudah ada sejak zaman Hindu. Topeng-topeng yang dikenakan merupakan penjelmaan orang-orang yang dikutuk dewa karena berbuat tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji yang dimaksud adalah tidak mengakui adanya dewa yang patut disembah. Akibatnya, rupa mereka menjadi buruk.

Versi kedua, menurut Lilia yang menulis skripsi tentang seni sekura, menyebutkan sekuraan berasal dan bermula pada zaman Islam. Alasannya, pelaksanaan acara ini diadakan untuk memeriahkan dan menyambut Hari Raya Idulfitri dan umat yang merayakan Idulfitri adalah umat Islam.

"Tidak jelas tahun dan abad berapa acara ini mulai diadakan, tetapi menurut perkiraan, Islam menyebar di Lampung Barat sekitar abad ke-13. Dengan demikian, timbul anggapan sekuraan diadakan pertama kali sekitar abad ke-13," kata Lilia.

Lilia mengatakan versi kedua di atas tampaknya lebih meyakinkan dan lebih masuk akal. Alasan yang menguatkan, yaitu hari perayaannya menggunakan tanggal Islam dan hari raya Islam. Di samping itu, dalam pelaksanaannya tidak menunjukkan dan menonjolkan tokoh-tokoh seperti dewa-dewa atau nama-nama yang berkaitan ajaran Hindu.

Dalam sekuraan, terdapat sekura. Bedanya, sekuraan meliputi perayaan dengan tahap-tahapannya. Sedangkan sekura berkenaan orangnya. "Sekura itu orang yang berusaha menutupi wajah dan badannya sedemikian rupa agar tidak dikenali dalam tradisi sekuraan," kata Lilia.

Ada dua jenis sekura, yaitu sekura kamak dan sekura kecah. Sekura kamak berarti sekura kotor yang berfungsi sebagai penghibur bagi penonton. Sekura ini disebut demikian karena pakaian dan topeng yang dikenakannya kotor, misalnya busana tani atau tetumbuhan. Fungsinya menghibur pengunjung.


Sedangkan sekura kecah berarti sekura bersih. Disebut demikian karena kostum yang dikenakan bersih-bersih dan rapi. Sekura jenis ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta. Sekura inilah yang berkeliling pekon atau dusun untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaannya, sekura kecah diperankan meghanai.

Pendatang yang tidak menjadi sekura dalam tradisi sekuraan pada Hari Raya Idulfitri, sekura khususnya kaum wanita dan anak-anak langsung singgah ke rumah kerabatnya yang disebut dengan tumpak'an. Setibanya di sana mereka disambut tuan rumah dengan senyum ramah dan disambut pula dengan jamuan makan kue Lebaran.

Pendatang yang ingin menjadi sekura biasanya hanya singgah sebentar sebagai pemberitahuan kepada famili bahwa dia hadir dan datang dalam rangka memeriahkan acara.

Sekelompok sekura terlihat apabila calon peserta berganti kostum dan mengenakan topeng serta berbagai atribut lainnya. Acara sekuraan ini mulai sekitar pukul 9.00 atau bersamaan dengan berdatangannya penduduk dari berbagai pekon.

Sekelompok sekura pertama kali muncul adalah sekura yang bertindak sebagai inisiator penyelenggara. Kemudian disusul kelompok-kelompok sekura lainnya. Jarak antarkelompok 4--5 meter. Pawai keliling kelompok-kelompok sekura inilah yang disebut sekuraan. Para sekura berkeliling mengikuti rute yang ditentukan, mereka berkelompok-kelompok sesuai dengan jenisnya. Sekura kecah bergabung sesama sekura kecah dan sekura kamak bergabung sesama sekura kamak.

Penonton mulai bermunculan (baik yang baru datang maupun yang lama berada di rumah tumpak'an-nya) jika sekura telah pawai keliling. Wanita dan anak-anak duduk-duduk di beranda rumah milik warga menyaksikan sekuraan disertai senda gurau, sedangkan kaum pria turun ke jalan meskipun hanya sekadar menonton, tidak menjadi sekura.

Para sekura awalnya hanya sekadar berkeliling mengikuti rute dan melihat-lihat saja. Mereka beraksi dan berusaha mencari perhatian apabila melihat banyak penonton yang menyaksikan mereka. Sekura mulai melakukan hal-hal aneh seperti berjingkrak-jingkrak tak tentu arah atau menyanyi melantunkan lagu yang dibuat sekehendak hati si pelantunnya. Ada sekura yang bergerak-gerak seolah-olah menari, tetapi dibuat-buat sehingga memperlihatkan kelucuannya.

Ada juga sekura yang seolah-olah hamil dan mengikuti/mencontoh gerakan ibu hamil, ada pula sekura yang bertingkah layaknya wanita dan dibuat-buat seanggun mungkin dan masih banyak lagi tingkah sekura lainnya. Semua sekura mencari-cari agar menjadi pusat perhatian penonton dengan tingkah yang dibuat-buat, sehingga tidak salah jika ada pendapat yang mengatakan sekura berarti injuk kera (seperti kera/monyet) karena tingkahnya seperti kera.

* Udo Z. Karzi, penyair, tinggal di Lampung

Sumber: Lampung Post, 1 Agustus 2005

Sunday, June 19, 2005

Esai: K.H. Arief Mahya, Intelektual Muslim dari Pesisir Lampung

-- Budi P. Hatees dan Udo Z. Karzi*


K.H. Arief Mahya, tokoh dari pesisir Lampung Barat, menyimpan banyak fakta sejarah dalam pengalaman hidupnya. Ia bukan cuma mubalig yang melulu melakukan syiar agama Islam, tetapi seorang intelektual muslim yang mempertemukan semangat peradaban humanisme-teosentris dalam nilai-nilai warisan leluhur budaya masyarakat Lampung.

SULIT menemukan sosok seperti K.H. Arief Mahya dalam realitas kehidupan masyarakat Lampung kini. Bambang Eka Wijaya, seseorang yang selalu mencoba memahami realitas kultural masyarakat Lampung, mengagumi K.H. Arief Mahya sebagai "manusia paling konsisten" dengan karakter dasar yang membentuknya sejak belia. Konsistensi yang terjaga dengan bersih, meskipun peradaban mengalami evolusi yang sangat tajam dan manusia di sekitarnya berubah menjadi entitas yang kurang menghargai keaslian nilai-nilai warisan leluhur budayanya.

Sekitar Juni 2004 lalu, kami bertandang ke rumah K.H. Arief Mahya yang yang sederhana di Bandar Lampung. Di ruang tamunya, dengan tiga cangkir teh hangat, kami berbincang-bincang tentang sejarah penyebaran Islam di provinsi ini. Sebuah perjalanan sejarah yang dilihat dari kacamata K.H. Arief Mahya sendiri selaku pelaku dan ia bercerita seolah-olah di hadapannya ada slide yang menampilkan setiap detail sejarah itu. Atau, seperti sebuah buku tebal, ia menyimpan dalam dirinya perjalanan seorang mubalig, intelektual, tokoh Nahdlatul Ulama, guru, dan budayawan, mulai Desa Talangparis sampai Metro, lalu ke Bandar Lampung.

Sebagai guru agama, mubalig, dan tokoh Nahdlatul Ulama, dia mendatangi hampir seluruh pelosok Provinsi Lampung untuk menyebarluaskan syiar Islam, meningkatkan kualitas keimanan masyarakat Lampung, dan memperkokoh nilai-nilai sosial masyarakat dengan rumusan amar makruf nahi mungkar, lewat ceramah-ceramah agama. Sebagai intelektual muslim dan budayawan, K.H. Arief Mahya mampu menjelaskan bagaimana humanisme-teosentris sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam memunculkan sistem simbol yang dipakai dalam tradisi kultural masyarakat Lampung akibat terjadinya dialektika antara nilai dan kebudayaan.

Sebelum kami berpamitan, K.H. Arief Mahya menyodorkan sebuah bundelan yang diketik dengan mesin ketik manual. Bundelan itu menyimpan sebagian besar fakta sejarah yang diceritakan K.H. Arief Mahya. Terakhir kami dengar, bundelan tebal itu diterbitkan menjadi buku biografi K.H. Arief Mahya yang akan diluncurkan bertepatan perayaan hari ulang tahunnya yang ke-79.

Upaya penerbitan ini adalah terobosan yang pantas diacungi jempol. Bukan cuma buku itu nantinya memaparkan sepotong riwayat dari K.H. Arief Mahya, tetapi ia menjadi semacam analisis yang menarik mengenai sejarah umat Islam di Lampung dalam proses transformasi kultural yang panjang sejak dekade 1930-an sampai sekarang, dilihat dari kacamata seorang mubalig, pejuang revolusi, pemimpin publik, pemimpin agama, dan orangtua. Bisa dibayangkan, betapa kaya riwayat hidup yang dapat diteladani dari membaca buku itu.

***

Ketika banyak orang tidak memiliki kesempatan menyatakan eksistensi diri akibat kondisi sosial politik di zaman kolonialisme tak memungkinkan bagi siapa pun berkreativitas, K.H. Arief Mahya membuat pilihan yang sangat tepat; berjuang untuk kepentingan rakyat dengan cara meningkatkan kualitas nilai-nilai agama Islam mereka di lingkungannya.

Dengan menjadi mubalik, yang sangat meyakini risalah Islam adalah hidayah Allah swt. untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya, K.H. Arief Mahya memainkan peran penting sebagai penyebar risalah Islam lewat gerakan-gerakan pendidikan dan dakwah, sehingga memperkuat fondasi agama Islam dalam kehidupan sosial-religius masyarakat Lampung.

Pilihan hidup ini telah menyejajarkan K.H. Arief Mahya dengan para intelektual muslim di Indonesia. Namun, yang terpenting dari semua itu adalah sosok K.H. Arief Mahya itu sendiri. Keintelektualannya mampu menjabarkan gamblang betapa antara nilai-nilai agama Islam dan budaya warisan luluhur masyarakat Lampung memiliki keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan.

Dalam banyak karya tulisnya, ada semacam benang merah yang hendak disampaikan, nilai-nilai budaya masyarakat Lampung karena sejalan dengan nilai-nilai agama Islam, memiliki sifat dan karakter yang tidak menutup diri terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Secara epistemologi, K.H. Arief Mahya menegaskan sesungguhnya masyarakat Lampung tidak punya alasan untuk cemas pada pemikiran rasionalisme, pada pemikiran empirisme. Hanya mereka yang tidak paham Islam dan kebudayaan Lampung yang perlu cemas karena ketidakpahaman itu membuat mereka tidak tahu bahwa Islam dan kebudayaan Lampung mampu mengintegrasikan semuanya.

Nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kebudayaan Lampung sangat inheren. K.H. Arief Mahya membuktikannya dengan analisis yang komprehensif tentang lima filsafat hidup masyarakat Lampung, yang seluruh nilainya mengadopsi risalah Islam. Tulisan-tulisan K.H. Arief Mahya yang menyebar di sejumlah media cetak, juga yang sering disampaikan dalam menjalankan tugas kemubaligannya, menegaskan bahwa memahami nilai-nilai agama Islam berarti juga telah menguasai nilai-nilai kebudayaan Lampung. Sebuah penegasan bahwa nenek moyang kebudayaan Lampung memiliki fondasi agama Islam yang kuat dan mengakar, dan merekalah yang mewariskan nilai-nilai budaya Lampung yang kini mulai tergerus dari realitas kehidupan masyarakatnya.

Penegasan semacam ini menjadi sangat mungkin apabila kita menggunakan cara pandang K.H. Arief Mahya, yang mempertanyakan apa sesungguhnya sistem nilai dalam Islam terutama kaitannya dengan pembentukan sistem simbol yang meliputi sistem bahasa, seni, kesusastraan, mitos, ilmu pengetahuan, sejarah, dan lain sebagainya. Dari pertanyaan itu, K.H. Arief Mahya menyimpulkan sistem nilai piil pesinggiri merupakan kesadaraan umat Islam atas hak asasi manusianya, dan hal itu merupakan manifestasi terbaik dalam ajaran-ajaran Islam.

Sebagai penjelasan, kita bisa mengutip Alquran, di mana ada perintah bagi umat manusia menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran (amar makruf nahi mungkar). Dari perintah itu, kita menangkap adanya dua proses yang berlawanan tetapi sekaligus merupakan satu kesatuan; emansipasi dan pembebasan.

Nahi mungkar secara sosiologis bisa disebut sebagai perintah bahwa manusia harus membebaskan diri dari segala bentuk kegelapan, dan termasuk membebaskan diri dari kebodohan, keterkekangan, ketertindasan, dan kemiskinan. Sedangkan amar makruf diarahkan untuk mengemansipasi manusia kepada nur, cahaya petunjuk Ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah.

Piil pesinggiri adalah sebuah nilai dalam kehidupan, di mana masyarakat Lampung menemukan emansipasi diri dan membebaskan diri dari segala bentuk kegelapan, termasuk ketertindasan, kebodohan, dan kemiskinan. Piil pesinggiri selalu akan membuat masyarakat Lampung mencapai keadaan fitrah, sebuah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia.

Kemuliaan itu hanya didapat dengan mengikuti rumusan amar makruf nahi mungkar, tetapi dalam perkembangan terakhir banyak masyarakat Lampung yang mempertahankan piil pesinggiri berdasarkan tanpa berpatokan pada rumusan tersebut. Akibatnya, konsep nilai piil pesinggiri mengalami pergeseran makna.

Begitu juga dengan nilai nengah nyampur, yang memosisikan masyarakat Lampung sebagai manusia yang tidak soliter di lingkungan apa pun, jelas didapat dari ajaran agama Islam yang mengharuskan pentingnya konsep hablun minannas. Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syariah, dan akhlak menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan, termasuk dalam nilai-nilai kebudayaan Lampung.

Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syariah, yaitu menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa dikatakan sebagai tujuan dasar syariah, yaitu keadilan, ukhuwah, takaful, kebebasan, dan kehormatan.

Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, pandangan hidup (world view) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial.

***

Dalam diri K.H. Arief Mahya ada interpretasi yang menggairahkan tentang sejarah Islam di Provinsi Lampung. Sebuah interprestasi yang yang riang dan belum pernah kita temukan dalam literatur mana pun, bahkan dalam hasil penelitian-penelitian antropologi terhadap realitas sosio-kultural masyarakat Lampung yang pernah dilakukan para ahli.

Barangkali, baru pada Fauzi Nurdin, kandidat doktor filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang sedang meneliti kaitan antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai warisan budaya Lampung yang disebut angkon muakhri (pengangkatan saudara), kita bisa menemukan penguatan fakta sejarah tentang kandungan universalisme nilai-nilai Islam dalam kebudayaan Lampung.

Universalisme (al-'Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang besar berkarakteristik (1) rabbaniyyah, (2) insaniyyah (humanistik), (3) syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme, dan menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) waqi'iyah (realitas), (6) jelas dan gamblang, (7) integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan elastis).

Universalisme Islam yang dimaksud adalah risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras, dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan dia-lah bangsa yang terpilih, dan karena itu semua manusia harus tunduk kepadanya.

Dalam Islam, kami mengenal adanyanya konsep tauhid, sebuah konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat segala sesuatu, bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini mengandung implikasi doktrinal bahwa kehidupan manusia tidak lain hanya untuk menyembah kepada-Nya. Jadi, konsep mengenai kehidupan manusia dalam Islam adalah konsep yang teosentris, yaitu seluruh kehidupan berpusat kepada Tuhan.

Dalam kebudayaan Lampung, konsep semacam ini bisa kita temukan jejak-jejaknya. K.H. Arief Mahya secara dramatik menggambarkan betapa Islam di Provinsi Lampung menjelma menjadi sebuah gelombang kekuatan sejarah, yang kemudian berakulturisasi perlahan-lahan dengan nilai-nilai kultural warisan leluhur budaya masyarakat Lampung.

Akulturisasi yang lahir dari proses dialog sejajar antara nilai-nilai kehidupan dan filosofi hidup warisan leluhur budaya masyarakat Lampung dengan nilai-nilai agama Islam, lalu menghasilkan pandangan yang bergeser begitu tajam dari sebelumnya berorientasi kepada kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang yang kental dengan peradaban Hindu atau pra-Hindu, menjadi kebudayaan yang memiliki karakteristik sendiri yang kuat mempertahankan nilai-nilai sebagai filsafat hidup masyarakatnya.

Kebudayaan Lampung inilah yang menolak segala bentuk penindasan manusia oleh kolonialisme Belanda maupun Jepang di Provinsi Lampung dengan gerakan-gerakan jihad fi sabilillah yang puncaknya terjadi perang besar-besaran antara laskar jihad Hisbullah-Sabilillah dengan kolonialisme di perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung. K.H. Arief Mahya, pemimpin laskar Hisbullah-Sabilillah sekaligus tokoh Masyumi, sebuah pergerakan Islam yang paling kuat pengaruhnya saat itu di Indonesia, punya andil sangat besar dalam pengiriman laskar-laskar jihad ke medan pertempuran tersebut.

Tulisan ini cuma sebuah pengantar singkat untuk melihat sepotong riwayat K.H. Arief Mahya dan kaitannya kebudayaan Lampung. Sebuah simpul bisa dibuat bahwa untuk mengetahui realitas kultural masyarakat Lampung, kita bisa melakukannya dengan menelusuri jejak masuknya agama Islam ke provinsi ini. Penelusuran bisa dilakukan dari memahami bagaimana ekspresi-ekspresi kultural masyarakat Lampung dalam kehidupan kesehariannya, dalam bahasa, kesusastraan, dan seni. Semua memperlihatkan pola yang dekat dengan kebudayaan Melayu. Kita paham betul Melayu adalah Islam. Dan jejak Melayu di Lampung bisa kita telusuri dari buku Radja Ali Hadji, Tuhfat al-Nafis. n

* Budi Hatees dan Udo Z. Karzi, keduanya peneliti pada Pusat Studi Kebudayaan Lampung.


Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Juni 2005

Sunday, May 29, 2005

Sajak Y. Wibowo: Mamak Kenut di Rembang Petang

: Udo Z. Karzi

Mamak Kenut menuturkan seseorang
(dua atau tiga orang) atau peristiwa-peristiwa
yang menghadang--si pencari pintu pulang
hari-harinya resah
; hidup mengaji diri mengaji yang absurd
dan kenyataan

Tapi tetap saja ia gundah
Menjura seribu bintang
menengadah pada langit di rembang petang
ia susun rencana
--malam-malam mimpi tercipta
; buah pergulatan dan laku-kerja
sekalipun sewujud petaka

Mamak Kenut meramu saripati kehidupan
seseorang (dua atau tiga orang) atau tentang lain kemungkinan
sehingga ia putuskan; menjelma kanak-kanak pada dunia
dengan rasa sepenuh riang

Tapi masih saja ia resah
Menghablur di puncak-puncak ketinggian
menyisa perih kenyataan
lalu ia lipat sejarah
--masa lalu adalah kenangan
; ingatan tentang denyar persetubuhan
dalam catatan getir
nyinyir dan sumir
selamat malam

Karang Anyar-Jati Agung, Lampung, Maret 2005

Sumber: Lampung Post, Minggu, 29 Mei 2005

Esai: Kebudayaan Lampung, 'Api Muneh'?*

--Udo Z. Karzi


KILU mahap jama sunyin ni
(maaf kepada semuanya). Saya memang sengaja membuat judul esai ini seperti ini. Dalam bahasa ibu saya, Lampung, api muneh (saya pinjam istilah ini dari si empunya kolom, Juwendra Asdiansyah) itu artinya "apa pula". Agak sedikit nyeleneh.

Sebenarnya, ini otokritik buat saya sendiri. Syukur-syukur kalau ulun Lampung marah semua. Saya tinggal bilang, please deh!

Saya bukannya tidak hormat dengan pemimpin, tokoh, budayawan, seniman, atau apa pun juluk-adok-nya yang hampir dalam setiap kesempatan selalu berkata, "Mari kita jaga kesenian dan kebudayaan Lampung!" Saya pikir sudah terlalu banyak tokoh yang bicara begitu.

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Lampung (LMAL) M. Nurdin Muhayat misalnya, kembali mengulang lagu lama tentang bagaimana nasib kebudayaan Lampung. "Kami prihatin dengan perkembangan budaya daerah (Lampung) karena seperti memasuki daerah lain ketika bicara budaya padahal di daerah sendiri," ujarnya dalam Rakerda LMAL I di Bandar Lampung, Rabu, 18 Mei 2005.

Lalu coba kita lihat kerangka pikirnya: "Budaya Lampung makin hari kian menghilang. Sebab itu, perlu peran aktif tetua adat dan tokoh masyarakat Lampung untuk terus melestarikan dengan menurunkan ke anak-cucu agar tidak mengalami degradasi budaya. Seharusnya, sesering mungkin adat Lampung disinggung karena dikhawatirkan menghilang, sehingga yang peduli harus pula cepat menggali dan memasyarakatkannya.

Pembangunan Tugu Siger di Bakauheni menjadi salah satu cara penggalian dan pelestarian adat budaya daerah karena tidak semua warga Lampung tahu tentang siger itu sendiri.

Untuk mewujudkan pelestarian budaya Lampung, perlu kekompakan satu sama lain. Dengan adanya kekompakan tersebut, niscaya semuanya berjalan lancar. Kita juga harus mendukung apa yang menjadi keinginan Sutan Mangkunegara, gubernur Lampung, membangun Provinsi Lampung menjadi kota baru yang penuh pembangunan yang merata."

Lalu Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. yang Dewan Pembina LMAL berharap LMAL bisa lebih meningkatkan perkembangan budaya Lampung ke depan. "Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kita sering tidak kompak. Sering membicarakan tentang piil (harga diri). Tapi, semua itu tidak sesuai dengan perbuatan. LMAL ini seperti ninik mamak. Apa pun yang akan diperbuat harus dikoordinasi lebih dulu. Banyak alasan yang ada, sehingga semua pekerjaan terbengkalai. Padahal ini tidak perlu terjadi," kata dia.

* * *

Yak, saya sepakat kita harus mengembangkan kebudayaan Lampung. Tapi, bagaimana caranya? Gubernur Lampung Sjachroedin dengan gagahnya akan berkata bahwa ia ingin mengembangkan kebudayaan Lampung. Menara Siger yang dibangun dengan dana miliaran rupiah adalah sebagai bentuk dari upaya membangun kebanggaan orang Lampung, kebanggaan pada kebudayaannya sendiri. Yang saya tangkap beberapa ungkapan para pemimpin di Lampung ini, Menara Siger adalah puncak dari kebudayaan Lampung.

Saya yang jelma Lampung cuma bisa berkata, "Ah..."

Apa iya kebudayaan Lampung hanya tercermin dari Menara Siger, Tari Sembah, atau pemberian gelar (adok) kepada tamu daerah, dan segala jenis "basa-basi budaya" lainnya?

Saya, setidaknya menurut apa yang saya pahami tentang konsep kebudayaan yang mahakompleks itu, dengan tegas akan berkata: Tidak! Tidak! Tidak!

Saya bisa berbahasa Lampung dengan fasih. Tapi, betapa sulitnya saya berbicara dengan bahasa ibu saya. Padahal, yang benar, kebudayaan Lampung justru terlihat pada penggunaan bahasa Lampung dalam keseharian. Sebab, saya pikir, dalam bahasa yang digunakan dalam berkomuniasi terlalu banyak simbol, idiom, kebiasaan, tradisi, karakter orang yang bicara, atau apa pun yang terkait erat dengan kebudayaan.

Sedikit banyak, saya juga mengerti etika dan estetika bagaimana seharusnya orang Lampung bicara, terutama ketika ia menggunakan bahasa Lampung dalam upacara-upacara atau kegiatan "resmi" adat. Saya tak habis paham mengapa orang lantas mengatakan kalau ulun Lampung yang bicara selalu harus keras, dengan intonasi tinggi, tidak mampu menjadi pendengar yang baik, tidak mau mengalah, dan mau menang sendiri. Sebab, dalam ingatan saya di waktu kecil, ulun-ulun tuha berkata begini: "Belajarlah berbicara!"

Dan, sungguh belajar berbicara--tentu bicara yang benar--itu tidak gampang. Saya misalnya, menyaksikan bagaimana orang berbicara (menggunakan bahasa Lampung tentu) dalam ghasan-buhimpun (bermusyawarah) atau aktivitas adat lainnya dengan begitu santun dan dengan menggunakan bahasa yang indah. Bahasa yang digunakan sangat selektif. Tak boleh ada kata yang "tak berguna", apalagi sampai menyinggung perasaan lawan bicara, yang keluar dari para "negosiator" atau "mediator" yang terlibat dalam pembicaraan. Tak ada kondisi bersitegang. Tak ada interupsi.

Semua itu saya gambarkan dalam bahasa puisi: mengapi ram mak beusaha mejong barong, gantian cawa, ngehurmati cawa ni sai bareh, rik beupaya nyepok renglaya sai buyun (mengapa kita tak berusaha duduk bersama, gantian bicara, menghormati perkataan yang lain, dan berusaha mencari jalan terbaik) (Sajak "Revolusi Gawoh", Momentum, 2002) .

* * *

Yah, bahasa Lampung itu, menurut saya sangat indah (karena paling tidak saya mengerti). Makanya, saya menulis sajak-sajak berbahasa Lampung. Dengan bahasa keseharian! Itu pun terlalu sedikit orang di Lampung, bahkan jelma Lampung sendiri, yang mengerti.

Saya buat puisi berbahasa Lampung. Saya tidak peduli orang mau mengerti atau tidak. Sebab, siapa lagi yang mau peduli dengan bahasa dan sastra Lampung kalau bukan orang yang tahu berbahasa Lampung. Menurut Iqbal Hilal, belajar berbahasa Lampung itu beda dengan belajar (tentang) bahasa Lampung. Sebab, kemahiran berbahasa itu meliputi mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.

Bahasa Lampung itu hebat. Bahasa Lampung termasuk bahasa yang mempunyai aksara sendiri yang disebut kaganga. Sastra tradisi (lisan) Lampung itu banyak jenisnya dan bagus-bagus. Adat-istiadat Lampung itu luhur. Lalu, akar budaya Lampung itu kuat, kata sejarawan Husin Sayuti. Entah apa lagi, puja-puji orang terhadap apa yang disebut bahasa, sastra, kesenian, dan kebudayaan Lampung.

Tapi, bagaimana realitasnya? Ah, saya hanya mengatakan mengapa kita harus kembali mengeluarkan keluhan-keluhan bernada getir tentang bagaimana menyedihkan kondisi bahasa, sastra, seni, dan budaya Lampung kalau nyatanya kita, orang Lampung atau bukan orang Lampung, orang asli atau orang palsu Lampung, sastrawan atau bukan sastrawan Lampung, seniman atau bukan seniman Lampung, budayawan atau bukan budayawan Lampung, tokoh adat atau bukan tokoh adat Lampung; semuanya tak bisa (lebih tepatnya: tidak mau) berbuat banyak.

* * *

Saya gembira karena Ketua Dewan Kesenian Lampung mempunyai komitmen terhadap pengembangan kebudayaan Lampung yang di dalamnya terdapat kesenian Lampung. Saya juga salut dengan pemimpin daerah dan para tokoh adat di daerah ini yang bertekad membangun kebudayaan Lampung. Saya juga menghormati kerja para sastrawan, seniman, budayawan, atau apa pun dalam upaya pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan kebudayaan Lampung.

Tapi, saya terpaksa harus mengurut dada mendapati masih terdapat banyak sesat pikir di antara kita tentang apa yang disebut dengan kebudayaan Lampung. Apakah kebudayaan Lampung itu kebudayaan yang ada di Lampung? Apakah wayang, reog, tari Bali, dan segala jenis kebiasaan, tradisi, dan kesenian dari berbagai etnik yang berkumpul di Lampung itu bagian dari apa yang disebut kebudayaan Lampung?

Saya jelma Lampung. Tapi, saya lebih sering disangka orang Jawa, orang Minang di Lampung. Ada juga yang menyebut saya dari Sunda. Saya jawab saja dengan hehehee....

Saya pikir wajar. Sebab, orang sama sekali tak melihat identitas atau jatidiri "Lampung" dalam diri saya. Bahasa menunjukkan bangsa, kata orang. Tapi, orang di Lampung boleh dibilang tak pernah melihat saya berbahasa Lampung. Terpaksalah saya harus mengaku bahwa saya adalah ulun Lampung yang tercerabut dari akar budaya Lampung itu. Siapa yang salah? Mari saling tuding. Kalau capek, salahkan diri sendiri.

* * *

Akhirnya, saya hanya ingin mengingatkan, mari kita mejong baghong, ngicik bangik, kita rumuskan lagi apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung. Sebelum bicara, ada baiknya kita bolak-balik lagi referensi tentang "lampung", "kebudayaan", dan "kebudayaan lampung" itu. Ada banyak pakar budaya atau budayawan yang paham betul apa itu kebudayaan Lampung. Setelah itu, kita memang perlu merumuskan strategi (politik) kebudayaan Lampung. Tentu, ini terkait erat dengan apa yang namanya kebijakan pemerintah.

Kebudayaan Lampung! Konsep ini harus clear dulu. Baru bicara yang lain-lain.

Jadi, agak kacau juga kalau tetap ada konsep "pengembangan seni-budaya untuk mendukung pariwisata dan bisnis". Apalagi kalau ada pikiran mau menjual "kebudayaan Lampung" untuk kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu. Sebab, kalau itu yang terjadi, kasihan Ompung Silamponga yang telah menurunkan anak cucu Lampung-nya di Tanah Sang Bumi Ruwa Jurai lengkap dengan aksara, bahasa, sastra, seni, dan budaya.

Kebudayaan Lampung, api muneh?

* Sebuah pijakan awal bagi esai panjang berjudul "Nyak Ulun Lappung" (Saya Orang Lampung).

Udo Z. Karzi, penyair Lampung

Sumber: Lampung Post, 29 Mei 2005

Sunday, March 13, 2005

Esai: Kesenimanan di Dewan Kesenian Lampung

-- Udo Z. Karzi dan Budi P. Hatees*

KESENIAN, apa pun bentuknya, tidak lahir dari sebuah lembaga yang dibentuk segelintir manusia yang merasa paling bertanggung jawab terhadap masa depan kesenian. Lembaga apa pun hasil bentukan itu, sekalipun bernama dewan kesenian, tidak ada satu karya seni pun yang bisa dihasilkannya. Tidak sepotong puisi, tidak sebentuk lukisan, tidak selembut gerak tari, tidak selenting bunyi, dan, ini yang paling penting, lembaga itu justru telah meletakkan kesenian bukan sebagai kesenian.

Tidak heran jika kesenian, di zaman ketika hidup manusia didominasi oleh logika dominan tertentu seperti ekonomi atau pasar, kesenian justru menggelepar-gelepar kehabisan oksigen. Kesenian kehilangan publik, karena publik sendiri tidak menangkap adanya semacam strategi dari seni(man) itu untuk, setidaknya, berusaha agar publik bisa menerima kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup mereka sendiri.

Begitulah seharusnya kita, terutama masyarakat Lampung, menyikapi lembaga kesenian bernama Dewan Kesenian Lampung (DKL). Selama bertahun-tahun, lembaga yang telah membuat penggagasnya begitu romantis dan cengeng, sehingga merasa perlu disebutkan namanya setiap kali orang lain bicara soal DKL, tidak lebih bagus dari semacam reuni orang-orang yang pernah muda di sebuah panti jompo yang sumuk. Dan setiap kali orang-orang yang pernah muda itu bertemu, mereka membolak-balik album masa lalu dengan cita rasa yang dibuat lebih hebat dan warna emas lebih berkilau, lalu sampai pada kesimpulan bahwa tidak akan pernah ada generasi baru yang sanggup melampai capaian-capaian yang telah mereka peroleh. Capaian-capaian yang, sebetulnya, nonsen karena cuma mereka yang menganggap telah ada pencapaian puncak, meskipun cara mereka mengukur capaian-capaian itu bukan saja keliru tetapi sangat tidak mendasar.

Kita tidak bisa membicarakan kesenian seperti membicarakan nilai tukar rupiah atau kita tidak bisa mengukur ada pencapaian dalam kesenian seperti mengukur pertumbuhan ekonomi Provinsi Lampung, sementara kita sama-sekali tidak menunjukkan kreativitas yang alternatif, unik, dan artistik. Begitulah DKL, selama bertahun-tahun, dikelola tanpa konsep yang jelas, tanpa perencanaan-perencanaan yang matang, dan akhirnya, menghasilkan segala sesuatu yang tidak jelas serta tidak matang pula. Hal-hal yang disebut kegiatan kesenian, atau yang dimaknai sebagai upaya melestarikan kesenian daerah, tidak berorientasi pada sebentuk strategi seni untuk membuat publik merasa memiliki kesenian sebagai jalan kontemplatif melihat hidup dan kehidupannya, yang berbeda dengan kontemplasi dunia sosial lainnya.

Kesenian di belahan mana pun di Nusantara ini, telah terkooptasi dalam bingkai politik pemaknaan warisan zaman represif Orde Baru, tidak lebih dan tidak kurang cuma untuk l'art pour l'art, dimana sudah diandaikan hanya kalangan seniman saja yang dirangkul di dalamnya. Pemahaman yang masih sangat kuat dalam diri elite pemerintah daerah sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk memberikan tempat bagi kesenian di dalam riuh-rendah kehidupan.

Elite pemerintahan daerah terperangkap dalam retorika pasar yang telah menusuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita hari ini, karena pemerintah tidak pernah berusaha memahami bahwa seni berbeda dengan publik utiliti, peraturan daerah, retribusi, propaganda, subsidi BBM, pamflet politik, pidato-pidato pengentasan kemiskinan, kredit UKM, atau beras raskin. Dan seni, seharusnya, tidak perlu berebut tempat di masyarakat dengan elemen-elemen sosial lainnya. Seni tidak perlu dikalahkan terus-menerus, menjadi nomor sekian dalam list persoalan yang harus diselesaikan pemerintah, menjadi anak haram dalam pembangunan daerah.

***

SELAMA bertahun-tahun seni terstigmatisasi dalam benak elite pemerintah daerah sebagai dunia yang artifisial. Seni adalah semacam benda artistik yang cuma berfungsi untuk dekorasi, pelengkap sebuah acara peresmian gedung atau penyambut tamu kenegaraan. Seni akhirnya tidak membutuhkan kreativitas, bentuk-bentuk baru. Seni adalah apa yang sudah ada dan tumbuh di masyarakat. Seni tidak pernah dianggap sebagai salah satu bentuk kreatif dari kebudayaan manusia.

Stigma semacam ini terus berlangsung tanpa ada upaya dari DKL untuk menawarkan sebuah paradigma yang bisa membalikkan cara berpikir, setidaknya mempertegas bahwa seni adalah sebuah dunia alternatif, karena seniman-seniman yang mengelola DKL adalah gerombolan massa yang tidak bisa meng-counter atau setidaknya menghidar dari gempuran-gempuran isu. Malah Herwan Achmad sebagai Ketua Umum DKL periode 2005-2008 dengan sangat bangga minta dilibatkan dalam program kepariwisataan seperti Festival Krakatau, yang semakin mempertegas bahwa DKL dikelola bukan berdasarkan paradigma berpikir. DKL dikelola dalam bingkai paradigma politik artifisial yang mengekang dan tidak pernah mempersiapkan kesenian yang ada di Lampung agar bisa memproduksi isunya sendiri, dan kita tahu jika hal itu yang terjadi sejumlah alternatif sudut pandang akan berhamburan sehingga kehidupan tidak menjadi sekering jerami.

Para seniman di tubuh DKL adalah seniman boyongan, kaum yang menyerah dan pasrah saja dibuai politik kepentingan penguasa, karena seluruh hidupnya sangat tergantung pada kucuran dana APBD. Seniman di DKL lebih percaya kepada kepemimpinan birokrasi atau bekas pejabat birokrasi, dan menutup diri terhadap pemimpin yang dari luar birokrasi. Tidak heran jika hingga hari ini, pengurus DKL periode 2005-2008 yang baru dipilih secara "demokratis" dalam Musyawarah Besar Seniman Lampung, terlihat seperti bagian dari birokrasi pemerintah daerah yang tidak bisa berbuat apa-apa selama APBD 2005 belum disahkan DPRD Lampung. Kita tahu, birokrasi di Indonesia, tidak terkecuali di Lampung, adalah wadah yang cara berjalannya bukan saja lambat tetapi menyebalkan. Birokrasi sangat memuakkan, apalagi dikelola oleh sumber daya manusia yang melulu berorientasi pada proyek dan mengincar fee untuk tambahan uang masuk. Birokrasi punya andil besar untuk membunuh kreativitas, menghancurkan produktivitas, dan membuat profesionalisme tidak bisa berkutik di dalamnya.

***

REFORMASI yang digulirkan susah-payah oleh kalangan seniman di belahan lain Nusantara ini, gemanya tidak sampai ke DKL. Padahal, para seniman di Indonesia tidak lagi berpikir bagaimana supaya dekat dengan pemegang kekuasaan politik negara, tetapi bagaimana menghasil karya-karya kreatif dimana ekspresi seni mampu membuat ruang-ruang sempit menjadi semakin lebar dan setiap orang bisa masuk ke dalamnya untuk emencari alternatif baru dalam melihat kehidupannya.

Orang tidak lagi mengait-kaitkan ekspresi kesenian dengan ketidaksepahaman ideologi politik, apalagi dengan arus besar pemahaman politik yang terjadi di masyarakat. Ada pembatas tegas antara kebebasan ekspresis seni dengan ideologi politik, dan keduanya tidak ada lagi sangkut-paut. Pluralitas dalam hal pemahaman politik mendapat toleransi yang sangat memadai, sehingga setiap insan tidak dilarang untuk menghasilkan karya seni seperti apa saja yang diinginkannya.

Di Lampung, kebebasan ekspresi seni ditandai dengan munculnya gagasan-gagasan untuk, misalnya, menggelar pameran lukisan nude. Bukan lukisan-lukisan realis perempuan telanjang itu yang ingin ditampilkan Arief Mulyadi dan kawan-kawannya, para perupa muda Lampung, melainkan bagaimana paradigma ekspresi seni mereka bisa diterima oleh lingkungan masyarakatnya. Penelanjangan nilai-nilai tradisi warisan leluhur budaya lewat lukisan-lukisan nude ini bisa dipahami sebagai pengungkapan fakta-fakta riil dalam masyarakat terkait masalah-masalah yang selama ini dianggap tabu.

Paradigma berpikir seperti ini secara pasti akan terus berpengaruh pada modus ekspresi budaya dalam pengejawantahan seni, baik tari, musik, teater, maupun berbagai ungkapan yang kadang sudah sulit dikategorikan karena cakupannya yang merangkum elemen-elemen media seni yang sangat beragam.

Di dalam kesusastra, seharusnya seorang sastrawan (apalagi anggota DKL) tidak perlu merasa bangga jika diundang tampil di berbagai festival seni yang keterwakilannya ditetapkan berdasarkan tetapan teritori yang bersifat geopolitis atau beradasarkan standar koneksitas dengan struktur kelembagaan yang memiliki otoritas untuk penetapannya. Di sana tidak ada kreativitas, melainkan semacam pengkolonian seniman untuk direkayasa pola perilaku dan pola berkesenian sehingga bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang bersifat sangat spesifik.

Kreativitas harus menjadi tujuan utama seniman. Kreativitas memungkinkan seniman untuk lebih leluasa berekspresi secara individual untuk mempertajam dan mempekuat jelajah nilai-nilai instrinsik seni yang digelutinya, tanpa mengabaikan nilai-nilai ekstrinsik yang membuatnya bersentuhan dengan masyarakat. Dengan begitu, begitu seorang seniman menghasilkan sebuah karya, maka karya itu tidak mati iseng sendiri. Dalam musik, pernyatan Alan P. Merriam dalam The Anthropology of Music, bisa menjadi pendorong dalam ekspresi seni kita. "Begitu musik dihasilkan," tulis Merriam, "karya itu menjadi milik seseorang atau yang lainnya-milik individu, milik kelompok tertentu, atau milik masyarakat pada umumnya" (1964: 82).

Ada kepemilikan terhadap karya seni tersebut. Persoalan sekarang, bagaimana seorang penyair, misalnya, sampai pada tahap itu? Jawabannya adalah kreativitas yang dibangun di atas fondasi kokoh.

***

KREATIVITAS seniman di tubuh DKL tidak segegap-gempita kreativitas seniman yang berada di luar DKL. Seniman DKL terlalu sibuk menjadi bagian birokrasi pemerintahan daerah, sehingga kreativitasnya lebih banyak diarahkan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah. Kalaupun mereka berkreativitas, hal itu cuma untuk diri sendiri. Malangnya, kreativitas yang sangat invidual itu dijadikan bagian dari kegiatan DKL. Contoh, program penberbitan buku sastra cuma diperuntukkan bagi pengurus DKL. Kesibukan mengurus diri sendiri itu menyebabkan DKL tidak bisa merangkul kalangan seniman untuk menjadikan lembaga ini sebagai wadah kebersamaan. Tidak heran jika banyak seniman di Lampung yang merasa tidak memiliki lembaga ini, karena pengurusnya tidak berusaha mendekatkan diri. Seorang Herwan Ahmad pun, akhirnya, cuma kenal satu penyair di Lampung.

Akhirul kalam, teruslah berdiskusi tentang DKL. Terus berperang ide dan gagasan. Jangan pernah merasa puas atas apa yang sudah ada. Gelisahlah. Andalkan rasionalitas, kreativitas, lalu tanyakan: untuk apa lembaga ini dibentuk? Kemudian jawab sendiri.

* Udo Z. Karzi, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.

** Budi P. Hatees, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung periode 2005-2008.

Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Maret 2005