Monday, August 31, 2009

Lain Dulu, Lain Sekarang...

PAKAIANNYA tidak menunjukkan bahwa dia seorang menteri. Malah, ia memakai kemeja yang paling banyak bertisikan....”

Demikian George McTurnan Kahin, seorang pakar Asia Tenggara asal Amerika, menggambarkan kekagumannya pada kesederhanaan Moh Natsir, Menteri Penerangan pada masa Presiden Soekarno.

Dr Johanes Leimena, yang pernah ditunjuk Soekarno sebagai Wakil Menteri Utama II, juga tidak kalah sederhana. Untuk resepsi resmi, dia bahkan harus meminjam jas dan dasi dari rekannya.

”Jas itu tidak pas betul, tetapi saya hanya perlu mengenakannya beberapa jam saja sekali pakai,” (Sukarno, An Autobiography; as told to Cindy Adams, New York, 1965, p. 239).

Namun, lain dulu, lain sekarang. Laporan Komisi Pemberantasan Korupsi akhir tahun 2008 malah menunjukkan kekayaan sejumlah menteri melejit miliaran rupiah.

Mantan ajudan Soekarno, Sidarto Danusubroto, sebagai saksi hidup juga merasakan kegundahan itu. ”Menteri-menteri zaman Soekarno itu melarat, tapi idealis,” ucapnya.

Meskipun waktu itu sumber daya alam Indonesia sangat melimpah, juga tidak mau ”menggadaikannya”.

Ketika ditanya menteri-menteri belakangan ini, Sidarto sempat terdiam. ”Tidak bisa ngomong. Terlalu banyak dusta di antara kita,” ujarnya tertawa.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Bali, I Wayan Sudirta, juga punya pandangan senada. Setelah mempelajari risalah-risalah pembentukan kabinet, dia merasa figur menteri pada masa lalu, selain sederhana, juga pemimpin yang berkarakter. Dia mencontohkan Dr Soepomo (Menteri Kehakiman) atau Mohammad Yamin (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) yang memiliki konsep kenegaraan yang kuat.

Sudirta berharap Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono pun benar-benar memerhatikan karakter para calon menteri, selain sisi keahlian.

Pemimpin berkarakter adalah berani buat terobosan demi kepentingan rakyat berisiko dicopot sekalipun.

”Sekarang mana ada yang berani seperti itu,” ucapnya.

Mudah-mudahan Pak Presiden tidak salah menelepon calon menterinya.... (Sutta Dharmasaputra)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Menakar Kecintaan Budaya Lokal

-- BI Purwantari

REAKSI keras bermunculan tatkala simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia dipakai sebagai salah satu elemen iklan pariwisata Malaysia. Sesungguhnya, proporsionalkah reaksi tersebut?

Bisa jadi reaksi keras yang muncul terhadap Malaysia itu didasari oleh rasa cinta sekaligus kekhawatiran masyarakat akan hilangnya kebudayaan tradisional mereka. Hal semacam ini juga terekam di dalam Jajak Pendapat Kompas yang diselenggarakan di 10 kota pada 26-27 Agustus 2009.

Mayoritas responden (97,6 persen) menyatakan amat bangga dengan kebudayaan lokal yang mereka miliki.

Bahkan, rasa bangga yang mereka ekspresikan ini sejalan pula dengan opini mereka (99,3 persen) yang menyatakan perlunya melestarikan produk budaya Indonesia. Artinya, dari sisi penyikapan masyarakat, tidak ada yang patut dikhawatirkan dengan ancaman akan tergerusnya produk budaya negeri ini akibat pola penyikapan warganya.

Terpinggirkan

Akan tetapi, sikap keras dan rasa bangga yang mereka ekspresikan itu tidak serta-merta menunjukkan interaksi masyarakat yang intens dengan produk-produk budaya lokal mereka sendiri. Dengan kata lain, di tataran praksis, masyarakat sendiri sebenarnya tidak banyak mengenali dan mempraktikkan kebudayaan lokal mereka sendiri.

Dari 866 responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen), musik dan lagu (68,8 persen), pakaian (67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.

Namun, untuk pengenalan akan obyek-obyek wisata, lebih dari separuh bagian responden mengaku tahu banyak tentang obyek wisata daerah di Indonesia.

Pengetahuan yang minim tentang kebudayaan lokal ini dibarengi pula dengan pengakuan mereka secara umum dalam mempraktikkan kebudayaan lokal mereka. Misalnya, perilaku memakai pakaian tradisional dinyatakan oleh 67,9 persen responden. Atau, pengalaman menceritakan dongeng dari daerah di Indonesia diakui oleh 65,4 persen responden jarang dilakukan masyarakat.

Perbedaan proporsi yang cukup mencolok antara tataran praktik dan gagasan tentang kebudayaan lokal ini menunjukkan posisi kebudayaan lokal yang masih terpinggirkan, terutama bila dihadapkan dengan kebudayaan global.

Dalam konteks kapitalisme global saat ini, masyarakat Indonesia lebih terdorong untuk mengonsumsi produk-produk budaya yang berasal dari luar Indonesia.

Kehilangan makna

Penegasan terhadap kondisi demikian tecermin dalam berbagai aspek. Dalam hubungan dengan Malaysia, misalnya, data yang dihimpun Litbang Kompas menunjukkan, jumlah orang Indonesia yang berwisata ke Malaysia sejak tahun 2000 hingga 2008 terus meningkat tajam dibandingkan dengan jumlah orang Malaysia yang berlibur ke Indonesia.

Jika dirinci, para wisatawan Indonesia ini terdiri atas para pekerja profesional (40,8 persen), pengusaha (13,2 persen), ataupun ibu rumah tangga (14,6 persen). Ironisnya, fakta semakin meningkat tajam kunjungan wisatawan Indonesia ke Malaysia ini membuat reaksi keras yang ditunjukkan sebagian masyarakat Indonesia saat ini terhadap iklan pariwisata Malaysia seperti kehilangan maknanya. Tidak terelakkan, iklan pariwisata tersebut justru memberikan kontribusi terhadap peningkatan wisatawan Indonesia ke Malaysia.

Jika di lapis masyarakat tampak jelas kontradiksi antara penyikapan dan praktik terhadap kelestarian budaya lokal mereka, lantas, bagaimana pula di level negara? Dalam hal ini, bagaimana pandangan masyarakat sendiri terhadap peran negara dalam melindungi dan melestarikan kebudayaan lokal?

Tak puas peran negara

Hasil Jajak Pendapat memperlihatkan sebagian besar responden tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengurus tiga hal, yaitu melestarikan berbagai produk budaya lokal seperti tarian, pakaian, musik dan lagu, ramuan tradisional, hingga obyek-obyek wisata daerah yang berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan bangsa ini (68,7 persen), terhadap para pencipta dan pelaku kebudayaan lokal (66,5 persen), dan dalam hal memberikan penghargaan terhadap budaya lokal (59,1 persen).

Ketidakpuasan para responden ini cukup beralasan. Saat ini, perbincangan terhadap kebudayaan lokal tak bisa dilepaskan dari perlindungan atas hak cipta produk kekayaan intelektual di dalam konteks kapitalisme global.

Banyak negara telah mendaftarkan hak cipta ataupun mematenkan karya anak bangsanya ke level internasional. Indonesia, menurut catatan Litbang Kompas, tampaknya sangat ketinggalan.

Sejauh ini, hanya dua produk budaya tradisional yang telah terdaftar di badan PBB, UNESCO, yaitu wayang kulit (2003) dan keris (2005).

Sementara kesenian Reog Ponorogo yang sempat ramai dibicarakan masyarakat berkaitan klaim Malaysia pada tahun 2007 hanya sebatas didaftarkan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2004.

Masih banyak produk kekayaan intelektual bangsa ini yang belum diurus oleh negara. Batik, misalnya, merupakan hasil karya ribuan perempuan Indonesia yang tinggal tersebar di beberapa wilayah sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Mereka ini bisa menciptakan ragam motif yang tak dibuat oleh negeri lain.

Namun, masyarakat begitu tersentak oleh berita bahwa batik dan kreasi ataupun salah satu formula teknologi pembuatannya terpatenkan oleh negeri jiran. Bahkan, lebih menyayat lagi jika kreasi batik negara lain mulai memasuki dan menyaingi pasar domestik yang pada gilirannya mengancam kelangsungan industri batik dalam negeri.

Segera patenkan

Tidak mengherankan jika kenyataan ini membuat hampir semua responden (95 persen) berpendapat, pemerintah perlu segera secara serius melindungi eksistensi produk budaya lokal ini dengan mematenkan produk-produk budaya lokal di lembaga internasional.

Bagi responden, hal tersebut penting untuk mencegah hasil karya cipta anak bangsa dikuasai oleh negara lain, seperti diperlihatkan oleh banyaknya kasus penggunaan simbol-simbol kebudayaan Indonesia oleh pihak asing.

Menariknya, apa yang diharapkan responden terhadap peran negara dalam perlindungan produk budaya lokal ini diikuti pula oleh harapan mereka akan peningkatan peran masyarakat.

Di tingkat gagasan, responden tetap menganggap bahwa tugas melestarikan kebudayaan lokal berada di pundak pemerintah dan masyarakat. Kedua pihak berbagi tugas dengan penekanan kepada aspek yang berbeda.

Menurut 49 persen responden, masyarakat dapat turut melestarikan kebudayaan lokal dengan mencintai produk-produk lokal, mengurangi konsumsi barang impor, serta ikut aktif mendidik generasi muda. Sementara negara, menurut 48,1 persen responden, harus berupaya memenuhi aspek legal, seperti mengurus hak paten dan membangun infrastruktur bagi pengembangan produk lokal.

Jika dua hal ini terjadi, hujatan, makian, ataupun reaksi keras masyarakat terhadap aksi negeri jiran tiada terucap. (Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Negeri Tak (Lagi) Bergigi?

-- Baskara T Wardaya*

HARI-HARI ini sudah sepantasnya kita berang terhadap negeri tetangga. Pasalnya, tari Pendhet yang sejak dulu dipandang sebagai salah satu ungkapan dan produk seni kita tiba-tiba saja didaku sebagai milik negeri itu.

Rasa berang itu tentu amat beralasan. Tidak hanya karena bagi kita tari Pendhet nyaris identik dengan Bali, tetapi juga karena bukan pertama kalinya negeri itu mendaku berbagai produk seni dan budaya kita, dari batik hingga lagu dan alat musik tradisional.

Bahkan, ada pulau yang menurut kita merupakan bagian negeri ini telah diklaim sebagai miliknya. Kita tidak tahu apa lagi milik kita yang akan diklaim sebagai milik mereka. Tidak hanya rasa berang, berbagai protes dan langkah diplomasi yang telah dilakukan perlu terus lanjutkan.

Pada saat yang sama, sepantasnya jika hari-hari ini kita sejenak bertanya kepada diri sendiri: mengapa negeri yang penduduknya hanya seperdelapan dari penduduk Indonesia itu ”berani-beraninya” melakukan aneka tindakan demikian terhadap kita? Mengapa hal ini dilakukan untuk kesekian kalinya? Ada banyak kemungkinan jawaban.

Salah satunya, jangan-jangan sekarang ini negeri itu (dan siapa tahu sejumlah negeri lain) sedang memandang kita bagai seekor harimau yang gagah dan berseri-seri namun tak lagi punya gigi. Jangan-jangan mereka berpendapat, sang harimau itu boleh saja mengaum dan menyeringai, tetapi tidak akan pernah mampu menggigit sehingga tak perlu ditakuti. Lebih dari itu, jangan-jangan sejumlah bangsa lain sebenarnya sedang tak tertarik untuk secara tulus menganggap pentingnya peran dan posisi kita di dunia internasional.

”Go to hell”

Padahal, tidak selamanya kita dipandang seperti itu. Beberapa dekade lalu, bangsa ini pernah menjadi bangsa yang berwibawa, yang dianggap penting dan amat dihormati di antara bangsa-bangsa lain. Saat itu, oleh banyak negara, kita tidak hanya disegani laksana harimau perkasa yang bergigi lengkap dan tajam, tetapi juga dipandang sebagai pelopor di antara negara-negara yang baru saja bebas dari kolonialisme.

Kita ingat, misalnya, pada tahun 1955 kita menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, banyak wakil bangsa lain datang dengan antusiasme amat tinggi. Kemudian Presiden Republik Indonesia memelopori dibentuknya Gerakan Nonblok. Banyak negara bergabung di dalamnya, bahkan sampai hari ini. Dengan bangga kita mengundang bangsa-bangsa yang baru merdeka untuk menggelar Games of the New Emerging Forces (Ganefo). Dengan bangga Indonesia mengajak bangsa-bangsa lain untuk membentuk Conference of the New Emerging Forces, disingkat Conefo, menandingi PBB yang mengakui berdirinya negara Malaysia.

Pada dekade 1950-an dan 1960-an, kita begitu dihormati sehingga meski sedang dalam ketegangan Perang Dingin yang luar biasa, pemimpin tertinggi Uni Soviet, Nikita Khrushchev, merasa perlu menghabiskan sebelas hari mengunjungi Indonesia. Tak mau ketinggalan, Presiden AS John Kennedy juga menyusun rencana datang ke Indonesia awal tahun 1964 meski akhirnya batal karena kematiannya.

Terhadap bangsa-bangsa lain yang telah lama merdeka, kita menolak bersikap rendah diri. Kita tak hanya berhasil menggagalkan upaya Belanda untuk menjajah kembali dengan dukungan Sekutu, saat itu kita juga berani menentang perusahaan-perusahaan asing yang ingin semaunya menanamkan modal di Indonesia. Bahkan, terhadap salah satu negeri adikuasa saat itu pun kita berani mengatakan ”Go to hell with your aid....” Persetan dengan bantuanmu! Saat itu, negeri ini benar-benar berani dan bergigi.

Lengkap dan tajam

Betapa bedanya keadaan kita kini. Bukan hanya lagu dan tarian yang satu per satu diklaim negara lain, sumber-sumber alam dan sumber daya manusia kita pun banyak yang ada di bawah kendali orang luar.

Baru-baru ini kita disadarkan, barang yang kita gunakan dan konsumsi sehari-hari ternyata sebagian besar merupakan hasil impor. Belum lagi jika benar jaringan terorisme yang membuat tewasnya para korban bom maupun orang-orang muda Indonesia berhasil dirayu menjadi kaki tangannya, ternyata didanai orang dari kawasan tertentu.

Itu semua mendorong kita bertanya, jangan-jangan kita sedang tidak dihormati oleh banyak kalangan di luar Tanah Air. Lebih dari itu, jangan-jangan kita ini sedang dilecehkan dan dimanfaatkan berbagai pihak untuk melayani kepentingan mereka sendiri, dari kepentingan ekonomi, budaya, politik, hingga radikalisme transnasional.

Jika itu benar, tampaknya tugas kita kini bukan hanya menyatakan rasa berang dan protes terhadap negeri jiran yang suka main klaim itu, tetapi juga berjuang agar bangsa ini kembali disegani bangsa-bangsa lain karena kepeloporannya.

Kita perlu tunjukkan kepada dunia bahwa bagai seekor harimau, kita tidak hanya gagah perkasa, tetapi juga bergigi lengkap dan tajam, siap menerkam setiap bentuk kesombongan, main klaim, terorisme antarnegara, dan setiap wujud ketidakadilan.

* Baskara T Wardaya SJ, Dosen Sejarah; Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep), Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Budaya bagi Bangsa

-- Edi Sedyawati*

APA arti kebudayaan bagi suatu bangsa? Semua tahu jawabannya: kebudayaan adalah jati diri suatu bangsa.

Suatu bangsa diperbedakan dari yang lain melalui kekhasan kebudayaannya. Di sini segera perlu diperbedakan dua kemungkinan pengertian ”bangsa”. Pertama, satuan kemasyarakatan terbesar yang ditandai kesatuan budaya. Kedua, satuan populasi, yang juga disebut ”nasion” (nation) yang diikat oleh kesatuan negara.

Dalam suatu negara bisa terdapat beberapa ”bangsa” dalam pengertian pertama. Untuk Indonesia, satuan-satuan kemasyarakatan yang ditandai kekhususan budaya itu disebut ”suku bangsa”. Istilah lain untuk itu adalah ”satuan etnik”, mengacu ilmu antropologi.

Dalam kasus Indonesia, bangsa dalam arti kedua, yang sama dengan nation itu, terdiri dari banyak ”bangsa” (suku bangsa) dalam arti pertama. Mengingat ”bangsa” dalam pengertian nasion pun perlu mempunyai identitas yang bersifat budaya, bangsa Indonesia pun perlu mempunyai dan mengembangkan suatu ”kebudayaan nasional”, yang di satu sisi melintasi identitas suku-suku bangsa, tetapi di sisi lain juga ”menampung” apa yang dalam Penjelasan UUD 1945 disebut sebagai ”puncak-puncak kebudayaan” dari asal suku-suku bangsa.

Saya pernah mengajukan saran untuk menafsirkan ”yang puncak” itu sebagai unsur-unsur, atau berbagai khazanah budaya etnik yang berterima luas di Indonesia, di luar lingkup etnik asalnya.

Satu hal lagi yang perlu mendapat pemahaman bersama adalah adanya kemungkinan perkembangan varian-varian dari suatu kebudayaan. Sebagai contoh dapat disebutkan, kebudayaan Jawa mempunyai varian Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Tegal-Pekalongan, Banyuwangi, dan lainnya. Atau kebudayaan Bali punya varian Bali Utara dan Bali Selatan. Begitu pula ”kebudayaan Melayu” yang amat luas jelajahnya, bahkan meliputi kawasan di berbagai negara, yaitu sekurangnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, pasti mempunyai varian-varian lokal selain ada sehimpunan penanda umum.

Indonesia-Malaysia

Perbedaan perkembangan budaya, meski berasal dari satu sumber, dapat disebabkan dua macam pendorong. Pertama, migrasi komuniti yang cukup besar ke suatu lingkungan lain, baik yang berbeda secara alami maupun sosial. Kedua, komunikasi intensif antarbangsa yang terjadi tanpa migrasi menetap. Yang terakhir ini bahkan dapat membuahkan akulturasi saat suatu budaya kuat berinteraksi intensif dan memengaruhi pihak lain.

Dalam hal hubungan budaya Indonesia dan Malaysia, banyak kemungkinan terjadi persamaan warisan budaya (khususnya berpangkal pada kebudayaan Bugis, Dayak, Melayu, Minang, dan Jawa) meski pengembangan selanjutnya dapat menghasilkan varian-varian yang berbeda. Relasi budaya itu adalah bagian dari sejarah kependudukan kedua nasion. Namun, jelas tak tercatat migrasi skala besar dari Bali ke Malaysia sehingga ketika tari Pendet tiba-tiba muncul dalam iklan Malaysia, banyak orang Indonesia tersentak, bahkan marah, karena seolah milik budaya Indonesia yang khas Bali itu ”dicuri” oleh Malaysia. Sebenarnya orang juga bisa sama berangnya dengan tampilan bunga endemik dari Bengkulu-Indonesia—Rafflesia arnoldi—pada iklan yang sama.

Dalam hubungan dengan perlindungan khazanah budaya tradisional suku-suku bangsa (serta pengembangan selanjutnya), baik yang berupa pengetahuan tradisional atau traditional knowledge maupun yang berupa ekspresi budaya tradisional atau traditional cultural expression perlu diketahui bahwa Departemen Hukum dan HAM telah menyiapkan sebuah RUU untuk melindunginya. Perlindungan hukum ini khususnya terkait pemanfaatan dan kemungkinan penyalahgunaannya oleh pihak yang bukan pemiliknya.

Klasifikasi urusan kebudayaan

Dalam suatu negara—apalagi yang kaya akan ragam budaya seperti Indonesia—yang juga rumit dalam urusan penataan interaksi antarbudaya, serta kerja sama lintas sektor, tentu diperlukan arahan kebijakan dan penanganan untuk tindakan. Ada tanggung jawab negara mengenai itu.

Untuk itu disarankan penggolongan urusan kebudayaan beserta urusan khusus dalam tiap golongan.

Pertama, sejarah, peninggalan sejarah, budaya, dan lingkungan. Kelompok ini dengan aneka urusan, terutama a) penelitian (sejarah dan arkeologi); b) perlindungan, konservasi, dan restorasi; c) permuseuman; dan d) registrasi terpadu.

Kedua, kesenian, dengan aneka urusan, terutama a) seni rupa (dua dimensi dan tiga dimensi, desain, multimedia, arsitektur); b) seni pertunjukan (musik, tari, teater); c) seni sastra (lisan dan tertulis); dan d) seni media rekam (film, video, sinetron; kemasan auditif). Sedangkan upaya-upaya yang diperlukan untuk itu meliputi perangsangan kegiatan dan perkembangan kreatif, pengkajian dan pembangunan kekuatan informasi, serta pelestarian dan perluasan jangkauan.

Ketiga, bahasa, falsafah, pengetahuan, nilai budaya, dan adat istiadat. Kelompok ini dengan berbagai urusannya: a) penelitian (aneka budaya etnik, proses perkembangan masa kini); b) enkulturasi nilai-nilai budaya; c) pelestarian bahasa, pengetahuan dan teknologi tradisional; d) ”pertukaran budaya” lintas etnik; dan (e) penataan informasi.

Keempat, industri budaya dengan urusannya berupa pendorongan dan pembelaan untuk produk-produk industri budaya (buku, kemasan auditif, kemasan audio-visual, benda seni) yang bermutu tinggi dan mengandung isi yang bermakna bagi martabat bangsa. Substansi dari ketiga urusan terdahulu merupakan pemasok isi bagi berbagai produk industri budaya. Upaya pembelaan itu juga harus meliputi ”penciptaan pasar”, dalam arti ekonomik maupun mental-spiritual.

Dengan klasifikasi itu, jika akan dibentuk departemen kebudayaan tersendiri pada masa depan (sesuai rekomendasi beberapa kongres kebudayaan yang lalu), keempat pokok garapan itu dapat dijadikan dasar pembagian empat direktorat jenderal. Atau, jika hanya dua direktorat jenderal yang dikehendaki, dapat diadakan penggabungan sehingga misalnya menjadi, pertama, Ditjen Nilai Budaya dan Cagar Budaya, atau Ditjen Seni dan Industri Budaya.

* Edi Sedyawati, Peneliti Kebudayaan; Direktur Jenderal Kebudayaan 1993-1999

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Politik Kebudayaan Kita

-- M Alfan Alfian*

RAMAI-RAMAI protes klaim tari pendet oleh pihak tertentu Malaysia mengingatkan klaim-klaim atas produk kebudayaan Indonesia lainnya.

Hal ini menyisakan pertanyaan mendasar, sejauh manakah politik kebudayaan kita?

Ini soal yang amat penting dan mendesak untuk dibicarakan ulang. Desain besar apa yang harus dihadirkan setelah polemik kebudayaan tak lagi terdengar?

Munculnya aneka protes sebagai bentuk ketersinggungan atas klaim produk-produk kebudayaan kita oleh Malaysia seharusnya segera memicu perlunya dipikirkan kembali hal-hal mendasar atas politik kebudayaan kita. Hendak diarahkan ke mana kebudayaan bangsa ini?

Berbagai kebudayaan yang sudah sejak dulu dan melekat ke dalam identitas Indonesia tidak lepas dari proses interaksi dengan pengaruh-pengaruh bangsa-bangsa lain. Tidak ada produk budaya yang murni hadir tanpa proses interaksi dengan yang lain. Yang menjadi khas adalah saat ada tafsir yang estetis diwujudkan ke berbagai bentuk produk kebudayaan. Lokalitas itulah yang otentik.

Karena itu, meski pernah didefinisikan bahwa kebudayaan nasional adalah puncak dari kebudayaan-kebudayaan daerah, bukan berarti ditafsirkan sebagai homogenisasi atas produk-produk kebudayaan lokal. Indonesia hanya merangkai suatu mosaik khazanah kebudayaan yang kaya, Bhinneka Tunggal Ika.

Yang diributkan dengan Malaysia saat ini lebih banyak dalam konteks kebudayaan materi. Padahal, kebudayaan banyak yang bersifat abstrak (nonmateri) dan tidak dapat dikuantitatifkan. Karena itu, tugas pemerintah dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan tak dapat dipaksakan untuk diderivasikan ke dalam angka-angka. Ketika kebudayaan didepartemenkan, harus jujur diakui, banyak hal yang dirasakan justru mempersempit makna kebudayaan itu sendiri.

Reorientasi pola pikir

Satu peninggalan berharga atas Polemik Kebudayaan 1930-an yang melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Sutomo, Ki Hadjar Dewantara, Purbatjaraka, dan lainnya adalah mengajarkan kepada kita pentingnya pola pikir kebudayaan yang tepat bagi bangsa kita yang plural ini. Di wilayah gagasan, masalah kebudayaan kita belum selesai.

Polemik kebudayaan perlu dilanjutkan, setidaknya untuk merangsang progresivitas pemikiran kebudayaan kita sebagai bangsa yang harus lebih maju. Bahaya besar akan muncul jika soal-soal gagasan kebudayaan tidak lagi didiskusikan secara terbuka dan merangsang suatu pemikiran terobosan bagi bangsa yang saat ini banyak dirundung masalah ini. Polemik kebudayaan itu jangan hanya disimpan di laci sejarah.

Jika kesadaran kebudayaan (maknanya lebih luas ketimbang kesenian) telah tertanam di benak kita sebagai bangsa yang besar dan punya banyak potensi, setidaknya upaya untuk menemukan kembali orientasi kita sebagai bangsa yang digagas oleh pendirinya berdasarkan falsafah Pancasila tidak sulit.

Kekuatan pemikiran

Kebanggaan sebagai bangsa tak pernah lepas dari kekuatan pemikiran. Jika tidak pernah ada rangsangan dan gairah menyala-nyala atas tradisi berpikir kebudayaan, kita tidak akan pernah menemukan letak kebanggaan itu dan tanpa sadar melarutkan diri ke tengah pusaran negativitas globalisasi, menjadi bangsa inlander kembali.

Kita berada pada abad yang besar, kata Hatta mengutip penyair Jerman, tetapi menemukan orang-orang kerdil. Sindiran itu masih terasa hingga kini. Orang kerdil yang dimaksud ialah yang malas berpikir dan berbuat, menciptakan sesuatu yang besar bagi kejayaan bangsanya.

Kita sudah banyak ketinggalan dalam kompetisi ”di segala bidang” dengan bangsa-bangsa lain dan, lagi-lagi terinspirasi Hatta, harus bergerak cepat. Tinggalkan pepatah ”biar lambat asal selamat”. Ubah menjadi ”harus cepat dan selamat”.

Soal klaim tari pendet dan sebagainya oleh pihak lain, pemerintah bisa segera mengambil langkah-langkah nyata, termasuk mematenkan banyak khazanah kebudayaan kita. Namun, ingat, kebudayaan tak sekadar terkait hal-hal demikian, tetapi terutama cara berpikir dan bertindak kita.

* M Alfan Alfian, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Produk Budaya Mendesak Dilindungi

Jakarta, Kompas - Peristiwa penggunaan tari pendet dalam iklan pariwisata Malaysia semestinya menggugah pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk bergerak melakukan perlindungan dan mengembangkan produk seni dan budaya sebagai salah satu industri kreatif.

Terkait dengan kisruh iklan tari pendet, Keluarga Mahasiswa Hindu Universitas Gadjah Mada bersama Keluarga Putra Bali Purantara Yogyakarta menggelar Aksi Damai Tari Pendet Massal di Monumen Tapak Prestasi Kota Yogyakarta, Minggu (30/8). Aksi ini merupakan bentuk kepedulian mereka untuk menjaga tari pendet sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Indonesia. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Demikian benang merah pendapat yang dikemukakan oleh mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta Sardono W Kusumo dan Penjabat Rektor Institut Seni Indonesia Surakarta Prof Dr T Slamet Suparno.

Keduanya sependapat, upaya perlindungan seni budaya di antaranya dilakukan melalui pendidikan kepada generasi muda.

Sardono menyoroti bahwa kebudayaan yang berkembang di kawasan Asia sekarang sebenarnya merupakan warisan bersama (shared heritage) sehingga perlu ada pemahaman bersama agar pada masa mendatang tak terjadi rebutan warisan antarbangsa.

Dia mengatakan, ”Indonesia harus segera memilah-milah dengan jelas kapan produk kebudayaan itu masuk ke ranah identitas nasional, kapan merupakan alat pendidikan, dan kapan masuk ranah industri kreatif.”

Menurut dia, kasus tari pendet bagi Malaysia ada di ranah industri, yaitu iklan pariwisata. Padahal, bagi Indonesia itu merupakan salah satu identitas kebudayaan (cultural identity).

Sementara Slamet menegaskan perlunya produk seni budaya ditanamkan kepada generasi muda saat ini dan mendatang lewat jalur pendidikan formal maupun nonformal.

”Kalau menuntut murid jadi tahu tentang budaya, gurunya harus mempelajari seni budaya. Tanpa begitu, bagaimana kita mewariskan budaya kepada generasi berikutnya,” paparnya.

Inkubator

Menurut Sardono, Indonesia sudah mendirikan model inkubator inovasi buat industri kreatif dengan sistem yang lengkap.

”Sudah ada Akademi Jakarta, sebuah kumpulan pujangga, semacam dewan para empu,” ujarnya. Anggota Akademi Jakarta adalah pemikir dan budayawan. ”Ketuanya pun bukan seniman, yaitu Taufik Abdullah, dengan anggota-anggota Rosihan Anwar, Syafei Ma’arif, Goenawan Mohamad,” lanjutnya. Sistem itu didirikan mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.

”Di bawahnya ada Dewan Kesenian Jakarta sebagai forum praktisi seni kreatif dan Taman Ismail Marzuki sebagai pengelola infrastruktur untuk orang pentas, lalu dilengkapi dengan pendidikan seni, yaitu Institut Kesenian Jakarta. Ini sebuah model yang bagus,” katanya.

Slamet menegaskan, salah satu upaya manjur adalah dengan menembus jaringan teknologi informasi. ”Teman-teman yang memiliki kompetensi dan latar belakang sejarah kuat harus menulis artikel tentang seni budaya Indonesia. Upload di situs jaringan dan publikasikan lewat internet sehingga dunia internasional tahu,” ujarnya.

Jika artikel itu didukung dengan data sejarah, penelitian, sumber, dan referensi jelas, Slamet yakin, negara lain tidak akan seenaknya mengklaim itu sebagai karya mereka. (ISW/SON)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Perlindungan Budaya Lemah

Jakarta, Kompas - Indonesia hingga saat ini tidak memiliki data lengkap mengenai seni budaya yang tersebar di setiap daerah. Perlindungan hak cipta terhadap seni budaya juga sangat lemah, sedangkan publikasi multimedia secara internasional mengenai produk seni budaya masih sangat minim.

Pemerintah sudah mengimbau pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. Namun, dari 33 provinsi yang ada di Tanah Air, baru tiga provinsi, yakni Bali, Nusa Tenggara Barat, dan DI Yogyakarta, yang melakukan inventarisasi seni budaya mereka. Hasilnya, terdapat sekitar 600 seni budaya yang ada di ketiga provinsi tersebut.

”Sampai saat ini tidak ada sanksi bagi daerah yang tidak melakukan inventarisasi seni budaya lokal mereka,” kata Tjetjep Suparman, Direktur Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Budaya, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Akibat berbagai kelemahan ini, seni budaya Indonesia sering diklaim negara lain. ”Karena datanya lemah, Indonesia tidak berdaya,” kata guru besar emeritus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, Eddy Damian, ahli mengenai hak kekayaan intelektual, Sabtu (29/8).

Padahal, jika memiliki daftar kekayaan intelektual termasuk seni budaya, daftar itu bisa disampaikan kepada Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia di Geneva untuk mendapat pengakuan internasional. Namun, hal itu belum dilakukan Indonesia.

Menurut Eddy, meski inventarisasi seni budaya belum dilakukan, pemerintah bisa lebih proaktif untuk melindungi seni budaya bangsa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pada Pasal 10 Ayat 2 disebutkan, negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang jadi milik bersama, di antaranya cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya.

Berdasarkan kewenangan itu, pemerintah bisa melakukan publikasi multimedia secara internasional secara besar-besaran, baik melalui televisi, internet, media luar ruang maupun buku-buku mengenai seni budaya.

”Melalui publikasi dan penyajian data yang baik di lembaga internasional, klaim pihak asing terhadap seni budaya Indonesia bisa dihindarkan,” kata Agus Sarjono, pakar folklor yang juga pengajar hukum dagang dan hak atas kekayaan intelektual di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, untuk mempromosikan seni budaya Indonesia, pemerintah kerap melakukan pementasan seni di dalam negeri serta promosi wisata di luar negeri.

Perlindungan lemah

Selain inventarisasi dan publikasi yang lemah, Indonesia juga menghadapi persoalan buruknya birokrasi pendataan hak cipta.

Meskipun permohonan pendaftaran hak cipta mengenai seni budaya sudah disampaikan, misalnya, belum tentu permohonan tersebut segera diproses dan dipublikasikan.

Sejak 2002 sampai Juni 2009, misalnya, sudah ada 24.603 permohonan pendaftaran hak cipta bidang seni yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephuk dan HAM). Namun, hingga saat ini, permohonan yang disetujui belum dipublikasikan. Hal ini juga terkait dengan belum adanya dasar hukum formal.

”Mestinya pemerintah segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional,” kata Ansori Sinungan, Direktur Kerja Sama dan Pengembangan pada Direktorat Jenderal HKI Dephukham.

Malaysia proaktif

Dalam soal publikasi seni budaya, ternyata Malaysia yang satu rumpun budaya dengan Indonesia sangat proaktif dengan melakukan berbagai cara. Selain melakukan promosi seni budaya melalui televisi, internet, iklan luar ruang, dan media lainnya, Malaysia juga menerbitkan buku-buku seni budaya. Selian buku terbitan pemerintah, swasta dan pemerintah kerajaan di negara bagian juga sangat antusias menerbitkan berbagai buku.

Dalam buku ”Spirit of Wood” The Art Malay Woodcarfing, yang merupakan seni budaya yang berkembang hanya di wilayah Kelantan, Terengganu, dan Pattani, misalnya, diulas berbagai seni ukir kayu, pembuatan keris, gunungan wayang, mebel, hiasan dinding, arsitektur rumah, dan perkakas rumah tangga lainnya.

Hal serupa diulas dalam buku seni lainnya yang diterbitkan Malaysia, baik menyangkut keris, batik, arsitektur, tari, maupun kesenian rakyat. Tak sekadar buku, berbagai dokumentasi seni juga dipublikasikan lewat internet dan video cakram padat (VCD).

Tak dapat dimungkiri, isi buku itu banyak kesamaan dengan buku terbitan Indonesia, seperti Ensiklopedi Wayang Indonesia, Ensiklopedi Keris, Performing Arts Indonesian Heritage, dan Indonesia Indah yang meliputi Teater Tradisional Indonesia, Batik, Tenun Indonesia, Tari Tradisional, Kain-kain Nontenun Indonesia, dan buku lainnya.

”Tidak mengherankan, karena antara Indonesia dan Malaysia dalam perspektif budaya ada warisan bersama atau shared heritage,” kata mantan Rektor Institut Kesenian Jakarta Sardono W Kusumo. Hal ini juga pernah diungkap dalam Seminar Imagining Asia di Universitas Nanyang, Singapura, beberapa tahun lalu. Karena itu, terkait persoalan tari pendet, sebenarnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk melakukan introspeksi diri.

Menurut Sardono, sejalan dengan perkembangan dunia ekonomi global yang kini mengarah pada industri kreatif, Malaysia juga mengembangkan ekonomi berbasis industri kreatif. ”Bahkan secara ekstrem mereka bisa memisahkan hal yang bersifat profan (duniawi) dengan yang transenden (berkaitan dengan komunikasi dengan Tuhan),” ujarnya.

Dia menyarankan agar Indonesia segera berbenah dan mulai memilah-milah mana produk kebudayaan yang merupakan identitas kebudayaan nasional dan mana yang dapat masuk ke dunia industri. (TIM KOMPAS)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

Sunday, August 30, 2009

[Buku] Mengabarkan tak Mengaburkan

Judul : Kolam
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Editum, Jakarta, 2009
Tebal : 120 Halaman

PUISI belum mau redup. Barangkali ini dalil yang diusung Sapardi Djoko Damono dalam penerbitan buku puisi Kolam yang menyuguhkan 51 puisi naratif dan liris. Puisi-puisi Sapardi masih ingin mengabarkan kisah-kisah hidup tanpa harus mengaburkan dengan kerumitan bahasa atau kecerewetan filsafat. Kata-kata dihadirkan untuk kabar hidup dan menyemaikan makna.

Sapardi masih tekun mencatat peristiwa-peristiwa kecil sebagai bab tak terlupakan dari lakon besar kehidupan manusia. Peristiwa dinikmati dengan olahan kata untuk pertaruhan imajinasi dalam tegangan kenaifan dan pembukaan tabir hidup antara fakta dan fiksi. Puisi bicara dengan kesanggupan membuat hidup tak selesai sebagai peristiwa. Permainan makna menjadi penentu kenikmatan merasai hidup dalam deretan panjang peristiwa.

Puisi Sonet 12 adalah contoh kebersahajaan menanyakan kembali lakon hidup dalam permenungan kecil. Puisi jadi medium untuk mengajukan tanya dengan dalil dan dalih eksistensi tanpa absolutisme. Simaklah: Perjalanan kita selama ini ternyata tanpa tanda baca, / tak ada huruf kapital di awalnya. Kalimat awal ini ajakan untuk pembaca agar mafhum dengan kesadaran kritis melalui kata "ternyata". Kehadiran kata ini seperti ingin mengingatkan kembali dengan aksentuasi yang membenarkan atau membuktikan.

Pola kalimat ini jadi ciri penyair yang menekuni puisi sebagai representasi dan realisasi bahasa. Kebersahajaan tapi mengejutkan adalah kelihaian dalam permainan bahasa. Pengingatan perjalanan hidup tanpa tanda baca dan ketiadaan huruf kapital menjadi kesadaran yang menantang kelaziman sebagai kodrat biasa. Sapardi mengingatkan ada hal tak biasa dari keimanan manusia tentang pelbagai hal sebagai kebiasaan karena intensitas dalam pengulangan. Konklusi kecil jadi penguatan Sonet 12 sebagai puisi permenungan: Kita tak pernah yakin apakah titik mesti ada. Keraguan jadi lembaran untuk menanyakan hidup tanpa mesti tergesa mengajukan jawaban.

Puisi-puisi permenungan tampak menempati kedudukan penting dalam buku puisi Kolam dengan fakta ketelatenan laku estetis penyair dan pematangan usia sebagai seorang tua. Tendensi permenungan ingin mengental sebagai lanjutan dari jejak-jejak puisi masa lalu sejak Duka-Mu Abadi (1969). Puisi-puisi awal Sapardi dengan kuat menjadi percikan permenungan tanpa jatuh sebagai khotbah atau propaganda moral. Kebersahajaan justru membuat puisi memiliki kodrat kekal sebagai acuan membaca dan menilai hidup. Buku puisi Kolam mungkin penyempurnaan lanjut dari kekhusukkan Sapardi memerkarakan peristiwa dan mengekalkan makna. Peyempurnaan lanjut ini seperti bibliografi dari kelahiran buku-buku puisi pada masa lalu. Kolam bukan konklusi akhir tapi bibliografi terbuka.

Permenungan bersahaja kentara dalam puisi pembuka Bayangkan Seandainya yang mengingatkan pembaca pada tipikal pengucapan puitik dari Sapardi: Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang sedikit/berawan, yang menabur-naburkan angin di sela bulu-bulunya. Keakraban penyair tampak dari pola relasional antara manusia dan tanda-tanda alam. Kehadiran dan peran menentukan nasib yang niscaya berubah dengan kesadaran prediksi atau lepas sebagai ketundukkan atas kekuasaan dan kekuataan yang lebih besar.

Sapardi dengan puisi-puisi sahaja tidak memiliki tendensi untuk menciptakan fiksi bombastis. Pengalaman jadi acuan untuk mengabarkan dengan konstruksi kata dan narasi yang tak luput atau mrucut dari kelumrahan tapi dimungkinkan menjadi fiksi mengejutkan. Sapardi dalam proses kreatif kerap mengakui memiliki tradisi untuk sadar dengan pengalaman. Kesadaran itu tak tergesa untuk dituliskan pada saat teralami tapi menemukan pengolahan reflektif dalam jeda agar kabar tak jadi kabur.

Puisi dengan anutan pengalaman itu kentara dalam puisi Laki-laki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah, Hari Ulang Tahun Perkawinan, Waktu Ada Kecelakaan, Anak Kecil, atau Secangkir Kopi. Pengalaman atas peristiwa-peristiwa kecil dan biasa itu menjelma puisi reflektif tanpa nasihat-nasihat murahan. Sapardi justru ingin mengesankan itu sebagai kabar lain dari pembedaan terhadap stereotipe pembahasaan peristiwa sebagai informasi biasa. Kabar dalam puisi-puisi Sapardi adalah ikhtiar mengekalkan tanpa mengabaikan informasi sebagai dalil untuk percaya atau tidak percaya.

Puisi Secangkir Kopi mungkin patut jadi pembuktian keinginan mengekalkan pengalaman atas peristiwa: Secangkir kopi yang dengan tenang menunggu/kauminum itu tidak pernah mengusut kenapa kau bisa/ membedakan aromanya dari asap yang setiap hari kauhirup/ketika berangkat dan pulang kerja di kota yang semakin tidak/bisa mengerti kenapa mesti ada secangkir kopi yang tersedia di/atas meja setiap pagi. Ini puisi keseharian tapi menjelma sebagai kesahihan kata dan makna untuk mengekalkan fragmen-fragmen hidup.

Usia tua tak membuat Sapardi redup dalam melakukan eksplorasi estetik dalam ranah lahirian dan batiniah. Puisi jadi pengucapan unik untuk menyemaikan tafsir atas benih-benih makna dari yang sepele sampai yang kompleks. Eksplorasi estetik jadi suguhan mengejutkan dalam pemberian judul. Sapardi tampak "cerewet kecil" dengan memberi judul panjang yang belum tentu menggamblangkan isi.

Bacalah judul puisi itu dengan nafas panjang: Sebilah Pisau Dapur yang Kaubeli dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul di Kompleks, yang Selalu Berjalan Menunduk dan hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang Kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, "Terserah Situ Saja ... Judul panjang mengejutkan tapi jadi tak mengejutkan ketika pembaca membaca khusuk menikmati 12 fragmen yang diajukan mengenai lakon pisau. Sapardi memang ingin sedikit genit tapi tak pelit untuk mengabarkan lakon hidup dalam puisi yang prosaik. Begitu.

Bandung Mawardi, Peneliti Kabut Institut Solo dan Redaktur Jurnal Kandang Esai

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Agustus 2009

Pendet: Petik Saja Manfaatnya!

-- Amir Sidharta

GARA-GARA tari pendet tampil di iklan promosi pariwisata Malaysia, kita kembali naik pitam terhadap Negeri Jiran tetangga kita itu. Kemarahan dan kekesalan atas hal itu dilontarkan dalam tweets para pelanggan twitter Indonesia hari ini. Pada akhir tahun yang jadi masalah adalah lagu ”Rasa Sayange” yang konon juga sudah diklaim Malaysia. Malah, konon Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah mempersiapkan surat protes keras kepada Pemerintah Malaysia.

Kalau permasalahannya adalah klaim blok Ambalat, mungkin memang kita perlu marah, mengambil sikap tegas dan melayangkan protes. Sebenarnya memang soal pendet itu juga cukup menyebalkan, tapi setelah mengendapkan kekesalan selama semalam, saya pikirkan hal itu kembali: kalau Malaysia mau menyanyikan lagu ”Rasa Sayange” atau menari pendet, kenapa kita harus marah-marah sebenarnya? Justru seharusnya kita boleh berbangga karena jika seni dan budaya kita sudah diapresiasi dan bahkan dibanggakan orang lain, itu menunjukkan bahwa seni dan budaya kita itu dianggap hebat dan memiliki pengaruh yang luas.

Mitos bahwa spageti dan ravioli yang dikenal sebagai makanan Italia merupakan salah satu hasil pengaruh dari perjalanan saudagar Venezia, Marco Polo, ke China dan ketertarikannya pada mi dan pangsit, kini tentu dibanggakan oleh orang China walaupun hal itu kemungkinan besar tidak tepat ataupun benar. Kaum Buddha di India tentu justru bangga bahwa di Indonesia ada Kalasan yang kemungkinan dipengaruhi Candi Kailash di Elora. Malaysia juga tentu berbangga ketika orang Indonesia memilih bahasa pemersatunya dari akar bahasa Melayu. Pemusik Inggris dan Amerika tentunya berbangga dengan banyaknya pemusik Asia yang mengikuti gaya menyanyi dan penampilan mereka. Afrika Bambaata, sesepuh hiphop dari East Bronx, pasti tersenyum-senyum bangga jikalau lagu-lagu ”Hiphop Jogja”-nya Marzuki Muhammad sampai ke telinganya.

Budaya itu senantiasa berkembang, dan dalam perkembangannya akan terjadi perpindahan atau semacam distribusi ke daerah-daerah yang kurang mampu mengembangkannya sendiri. Budaya keraton yang inggil ”mengalir turun” ke desa-desa. Ketika China jaya, budayanya memengaruhi Asia Tenggara. Ketika Eropa jaya, budayanya juga memengaruhi jajahan-jajahannya. Oleh karena itu, kalau seni dan budaya kita bergaung di negara tetangga yang mungkin lebih miskin secara budaya, kita tidak perlu repot-repot marah-marah. Malah kita harus berdiri bangga dan tertawa. Mungkin boleh kita tanyakan siapa guru geografi mereka.

Pada tahun 1980-an, ketika tempe mulai menjadi populer di dunia dan kemudian muncul tempe burger, kita juga berbangga. Kita berbangga ketika beberapa penerbitan internasional menerbitkan buku-buku tentang batik. Kita juga berbangga ketika bahasa Indonesia mulai diajarkan di sekolah-sekolah Australia.

Tapi, belakangan ini, bangsa kita seperti bangsa yang kurang percaya diri dan paranoid, ketakutan kehilangan seni dan budaya kita. Mungkin ini lebih mencerminkan kekurangpedulian kita atas seni budaya kita sendiri. Lucunya, sebagaimana terlihat dalam banyak video-video di youtube.com, lagu itu rupanya memang menjadi bagian dari keseharian orang Malaysia. Sementara dalam suatu kesempatan acak, ketika beberapa orang Indonesia diminta menyanyikan lagu ”Rasa Sayange”, tidak seorang pun yang terkesan fasih menyanyikan lagu itu secara lengkap. Kita suka mengklaim, tapi sebenarnya tidak terlalu peduli, apalagi paham, atas seni budaya kita sendiri. Mungkin karena itulah kita jadi paranoid dan kurang percaya diri.

Pada tahun 1996, lebih dari 20 lukisan, termasuk karya Affandi dan Raden Saleh, tercuri dari Galeri Nasional Indonesia. Karena adanya kejadian itu, terungkaplah bahwa sebelumnya lukisan-lukisan itu dibiarkan kurang terawat dan berdebu di gudang penyimpanan tanpa banyak yang peduli. Barulah setelah pencurian itu terungkap, kita kasak- kusuk dan menaruh perhatian terhadap permasalahan itu.

Kini, perhatian terhadap karya-karya seni kita di museum- museum juga sudah surut lagi. Coba kita tanya diri kita sendiri terlebih dahulu: Kapankah kita terakhir menonton pertunjukan seni tradisional di desa asalnya? Berapa lagu daerah yang bisa kita nyanyikan? Berapa jenis tarian daerah yang kita kenal dan ketahui daerah asalnya? Apakah ciri khas dari pelukis Affandi? Apa bedanya dari corak lukisan Soedibio? Apakah yang dimaksud dengan motif semen dalam batik? Siapakah yang menggubah lagu ”Hanya Semalam”? Banyak lagi pertanyaan yang akan bikin kita jadi merasa harus kembali mempelajari seni dan budaya kita secara lebih mendalam. Kapankah kita terakhir mengunjungi museum kita?

Sepertinya, surutnya rasa percaya diri kita atas kepemilikan seni dan budaya kita merupakan akibat kekurangpedulian atau bahkan ketidakpedulian kita atas warisan yang kita miliki itu. Oleh karena itu, mudah-mudahan insiden pendet ini akan membuat kita sadar bahwa kita perlu lebih peduli, lebih menyayangi, dan lebih membanggakan warisan budaya milik kita dengan cara memperluas dan memperdalam pengetahuan kita akan hal itu.

Kita butuh belajar dan meneliti lebih banyak tentang seni dan budaya kita agar masyarakat dunia tahu lebih banyak tentang sejarah dan budaya kita. Begitu banyak hal yang belum benar-benar tergali dari Indonesia, dan ketika ada upaya untuk menggali dan menyampaikannya kepada publik Indonesia, kita cenderung untuk apatis saja, tidak memedulikannya. Banyak hasil karya para peneliti, kurator, dan pekerja seni diupayakan untuk ditampilkan kepada masyarakat umum, tapi museum-museum, ruang-ruang pameran, gedung-gedung pertunjukan, dan perpustakaan kita tetap sepi pengunjung.

Usaha untuk belajar dan meneliti sebaiknya kita lakukan sebelum berkembangnya perhatian orang Malaysia atas tarian itu. Seorang Malaysia yang cukup berpengaruh, yang mengikuti pembahasan kita melalui twitter, dengan separuh berguyon mengirimkan saya direct message yang intinya mengatakan bahwa masyarakat Malaysia pada umumnya pasti sebenarnya tidak tahu apa itu tari pendet, dan tidak bisa mengidentifikasi bagian mana dalam iklan itu yang dimaksud sebagai tari pendet. Jadi, tidaklah mungkin mereka dianggap mengklaim tarian itu sebagai tarian mereka. Yang jelas, mumpung mereka belum paham tari pendet itu sebenarnya yang mana, kita bekali diri kita dengan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang seni dan budaya kita. Barulah ketika kita paham, kita bisa benar-benar berbangga dan percaya diri, serta tidak perlu paranoid lagi atas ancaman klaim dari mana pun.

Dengan berbekal pengetahuan dan rasa percaya diri itu, kita bisa memanfaatkan disertakannya sebuah tarian Bali dalam iklan promosi pariwisata Malaysia. Tidak perlu dengan protes-protes, dengan tertawa dan bersukacita, kita bisa menyebarkan informasi melalui twitter, facebook, dan jaringan informasi viral bahwa tarian yang muncul di iklan itu adalah tari pendet dari Bali, dan Bali adalah bagian dari Republik Indonesia kita tercinta, dan oleh karena itu wisatawan mancanegara bisa berkunjung lebih lama ke Indonesia karena di negara inilah ragam budaya yang sangat kaya tersedia menyambut mereka.

* Amir Sidharta, Kurator, Kritikus Seni Rupa

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Agustus 2009

Malaysia Ingin Jadi Induk Budaya Melayu

Harus ada langkah konkrit menyusun strategi kebudayaan yang baik.

MALAYSIA dinilai berniat mendeklarasikan diri sebagai induk kebudayaan melayu di Asia Tenggara. Koordinator Penggiat Komunitas Nusantara, Bondan Gunawan mengatakan, secara perlahan tapi pasti, Malaysia membeli karya sastra dan seni dari daerah-daerah di Indonesia yang kuat akar melayunya, seperti Riau.

"Naskah-naskah kuno dibeli dengan iming-iming uang," kata dalam diskusi bertajuk "Menjaga Bumi dan Budaya Indonesia" di Jakarta, Sabtu (29/8). Secara terang-terangan, negeri jiran itu juga telah mengklaim beberapa seni milik Indonesia, seperti Tari Pendet dari Bali, Reog Ponorogo, dan lagu daerah Maluku, Rasa Sayange.

Bahkan, dua hari lalu, Lokananta, sebuah perusahaan rekaman milik negara meyakinkan lagu kebangsaan Malaysia, Negaraku, menjiplak lagu milik Indonesia, Terang Bulan. Belakangan juga muncul plesetan lagu Indonesia Raya dari situs internet. Bondan menyimpulkan, Malaysia secara tidak resmi sudah menabuh genderang perang budaya.

Langkahnya pun tidak main-main agar mewujudkan pusat budaya Melayu. "Benar-benar dikaji secara serius secara keilmuan," kata mantan Menteri Sekretaris Negara jaman Gus Dur itu. Kerap kali, Malaysia mengadakan seminar maupun simposium internasional untuk mengkaji budaya Melayu. Tak heran jika nantinya masyarakat internasional menganggap budaya tersebut memang asal Malaysia.

Sebaliknya, gerakan Malaysia belum diimbangi kemauan politik yang kuat dari Indonesia untuk melawannya. Pemerintah belum mampu meningkatkan nilai-nilai yang dimiliki untuk menjadi sebuah kesadaran nasional.

"Belum ada strategi menjaga kebudayaan yang baik," kata dia. Hal senada diungkapkan Budayawan Sujiwo Tejo. Dia melihat, pemerintah baru bereaksi ketika ada budaya yang diklaim. Pemerintah terlihat percaya diri karena yakin kebudayaan yang diklaim asli Indonesia, tanpa merawat dan memperhatikan budaya-budaya yang ada secara benar.

Wakil Ketua Komisi I DPR Yusron Ihza Mahendra mendesak pemerintah punya langkah konkret meningkatkan pembangunan dan promosi pariwisata. "Karena pariwisata yang mumpuni bisa menjaga budaya yang dimiliki," katanya. Tak hanya itu, pariwisata juga bisa mendatangkan pendapatan.

Yusron mengakui, tidak mudah mewujudkannya. Terlebih anggaran Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hanya sekitar Rp600-800 miliar. "Modal kekayaan alam dan budaya saja tidak cukup, strategi promosi dan anggarannya mesti memadai," kata dia.

Pendapat sektor pariwisata di Indonesia, katanya, baru menyumbang 1,2 persen dari produk domestik bruto. Bandingkan dengan Malaysia sumbangannya mencapai 10,2 persen pendapatan negara.

Hapus topic.com

Di Padang, Sumatera Barat, Menteri Komunikasi dan Informatika M Nuh mendesak pengelola situs topic.com di Amerika Serikat me-remove (membuang) Malaysia. Forum yang isinya melecehkan Indonesia dan memancing emosi anak bangsa.

"Saya sudah cek ke IP situ topic.com di AS dan meminta adminnya untuk meremove isi Malaysia Forum yang nada-nadanya melecehkan bangsa dan negara Indonesia," kata M Nuh, Sabtu (30/8). Desakan M Nuh ini terkait pelesetan lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dilansir dari topic.com telah memicu kemarahan anak bangsa karena pelesetan itu sudah sangat keterlaluan.

n Adhitya Cahya Utama/Adrian Tuswandi


Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 Agustus 2009 ]

[Buku] Gairah Serambi Makkah

-- Mohamad Ali Hisyam

SELAMA lebih kurang sepekan muhibah di Nanggroe Aceh Darussalam, saya menjumpai sejumlah hal baru dan menarik, terlebih berkaitan dengan khazanah literasi Nusantara. Sepanjang perjalanan darat dari Medan ke Lhokseumawe, saat memasuki wilayah Aceh, pandangan saya kerap bersitatap dengan papan nama bertulisan ''Perpustakaan Gampong''. Gampong adalah sebutan untuk kampung, lingkar sosial terkecil dalam hierarki masyarakat Tanah Rencong.

Gampong pulalah titik awal dari pemulihan kembali peradaban Aceh. Sebagaimana kita mafhum, provinsi di ujung barat Indonesia itu relatif baru sembuh dari berbagai lara yang sekian lama mendera. Setelah lebih 30 tahun masyarakat dicekam konflik, baik karena sergapan daerah operasi militer (DOM) maupun tekanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), daerah tersebut juga diguncang musibah superdahsyat tsunami di penghujung 2004. Sejarah perih dan duka mengiris itulah yang sekian tahun menjadi selubung psikologis masyarakat Aceh untuk mampu bangkit dari keterpurukan. Pengalaman historis yang pahit dan datang bertubi turut membirit laju perkembangan sosial penduduk Aceh. Kendati mulai berangsur normal, panorama sosial di Aceh masih me­nyisakan tangis yang tertahan, sinisme pe­nuh ratapan, serta trauma akibat tekanan.

Satu-satunya jalan agar mereka terlepas menghirup iklim kebebasan adalah gairah dan kebersamaan. Salah satu cara yang dirilis pemerintah guna menyuluh spirit peradaban adalah menggugah minat baca dan bakat tulis masyarakat. Upaya itu diwujudkan secara simultan dan masif. Dengan program bertahap, pemerintah mendirikan perpustakaan sederhana di beberapa gampong dan ditebar di sekujur Aceh. Dilampiri slogan ''Aceh Membaca, Aceh Berjaya'', animo serta kesadaran publik hendak dipulihkan supaya mencari suasana keilmuan yang lega, dengan cara membaca. Agar lekas berbaur dengan kemajuan dan demi cita-cita merengkuh kejayaan, rakyat diajak untuk berakrab-akrab dengan dunia pustaka. Guna membuka cakrawala dunia, membaca adalah jendela yang niscaya.

Hal yang unik, letak perpustakaan gampong di Aceh selalu berdampingan dengan meunasah (surau atau musala). Fenomena itu sekaligus penanda bahwa masyarakat Aceh pada satu sisi ingin menggenggam kemajuan dunia, di sisi lain tak sudi berjauhan dengan nilai-nilai agama. Di provinsi Seribu Bukit itu, agama (Islam) adalah acuan utama. Bagi mereka, panduan syariat tak bisa ditawar dan ditukar dengan apa pun. Di lanskap sejarah nasional, terukir nama Sultan Malikus Saleh dan Kerajaan Samudra Pasai sebagai penyebar agama dan kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Menyandingkan perpustakaan gampong dan meunasah tak ubahnya simbol dari idealisme kembar orang Aceh yang senantiasa menginginkan kepentingan dunia dan akhirat harmonis berjalan dan rukun berkelindan.

Walaupun bahan bacaan di perpustakaan gampong masih terbatas, pemerintah setempat bertekad untuk terus membina dan mengembangkannya. Dengan bantuan armada mobil perpustakaan keliling, setidaknya setiap 20 hari sekali koleksi-koleksi buku di perpustakaan gampong ditambah dan disirkulasi antara satu dengan yang lain. Faktor kejenuhan pembaca disiasati melalui subsidi silang judul-judul buku baru yang menyegarkan.

Perpustakaan gampong adalah wujud dari ketanggapan banyak pihak untuk merekonstruksi bangunan sosial di Aceh. LSM Cerdas Bangsa, Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah, serta BRR NAD-Nias adalah pihak-pihak yang berjasa di balik lahirnya unit perpustakaan yang hingga kini sudah berjumlah 42 buah tersebut. Untuk menopang program itu, pemerintah Aceh juga meluncurkan bantuan dana peumakmue gampong (pemakmur kampung) serta alokasi dana gampong yang berjumlah Rp 100 juta per tahun. Dana itu masih diakumulasi dengan sejumlah bantuan lain yang mencapai total sekitar Rp 300 juta. Respons strategis semacam itulah yang sejatinya diharapkan terus bermunculan, memberikan kontribusi nyata bagi penyemaian spirit kebangkitan penduduk Bumi Serambi Makkah.

Bagaimanapun, kita tak boleh menutup mata bahwa Aceh adalah sentrum penting dari dinamika keilmuan, sastra, dan budaya Nusantara. Wilayah tersebut menjadi bagian penting dari perkembangan peradaban rumpun Melayu di Asia Tenggara. Sejarah telah bernas menuturkan, sangatlah banyak ulama, pujangga, dan budayawan ternama yang lahir dari daerah kaya migas itu. Sebutlah beberapa di antaranya adalah Teungku Chik Pante Kulu, Hamzah Fansuri (yang dinobatkan sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu oleh Abdul Hadi W.M.), Abdur Rauf Assingkily (Syahkuala), Syamsuddin Assumatrai, hingga Nuruddin Arraniri.

Aceh juga merupakan muara dari beragam kultur dan etnis. Akronim ''A-C-E-H'' terdiri atas pertemuan antara bangsa (A)rab, (C)hina, (E)ropa, dan (H)india. Kondisi mul­tikultur itu justru mampu jadi pemacu masyarakat untuk saling menghimpun potensi menyumbangkan kontribusi positif bagi kebangkitan Aceh. Mengacu pada teori melting pot-nya Ricardo L. Garcia, kemajemukan tersebut adalah sumber beragam kekuatan yang bertemu dan bahu-membahu. Termasuk dalam pengembangan spektrum perbukuan di sana.

Demikianlah. Sepercik pengalaman di pucuk Pulau Andalas sudah memperkaya mozaik literasi kita. Ihwal kebangkitan sebuah bangsa dapat dibangun dari pembacaan dan pemaknaan kita terhadap pengetahuan yang termaktub di lembaran-lembaran buku. Cita kemajuan bisa dirancang sejak dini dan dimulai dari sendi yang terkecil, yaitu kampung. Teduh rasanya membayangkan bila seluruh daerah di seantero Nusantara sudi meniru langkah sejuk semacam ini. Menanam rimbun buku di setiap kampung. Semoga. (*)

* Mohamad Ali Hisyam, pustakawan, pengajar Universitas Trunojoyo Madura

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009 ]

[Buku] Riau dalam Pusaran Sastra Indonesia

Judul Buku : Leksikon Sastra Riau
Penyusun : Husnu Abadi dan M.Badri
Penerbit : Universitas Islam Riau dan Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia Riau
Cetakan : Januari 2009
Tebal : 154 + ix halaman

BUKU rujukan tentang sastrawan dan karya sastranya di Indonesia tidak banyak. Ernst Ullich Krastz, dosen di School of Oriental and African Studies, University of London, menyusun buku Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah berupa catatan tentang karya drama, prosa, dan puisi (Gadjah Mada University Press, 1989). Catatan yang dibuat Kratz melingkupi karya sastra yang terbit di dalam majalah (bukan buku dan koran) yang terbit antara 1920-1980.

Pamusuk Eneste menulis buku sejenis berisi nama pengarang dan karyanya, termasuk karya terjemahan: Buku Pintar Sastra Indonesia (Gramedia, 1981, dan Kompas, 2001). Suhendra Yusuf juga menyusun buku serupa (Mandar Maju, 1995), sedangkan Hasanuddin W.S. menyusun Ensiklopedia Sastra Indonesia yang diterbitkan di Bandung (Titian Ilmu, 2004).

Sesudah itu, tercatat Korrie Layun Rampan menerbitkan Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang memuat nama sastrawan dan riwayat hidup serta karyanya, sebagian besar disertai foto pengarang.

Kerja keras para penyusun buku tersebut sangat patut diacungi jempol walau ketika bukunya terbit pasti akan ketinggalan zaman karena membanjirnya karya sastra di seluruh pelosok Indonesia. Buku-buku rujukan tersebut selalu memerlukan pemutakhiran data, namun diragukan ada penerbit yang mau menerbitkannya.

Buku Leksikon Sastra Riau memuat informasi mengenai 173 sastrawan yang lahir di Riau atau tinggal di Riau dan berkarya di Riau. Kebanyakan memuat nama, tanggal, dan tempat lahir (bahkan sebagian menyertakan alamat pos serta alamat e-mail serta nomor HP si sastrawan) dan sejumlah karya sastranya. Buku disusun sesuai abjad dengan aturan Indonesia (tidak mengikuti aturan Inggris yang menulis last name lebih dulu). Panjang informasi mengenai pengarang bervariasi, mulai beberapa baris seperti Ahmad Rodhi yanga hanya tiga baris, Taufik Ikram Jamil yang satu setengah halaman, Sutardji Calzoum Bachri hampir dua halaman, hingga Hasan Junus yang dua setengah halaman.

Uniknya, buku itu juga dilampiri sejumlah halaman depan sebagai bukti otentik mengenai kegiatan penerbitan buku sastra di Riau yang dilakukan Universitas Islam Riau, BKKI Riau, Yayasan Sagang, Bengkel Teater Bersama dan Harian Riau Pos, serta penerbit-penerbit buku lain. Itu menandakan kehidupan penerbitan buku di Riau cukup marak. Namun, tentu saja buku tersebut bukan tanpa cacat. Di dalam dokumentasi halaman buku terlihat buku novel Bulang Cahaya karya Rida K. Liamsi (Yayasan Sagang dan JPBooks), namun ternyata nama Rida yang juga menulis kumpulan puisi Tempuling serta Perjalanan Kelekatu tidak tercantum di dalam buku itu. Rida K. Liamsi yang kebetulan CEO Riau Pos Group adalah sastrawan yang cukup aktif menulis dan memberikan ceramah sastra di berbagai tempat.

Melihat aktivitas sastrawan Riau yang tergambar pada pemuatan karya sastra mereka di Riau Pos dan koran-koran lain di Sumatera, tentunya jumlah 173 pengarang belumlah lengkap. Namun, setipis apa pun, buku itu sangat diperlukan untuk referensi.

Lantas bagaimana dengan Jatim yang penuh tokoh-tokoh sastra, baik yang sudah almarhum, sepuh, maupun sastrawan muda? Waktu menyusun bukunya, Kratz merujuk pada koleksi Soeripan Sadhi Hoetomo, sastrawan yang sangat aktif menulis artikel sastra dan kemudian mencurahkan perhatiannya pada sastra Jawa. Jatim punya Suparto Brata, Budi Darma, dan Zawawi Imron pada deretan sastrawan sepuh. Lalu, sastrawan separo baya seperti Shoim Anwar, lebih muda lagi ada Lan Fang.

Sedangkan yang almarhum, ada Totilawati dan Gatut Kusumo. Ada pula nama Agus Sunyoto, mantan pewarta Jawa Pos yang sangat produktif menulis buku, dan banyak lagi lainnya. Ratusan sastrawan yang masih hidup dan sudah almarhum berkiprah di Jatim sehingga pasti akan menjadi buku yang tebal dan sangat informatif. Tetapi, siapa yang mau mengerjakan dan menerbitkannya? (*)

Sunaryono Basuki Ks, Pencinta buku tinggal di Singaraja

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009 ]

[Buku] Musyawarah Versi Habermas

Judul Buku : Demokrasi Deliberatif: Menimbang ''Negara Hukum'' dan ''Ruang Publik'' dalam Teori Diskursus Habermas
Penulis : F. Budi Hardiman
Penerbit : Kanisius, Jogjakarta
Edisi : Pertama, 2009
Tebal : 246 Halaman

INDONESIA kekinian mencatatkan fakta banyaknya persoalan kebijakan yang mengabaikan aspirasi publik. Masih munculnya kebijakan-kebijakan pemerintahan di era reformasi yang mengintervensi wilayah privat masyarakat kita -seperti yang tampak dalam kasus perda-perda syariat di beberapa daerah, RUU APP, larangan terhadap Ahmadiyah- menunjukkan betapa mendesaknya studi mengenai pengambilan kebijakan publik secara deliberatif agar negara tak terjebak dalam godaan politik identitas yang menindas minoritas dan pluralitas.

Nah, F. Budi Hardiman menulis buku ini sengaja diikhtiarkan untuk menguraikannya. Tentu saja, penulisan uraiannya tidak jauh dari kapasitas keilmuannnya sebagai pengkaji yang tekun dan berbobot atas pemikiran filsuf sekaligus sosiolog berpengaruh asal Universitas Frankfurt (Jerman), Jurgen Habermas. Ya, buku Demokrasi Deliberatif: Menimbang ''Negara Hukum'' dan ''Ruang Publik'' dalam Teori Diskursus Habermas ini persisnya ingin menaruh rumusan: teori diskursus Habermas relevan untuk dipedomani masyarakat Indonesia yang belum juga mamantapkan diri dalam fitrahnya sebagai komunitas majemuk.

Sebelum membukukan karya penelitiannya ini, F. Budi Hardiman telah menerbitkan dua kajian (buku) lain tentang teori kritis Habermas. Pertama, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (1991). Buku tersebut memusatkan perhatian pada: (1) tradisi pemikiran neo-Marxis yang melatarbelakangi teori kritis Habermas, serta (2) karya awal Habermas pada 1970-an tentang filsafat pengetahuan. Kedua, Menuju Masyarakat Komunikatif (1993). Buku yang kedua ini memusatkan diri pada karya-karya Habermas sepanjang periode 1970-an dan 1980-an. Kedua buku tersebut dapat dianggap sebagai pengantar ke alam pemikiran diskursif Habermas yang menjadi fokus telaah buku ini.

F. Budi Hardiman, yang sudah mempelajari pemikiran Jurgen Habermas sejak 1990-an, kali ini benar-benar terpikat pada buku monumental Habermas yang berjudul Faktizitat ung Geltung (Fakta dan Kesahihan) (1992). Menurutnya, para kritikus Habermas telah salah menuduh bahwa Hebermas tidak lagi melancarkan ''kritik atas kapitalisme'' sebagaimana dilakukan secara progresif oleh para pendahulu sekaligus generasi pertama teori kritis, seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, dan Herbert Marcuse. Sebaliknya, dengan melampaui ''kritik atas kapitalisme'' itu, Habermas menginginkan suatu kondisi komunikatif yang paling mungkin guna membuka ruang-ruang diskusi rasional. Hal itu untuk membuka diskursus terkait persoalan publik dan kelindan proses pengambilan keputusan demokratis.

Jika dirunut ke belakang, terutama ke dalam karya-karya Habermas seperti Strukturwandel der Offentlichtkeit (Perubahan Struktur Ruang Publik/1962) dan adikarya Theorie des kommunikativen Handelns (Teori Tindakan Komunikatif/1981), pendar-pendar teori diskursus Habermas sejatinya sudah banyak bertebaran. Hanya saja, dalam Faktizitat ung Geltung, Habermas lebih lugas dalam mengembangkan pemikiran tentang kontribusi teori diskursus berkaitan dengan hukum dan negara hukum demokratis. Ini yang kemudian ditandaskan Yudi Latif bahwa gagasan teori diskursus berguna bagi kita untuk membaca penyimpangan dari ideal-ideal demokrasi permusyawaratan yang tengah kita tata sekarang.

Dengan demikian, teori diskursus bukanlah pisau bedah baru dalam upaya kita mengkritisi dinamika masyarakat modern sekarang. Bedanya dengan teori-teori klasik dari Aristoteles, Hegel, atau Karl Marx, semisal; teori diskursus tak bernafsu untuk membongkar narasi besar ''tujuan ma­syarakat''. Akan tetapi, yang ingin ditunjukkan lewat teori diskursus adalah ''cara'' atau ''prosedur'' untuk mencapai tujuan tersebut. ''Tujuan'' itu sendiri pada gilirannya harus disepakati bersama sesuai ketaatan prosedur komunikasi yang tepat. Jadi, disimpulkan F. Budi Hardiman, teori diskursus Habermas secara radikal berorientasi pada ''rasio prosedural''.

Contoh yang relatif sederhana untuk mengilustrasikan raibnya ''rasio prosedural'' itu adalah dari cara-cara penyelesaian konflik dewasa ini. Kita bisa mencermati mulai dari tegangan antarkelompok agama, permusuhan antarsuku, kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonomi, dan sebagainya. Pada titik ini, ketika politik dimengerti sebagai ''kuasa-menguasai'' belaka, situasi-kondisi yang kurang stabil tersebut tentulah harus ''ditenangkan'' lewat persuasi, depolitisasi warga negara (seperti kebijakan floating mass pada era Orde Baru), atau bila perlu lewat intimidasi, kekerasan, dan paksaan. Nah, dari situ sejatinya sangat tampak sirkulasi kekuasaan dan resolusi konflik yang nyaris tanpa peran aktif warga negara.

Menanggapi semua itu, sedari awal dengan tegas terbaca dari judul buku, F. Budi Hardiman menawarkan model ''demokrasi deliberatif'' sebagai formula untuk membuka ruang-ruang publik dan kanal-kanal komunikasi dalam masyarakat kita. Memang, penerapan model demokrasi deliberatif itu tak serta-merta menuntaskan soal. Namun, dengan prinsip pemecahan persoalan yang toleran dan nirkekerasan, diharapkan praktik diskursus publik semakin inklusif dan fair. Catatan kritis di sini, demokrasi deliberatif tak hanya ''menuntut'' penyebaran hak-hak partisipasi, melainkan juga interaksi dinamis antara institusi-institusi resmi guna berkembangnya opini dan aspirasi politik yang tak terinstitusionalisasi (hal. 171).

Akhirnya, terlepas dari sifat buku ini yang ''filosofis'' sehingga bagi sebagian besar pembaca dipastikan bakal menganggapnya sebagai buku ''berat'', analisis F. Budi Hardiman kali ini sukses menggenapi dua bukunya terdahulu guna merumuskan sumbangsih pemikiran dalam konteks Indonesia kekinian. Dan lagi, tidak cukup bagi alumnus Hochschule fur Philosophie (Munchen) ini membuktikan ketajaman teori diskursus Habermas dibandingkan dengan sederet teori klasik tentang negara hukum seperti dari John Locke, Jean-Jacques Rousseau, atau Montesquieu -yang tentu saja mudah kita telusuri dari buku filsafat politik yang lain.

Lebih dari itu, istilah ''deliberasi'' itu sendiri sesungguhnya tidaklah asing menurut praktik kesadaran politik kita. Kata yang berasal dari bahasa Latin ''deliberatio'' -yang berarti ''konsultasi'' atau ''menimbang-nimbang'' itu sejatinya dalam leksikon politik kita juga sudah terpakai, bahkan secara kultural tertanam dalam kesejatian masyarakat kita, yakni ''musyawarah''. Tapi, ah! Bukankah kita terlampau sering terkaget-kaget terhadap serbuan penolakan undang-undang semisal, oleh sebab telah runtuhnya ruang kultur ''musyawarah''? Melalui buku ini, F. Budi Hardiman memaksa kita merenungkan kealpaan kolektif tersebut. (*)

M. Lubabun Ni'am Asshibbamal S., Pemimpin redaksi BPPM Balairung UGM Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 30 Agustus 2009 ]

Hilangnya Titian Muhibah Itu

PADA masa pemerintahan Soeharto, pemirsa televisi Indonesia secara rutin disuguhi Titian Muhibah, suatu acara hiburan yang menampilkan penyanyi Indonesia dan Malaysia. Pada acara itu, penyiar televisi dari dua negara bisa saling berkomunikasi secara langsung. Indonesia menampilkan para penyanyi yang terkenal tidak saja di Tanah Air, tetapi juga di Malaysia. Malaysia juga menghadirkan penyanyinya yang dikenal luas di Indonesia. Benar-benar suatu titian muhibah. Bangsa serumpun bisa tampil menghibur bersama-sama.

Ruth Sahanaya dan Band Karimata tampil dalam acara "Titian Muhibah" di TVRI, tahun 1990. (Dok SP/HY)

Acara Titian Muhibah itu sudah lama menghilang bersama tumbangnya rezim Soeharto. Hubungan kultural yang manis itu bagai tak berbekas lagi. Yang muncul belakangan justru ketegangan-ketegangan budaya. Ketegangan itu dimulai ketika Malaysia mengklaim batik, Reog Ponorogo, Tari Indang Bariang, dan lagu Rasa Sayange sebagai miliknya dalam dua tahun terakhir.

Masalah-masalah tersebut belum tuntas diselesaikan, kini datang masalah baru, yakni pengakuannya Tari Pendet sebagai miliknya. Tarian Pendet muncul dalam iklan promosi program (teaser) Discovery Channel berjudul Enigmatic Malaysia. Enigmatic Malaysia adalah judul dari enam film dokumenter yang diproduksi oleh sebuah rumah produksi Malaysia bernama KRU Studios Production untuk memperingati kemerdekaan Malaysia. Rumah produksi Malaysia itu memiliki cabang di Indonesia, Singapura, dan beberapa negara Eropa.

Enam film dokumenter itu adalah The Malaccan Portuguese-Preserving Their Heritage, Bajau Laut-Nomads of the Sea, Keris-the Myth and the Magic, Kellie's Castle-Myth and Mystery, Batik, dan Wau. Pihak KBRI di Malaysia telah mengadakan klarifikasi dengan pihak KRU Studios Production yang mengakui memang Tari Pendet ditampilkan dalam salah satu film yang akan ditayangkan oleh Discovery Channel.

Nota Protes

Rakyat Indonesia terkejut dengan klaim tari itu seakan milik Malaysia. Menariknya, Pemerintah Malaysia juga justru terkejut. Pengklaiman tersebut telah membangkitkan reaksi keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik melayangkan nota protes kepada Pemerintah Malaysia, terkait klaim Malaysia atas Tari Pendet sebagai kekayaan budayanya dalam iklan yang ditayangkan Discovery Channel. Menbudpar meminta penayangan iklan itu dihentikan. Dalam konferensi pers di kantornya, Menbudpar mengemukakan telah memanggil Duta Besar Malaysia, namun yang hadir adalah Wakil Duta Besar Malaysia Amran Mohammad Zein menggantikan duta besar yang sedang pada proses penggantian dari pejabat lama ke pejabat baru.

Tidak hanya seniman Bali yang protes keras. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun angkat bicara. Presiden berharap Pemerintah Malaysia menjaga sensitivitas rakyat Indonesia, sebab tarian itu sungguh-sungguh berasal dari Bali-Indonesia. Karena itu, dia menganggap protes Pemerintah Indonesia terhadap klaim Pemerintah Malaysia tidak berlebihan.

Menurut Presiden, beberapa tahun lalu, atas inisiatifnya Indonesia dan Malaysia membentuk eminent person group (EPG) yang khusus mengelola permasalahan, persengketaan antarkedua bangsa, termasuk isu-isu tentang hak cipta dan karya budaya, serta karya peradaban di antara kedua bangsa. "Dengan semangat itu, kita ingin menjaga hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia. Berkaitan dengan isu Tari Pendet yang menjadi bagian dari iklan di Malaysia itu, ke depan, pemerintah Malaysia sungguh memberikan atensi, menjaga perasaan masyarakat Indonesia, memelihara hubungan baik dan eminent person group bisa difungsikan untuk mencegah hal-hal seperti sekarang. Ini harapan saya dengan semangat, sekali lagi untuk menjaga dan memelihara hubungan baik," jelas Presiden.

Protes terhadap Malaysia, menurut Presiden, juga bertujuan untuk kebaikan hubungan masa depan ke dua negara. Indonesia dan Malaysia, misalnya, telah melakukan kerja sama di bidang ketenagakerjaan. Warga negara Indonesia yang bekerja di sana berjumlah sekitar 1,8 juta orang. Masalah tenaga kerja ini juga sensitif dan banyak muncul. Namun, ada kemajuan kerja sama antarkedua pemerintah.

Kalau masyarakat Indonesia geram dengan klaim Malaysia terhadap Tari Pendet, bisa dipahami. Entah apa lagi milik Indonesia yang akan diklaim sebagai milik mereka. "Bisa jadi Candi Borobudur adalah berikutnya," kata sastrawan Remy Silado. Remy menengok ke masa lalu. Pada tahun 1957, Malaysia mencomot lagu asli Indonesia yang berjudul Terang Bulan. Pada saat itu, Malaysia sedang mempersiapkan diri untuk menyambut kemerdekaannya, yang jatuh pada tahun 1958. Lagu Terang Bulan, yang muncul di Indonesia pada masa Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL), diminta oleh Malaysia untuk dijadikan lagu kebangsaan mereka.

Tersadar

Klaim yang dilakukan Malaysia membuat kita bangun dari tidur dan kemudian menyadari betapa kaya bangsa kita dalam memiliki keanekaragaman budaya. Kita geram pada Malaysia atas ulahnya yang mengambil kebudayaan kita. Kita baru memberi perhatian setelah ada harta budaya kita diambil orang.

Kecolongan budaya yang kita alami seharusnya bisa menjadi bahan refleksi. Apakah kita sudah cukup memperhatikan kebudayaan kita? Bukankah selama ini kebudayaan masih terpinggirkan? Pemerintah dan masyarakat tak lagi peduli. Padahal, kebudayaan itu menjadi identitas suatu bangsa yang memiliki manfaat bagi suatu bangsa. Indonesia begitu diberkati karena memiliki beragam budaya yang tidak ada duanya di dunia.

Kita tidak boleh berpangku tangan lagi untuk mempercepat inventarisasi semua kekayaan anak bangsa dan dipatenkan, baik untuk tingkat nasional maupun dunia sebagai bagian dari world heritage. Kita harus peduli dan rajin mencantumkan semuanya itu menjadi karya kita. Jadi, kita sendiri sudah harus semakin peduli, tatanan dunia sekarang ini

Sejauh ini, sejumlah kekayaan budaya Indonesia sudah diakui oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO. Lembaga itu sudah mengakui dan menerima wayang dan keris sebagai global heritage. Saat ini yang masih ditunggu pengakuan oleh lembaga yang sama adalah batik dan angklung. Diharapkan, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi kedua hal itu juga diterima oleh UNESCO sebagai karya Indonesia.

Kita perlu belajar banyak dari sejumlah kasus pengklaiman budaya kita oleh Malaysia. Sebagai bangsa serumpun seharusnya kita menjalin titian muhibah. Namun, beberapa kasus pengklaiman telah membuat titian muhibah itu putus. Kita berharap titian muhibah yang sudah ada sebelumnya janganlah menjadi titian musibah. Dua penari Pendet dalam iklan yang ditayangkan Malaysia tersebut merupakan alumnus ISI Denpasar. Bukankah itu menjadi bukti hubungan yang bagus selama ini?

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura-pura di Bali. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi tari "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius.

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukan yang memerlukan pelatihan intensif, Tari Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pria dan wanita. [W-9]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 30 Agustus 2009

Jero Wacik: Pelanggaran Etika

PENAMPILAN Tari Pendet dalam tayangan iklan promosi pariwisata Malaysia mencelikkan mata banyak orang. Bukan sekali itu kekayaan seni budaya Indonesia dimanfaatkan Malaysia untuk kepentingannya. Bahkan, sudah banyak kekayaan budaya Indonesia yang dimanfaatkan negara lain untuk berbagai kepentingan mereka.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik, dalam pertemuan dengan wartawan berkaitan dengan kasus Tari Pendet itu, Senin (24/8) lalu, mengemukakan persoalan saling klaim dengan Malaysia terjadi dua tahun belakangan ini. Dalam nota protes yang dilayangkan ke Pemerintah Malaysia, Menteri menyebutkan kasus pemanfaatan kekayaan budaya Indonesia lainnya, seperti batik, reog Ponorogo, Tari Indang Sungai Garinggiang (bukan Indang Bariang seperti diberitakan sebelumnya, Red), lagu Rasa Sayange, hingga angklung. Melalui nota protes itu Menteri minta Pemerintah Malaysia menghentikan penayangan iklan promosi pariwisata Malaysia di Discovery Channel itu.

Jika membuka situs web budaya-indonesia.org, daftar pemanfaatan kekayaan budaya Indonesia oleh pihak lain itu lebih panjang lagi. Dan, bukan hanya oleh Malaysia. Insiatif Budaya Kepulauan Indonesia (Indonesian Archipelago Culture Intiatives/IACI), menyebutkan, perorangan, perusahaan, perusahaan multinasional dari Amerika Serikat, Belanda, Jepang, Inggris, Prancis, tercatat pernah memanfaatkan kekayaan budaya Indonesia. Jenisnya pun bukan hanya produk seni budaya, namun mencakup juga resep warisan nenek moyang seperti tempe dan sambal bajak, hingga kekayaan hayati seperti rempah-rempah!

Dari 32 butir klaim negara lain atas budaya Indonesia, Malaysia tercatat paling banyak memanfaatkan kekayaan budaya Indonesia untuk promosi negaranya. Selain lagu Rasa Sayange yang berasal dari Maluku, IACI juga mencatat, pemanfaatan lagu lain, seperti Soleram, Jali-jali, injit-injit Semut, Kakatua, dan Anak Kambing Saya.

Kemiripan Budaya

Sebagai bangsa serumpun, diakui Menbudpar, tidak terbantahkan ada kemiripan budaya di masing-masing negara, terutama yang berakar dari budaya Melayu. Walaupun tidak ada perjanjian tertulis, Menbudpar mengatakan, ada kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia untuk saling memberitahu jika ada kaitan dengan pemanfaatan kekayaan budaya yang masih berada dalam grey area, seperti seni budaya Melayu.

"Memang tidak ada kesepakatan tertulis, namun ada notulensi. Kesepakatannya, saling memberitahu," kata Menbudpar.

Namun, Tari Pendet, ditegaskan Menteri, bukan kekayaan budaya Melayu. Ditarikan di mana pun, warga dunia mengenalnya sebagai kekayaan budaya Bali. Karena bukan kekayaan budaya di gray area, Menbudpar menyebutnya sebagai pelanggaran etika. [A-18]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 30 Agustus 2009

Lola Amaria: Malaysia Licik

KLAIM Malaysia atas beberapa kesenian dan kebudayaan Indonesia belakangan ini menjadi isu yang hangat diperbincangkan. Bahkan, tak sedikit yang menuding Malaysia tidak beretika karena tanpa basa-basi, mengklaim kebudayaan yang bukan miliknya. Isu lama tentang perseteruan Indonesia dan Malaysia pun kembali mencuat.

Lola Amaria

Bagi Lola Amaria, sebenarnya klaim Malaysia tadi terjadi karena kesalahan Pemerintah Indonesia sendiri. Pemerintah dinilai kurang preventif dalam menjaga warisan seni dan budaya bangsa.

"Kalau sudah begini, baru deh heboh reaksinya," tutur aktris dan sutradara ini dalam perbincangan dengan SP, Rabu (26/8).

Menurutnya, masalah ini selain berpangkal pada masalah ekonomi, juga pada masalah identitas. Malaysia dinilai Lola tidak memiliki identitas yang jelas. Sedangkan, Indonesia yang lebih tua usianya, memiliki akar budaya yang lebih jelas. Setiap daerah pun memiliki kesenian dan kebudayaan yang berbeda.

"Malaysia kan juga punya nenek moyang yang sama dengan Indonesia. Mungkin karena itu, mereka merasa berhak untuk mengklaim kebudayaan kita," kata perempuan kelahiran Jakarta, 30 Juli 1977 ini.

Ia menilai, kesalahan Pemerintah Indonesia adalah, mereka tidak pernah mematenkan apa pun yang dimiliki negara secara turun-temurun. Padahal, di dunia internasional, berlaku hukum seperti itu. Harusnya, Lola menyarankan, dari awal pemerintah sudah memiliki benteng untuk melestarikan budaya.

"Ini kayak bom waktu. Kita kan enggak pernah menyangka akan ada serangan-serangan nonpolitik yang bentuknya kayak begini. Pemerintah jangan berkoar-koar aja dong. Sekarang waktunya untuk bertanggung jawab," ujarnya penuh semangat.

Masalah klaim-mengklaim ini, tambah Lola, bisa terus-menerus berlanjut jika Indonesia tidak melakukan tindakan preventif. Ia menyarankan agar pemerintah segera mendaftarkan dan mematenkan seluruh kesenian dan kebudayaan Indonesia, yang seharusnya dilakukan sejak bertahun-tahun lalu.

Lola menilai, belum terlambat jika pemerintah melakukannya itu sekarang. Karena itu, harus dilakukan secepat mungkin. Apalagi, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, banyak sekali kebudayaan Indonesia yang diklaim Malaysia. Mulai dari batik, Reog Ponorogo, sampai tari Pendet. Nanti kalau dibiarkan, bisa jadi akan ada lagi yang mereka klaim.

Desakan Lola kepada pemerintah bukannya tanpa fakta. Sutradara film Betina ini menilai, Pemerintah Indonesia, termasuk para anggota DPR, tak berbuat banyak untuk menjaga dan mempromosikan budaya Indonesia. Sebagai orang yang berkecimpung di dunia produksi film dan iklan, ia tahu betul, bagaimana per-bedaan sikap Pemerintah Malaysia dan Indonesia, saat harus mempromosikan budaya dan pariwisata lewat iklan.

Malaysia Royal

Pemerintah Malaysia menurutnya, jauh lebih royal dalam menggelontorkan dana untuk membuat iklan yang ditayangkan di berbagai stasiun televisi asing. Sementara itu, Pemerintah Indonesia sendiri, dana yang dianggarkan jauh dibandingkan realisasinya.

"Ada dana untuk iklan pariwisata, eh kebanyakan 'disunat' sana sini. Dana miliaran rupiah jadinya hanya puluhan juta. Nah, bagaimana kita mau buat iklan yang bagus kalau begitu?" ujarnya.

Tak heran jika pariwisata dan kebudayaan Malaysia yang ditampilkan dalam iklan tampak jauh lebih menarik ketimbang Indonesia. Padahal dalam kenyataannya, Indonesia jauh lebih indah, berwarna, dan variatif dibanding Malaysia. Lola menilai, Malaysia hanya lebih pintar mengemas, plus, memiliki dana yang besar untuk membuat iklan.

"Kita sebenarnya bisa bikin iklan yang lebih bagus dari yang ada sekarang. Masalahnya, dananya ada enggak? Pemerintah kita kebanyakan korupsi sih. Realisasi dana bisa cuma sepersepuluh dari anggaran aslinya. Teman- temanku yang pernah menangani iklan pariwisata Indonesia banyak curhat bahwa mereka tidak bisa maksimal bikin iklan yang bagus karena duitnya enggak ada," jelas pemenang ajang model Wajah Femina 1997 ini.

Oleh karena itu, ia mengimbau agar pemerintah lebih serius menangani masalah tersebut. Harusnya pemerintah Indonesia bisa lebih pintar daripada Malaysia. Jika tidak, bisa jadi wisata dan budaya Indonesia akan terus diklaim oleh Malaysia.

"Mereka (Malaysia, Red) itu kan licik. Kita dong yang harus lebih pintar. Malaysia bisa bikin iklan yang bagus untuk menarik wisatawan, kita juga harus lebih bagus karena alam dan budaya kita jauh lebih menarik dibanding mereka. Sekarang tinggal pemerintah aja, mau serius atau tidak," katanya. [D-10]

Sumber: Suara Pembaruan, Minggu, 30 Agustus 2009

Sastra dan Industri Kreatif

-- Asarpin

SELAMA ini industri kreatif belum banyak dimanfaatkan kalangan sastrawan untuk memasyarakatkan sastra. Mungkin karena ada anggapan bahwa sastra berbeda dengan industri kreatif. Bahkan hubungan keduanya terkesan bertentangan.

Maka, wajar saja jika tak banyak sastrawan mencatatkan karyanya ke dunia industri kreatif. Padahal, di berbagai belahan dunia, industri kreatif tak jarang dijadikan media pemasyarakatan sastra. Tak cuma sebagai media bagi sastrawan untuk mengenalkan karyanya ke publik. Tapi industri kreatif tak jarang menjadi lahan basah yang mampu memperbaiki ekonomi keluarga.

Sekarang ini tak ada alasan bagi sastrawan untuk menolak rezeki yang ditawarkan industri kreatif. Sastrawan butuh perbaikan gizi dan perbaikan rezeki. Tidak sebagaimana selama ini, sastrawan justru identik dengan kemelaratan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Contoh Putu Wijaya dan Goenawan Mohamad yang mampu eksis dengan memanfaatkan ruang yang disediakan industri kreatif.

Dunia sastra tampaknya tak mungkin hidup eksklusif selamanya. Dunia di luar sastra berkembang begitu pesat. Mau tak mau juga menuntut para pencinta sastra untuk membuka diri. Kendati sebagian sastrawan kita tampak kebingungan saat membedakan sastra dengan industri kreatif; apakah sastra itu bukannya bagian dari industri kreatif, atau industri kreatif bagian dari sastra, tak kunjung jelas.

Iklan, musik, video, film, karya sastra adalah bagian dari konten kreatif. Jika sastra dikaitkan dengan industri kreatif, apa tidak membuat sastra di bawah logika industri? Apakah menghubungkan sastra dengan industri kreatif tidak berlebihan? Apakah yang sedang terjadi pada industri kreatif sesungguhnya?

Saya teringat ungkapan Putu Wijaya beberapa waktu lalu. Dunia sastra kita, kata Putu, masih kurang diperhatikan pemerintah. Padahal sastra dapat dijadikan instrumen untuk membangkitkan industri kreatif. Sastra berperan penting dalam pengembangan industri kreatif nasional dewasa ini. Tak satu orang dan satu bidang pun kini bisa lepas dari sastra. Karya sastra mengambil bagian dalam seluruh tata kehidupan. Tak ada yang terpisah dari sastra karena sastra sebagai totalitas dari bentuk ekspresi dengan bahasa sebagai basisnya. Sastra memberi nilai tambah dalam industri kreatif yang memainkan emosi. Masyarakat dapat melihat karya-karya, misalnya novel, yang dijadikan film yang laris: Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Unsur utama industri kreatif adalah kreativitas, keahlian dan talenta yang bertujuan--selain kepuasan batin--menambah pendapatan. Beberapa produk industri kreatif misalnya, film, video, musik, permainan, media, pertunjukan, kerajinan tangan, tata busana. Atau di bidang jasa: desain, arsitektur, periklanan. Semua ini biasanya dicirikan oleh siklus hidup yang singkat, risiko tinggi, margin yang tinggi, keanekaragaman tinggi, persaingan tinggi dan mudah ditiru.

Kendati sudah beberapa sastrawan melibatkan diri pada industri kreatif, seperti keterlibatan mereka di acara di televisi, ternyata tidak membuat mereka meninggalkan sastra dan bersikap tidak kritis terhadap fenomena yang ada. Bagaimanapun, industri kreatif terbukti menjadi jalur alternatif. Mereka bisa mengekspresikan karyanya dengan memperoleh perhatian publik. Bahkan sebagian sastrawan ada yang secara materil cukup sukses sejak berkecimpung dalam industri kreatif. Sebut saja misalnya Goenawan Mohamad yang bergerak di dunia media, yaitu Tempo Group.

Pilihan Goenawan mengingatkan saya pada sikap teguh Karya dan Putu Wijaya yang begitu apresiatif dengan industri kreatif. Langkah mereka tak jarang mengingatkan saya pada ucapan Gabriel Garcia Marquez beberapa tahun lalu tentang kenyamanan ekonomi dan kesehatan yang terjaga, sampai kapan pun, merupakan hal yang kondusif untuk menulis.

Bahkan, sastrawan idealis macam Afrizal Malna pun tak jarang bergerak di industri kreatif. Beberapa kali Afrizal terlibat pembuatan skenario untuk sinetron di salah satu televisi swasta. Kendati demikian, Afrizal dan Goenawan tidak pernah mengorbankan karya sastra lantaran terlibat dalam dunia industri kreatif. Tapi, justru inilah fenomena keserentakan yang secara ekonomi mungkin saling menguntungkan, dan secara budaya mampu meluruhkan tegangan binari yang berurat-berakar dalam benak sebagian orang. Bukan wajah berlawanan yang saling cakar-cakaran, saling menegasikan, melainkan sebuah fenomen hiburan yang saling mengisi.

Tiap karya sastra yang baik, sebagaimana tiap industri yang kreatif, proses kelahirannya memerlukan kreativitas. Tak ada karya yang baik tanpa ketekunan dan inovasi yang memadai. Seorang penyair dan seorang perancang bangunan, atau seorang arsitek dan seniman, memiliki daya cipta yang mirip. Masyarakat industri dan masyarakat puisi kelihatan di permukaan sebagai bertentangan, tapi jika kita dekati dengan ranah bahasa, maka keduanya sama-sama menghasilkan suatu pekerjaan yang memerlukan kreativitas dan ketekunan, kecerdasan, dan imajinasi. Puisi adalah satu cabang dari sastra kreatif, atau bahkan salah satu genre sastra kreatif yang paling menantang imajinasi.

Baik puisi maupun industri, keduanya membutuhkan kreasi (suatu hasil daya cipta). Industri mengalami perkembangan yang dahsyat saat ini karena kreatif. Puisi tak mati-mati--bahkan kini sejumlah orang menyebut "abad puisi" bersamaan dengan sebutan "abad industri" yang muncul terlebih dulu--karena sifatnya inventif dan inovatif.

"Abad industri" dan "abad puisi" di sini, yang saya maksudkan adalah bagaimana keduanya kini berada pada perkembangan yang nyaris liar. Orang kini tak lagi menggebu-gebu bicara soal "kerajaan sains" dan filsafat sebagai induk semang ilmu pengetahuan. Sejak gagasan pascamodernisme jadi bahan perbincangan yang semarak pada dekade 1960-an hingga kini, orang mulai menempatkan sains tak lebih sebagai puisi. Segalanya kini dikembalikan pada puisi. Setidaknya, kalau mengikuti Christopher Langton, sains pun kini semakin puitis.

Jadi, baik puisi maupun industri, pada dirinya telah menunjukkan sesuatu yang kreatif. Kalau ada perbedaan di antara keduanya yang mungkin relevan di singgung di sini, maka letak beda itu pada tabiat penyair--terutama pada penyair liris -yang masih memosisikan diri sebagai kaum Luddisme yang jadi musuh abadi kemajuan industri teknologis.

Tak perlu ditambah embel-embel industri kreatif, puisi kreatif, keduanya memang sesuatu yang bersifat kreatif. Apa yang dinamakan kreativitas adalah sesuatu yang memiliki inspirasi, dan pada gilirannya melahirkan kemampuan untuk mencipta. Memang, tak semua industri dan puisi adalah kreatif. Ada industri dan puisi yang mengalami stagnan, lambat, beku, dan terancam mati. Kemampuan menghasilkan (baca: proses produksi), tak selalu sejalan dengan kreativitas.

Di sini puisi dan industri dihasilkan dari kegiatan memproses, atau mengolah sesuatu dengan alat. Puisi bekerja dengan kata, dengan image, dengan metafora, dengan nada. Sekalipun tidak semua puisi tergantung pada kata sebagai alat (seperti puisi-puisi mantra Sutardji), tapi hakikat puisi tak mungkin sepenuhnya mengelak dari kata. Dan terbukti, Sutardji sendiri akhirnya kembali kepada kata.

Sementara industri berproses menghasilkan barang-barang dengan menggunakan mesin. Dengan mesin, dengan kata, terjadilah pelipat-gandaan puisi dan industri. Secara tak langsung juga terjadi pelipatgandaan pada sistem komunikasi antarmanusia. Di sinilah tantangan bagi upaya memasyarakatkan sastra dan mengenalkan industri kreatif.

Bila ada yang beda antara puisi dan industri, beda itu terletak pada ideal tertinggi puisi kini bukanlah kolektif, tapi pribadi. Setidaknya itulah pendapat Octavio Faz dalam kuliah Nobel Kesusastraan 1990. Ketika kerinduan industri kreatif akan kebutuhan hidup manusia tak tertangguhkan lagi, anehnya para penyair terus saja memusatkan diri pada tragedi dan kesepian manusia individual. Maka wajar saja jika kebanyakan sastrawan kita tidak gaul, alias kurang pergaulan. Wajar pula jika upaya memasyarakatkan karya sastra seolah tak kunjung memperlihatkan ujung.

* Asarpin, Peserta Program Penulisan Mastera 2009 untuk genre esai

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Agustus 2009

Friday, August 28, 2009

Agenda Besar Kebudayaan

-- Yudhistira ANM Massardi

BANGSA besar adalah yang juga berjiwa besar dan berpikir besar. Bukan yang selalu reaktif, tetapi yang kreatif dan proaktif.

Untuk menegakkan martabat dan mempertahankan kualitas kebudayaan bangsa yang besar, pemerintah bersama seluruh pewaris, pemilik, dan pelaku kebudayaan harus berani membuat rencana dan kerja besar, sekarang juga. Seluruh energi nasional diperlukan untuk menyalakan apinya agar kerja bisa terus terjaga dan cahayanya semarak di langit luas.

Pokok besar

Sebagai negara-bangsa yang selalu mengaku (sambil enggan kerja) merupakan bangsa besar, kaya, dan berbudaya adiluhung, kita sudah terlalu lama terlena dan berlupa. Sebagai pokok kayu besar dengan seribu akar serabut, kita terlalu lama membiarkan banyak bagiannya melapuk.

Sementara pokok kecil yang tumbuh di seberang—sebagaimana galibnya pokok kecil yang ingin besar—begitu bersemangat mencari zat hara untuk menguatkan akarnya. Meski, dia tahu belaka, bijinya berasal dari pokok induk di sebelah, dan dia tidak bisa mengingkari DNA biologis-historis-kulturalnya. Untuk itu, sebagai pokok yang besar, bolehlah kita berbelaskasihan kepadanya. Sebab, dia memerlukan evolusi berbilang abad dan protein dari sel punca untuk bisa bermutasi menjadi sebuah spesies baru.

Hal yang lebih penting dilakukan adalah bikin perhelatan besar kebudayaan berjangka panjang dan berkesinambungan. Untuk itu, pemerintah pusat tidak bisa bekerja sendirian, tetapi harus bekerja sama dengan pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten, dengan melibatkan perguruan-perguruan tinggi setempat, serta menggairahkan masyarakat di setiap lokus dan situs untuk peduli dan terlibat. Karena, sesudah itu, kelak merekalah yang akan lebih banyak memetik manfaatnya.

Inventarisasi dan publikasi

Yang harus dilakukan adalah inventarisasi seluruh kekayaan budaya: sastra tulis/lisan, teater, tari, musik, kriya, arsitektur, tekstil, desain, kostum, dolanan, kuliner, upacara adat, religi, mitos, legenda, fabel, flora dan fauna, dan lain-lain. Kepada yang masih hidup, berikan energi baru (berdayakan, lahirkan kembali, pertahankan orisinalitasnya sambil ciptakan varian baru dengan warna dan kemasan baru). Untuk yang sudah punah dan terkubur, lakukan penelitian dan penggalian, petakan anatominya, tuliskan sejarahnya, lantas ciptakan replikanya, agar bisa menjadi sumber inspirasi bagi generasi baru.

Bersamaan dengan inventarisasi adalah kerja besar dokumentasi. Sesudah itu, tentu saja publikasi yang luas dengan berbagai macam moda, dalam aneka bahasa, dan memanfaatkan sebesar-besarnya teknologi internet yang begitu mudah, murah, dan meluas. Bangun sebuah situs jejaring ”Warisan Besar Budaya Indonesia” atau apa pun namanya.

Kerja selanjutnya adalah tetapkan agenda kerja ekshibisi/visualisasi: pementasan-pementasan karya orisinal dan kreasi baru, festival, lomba, pameran, seminar, loka karya, bengkel kerja dan laboratorium eksperimental, dalam skala nasional maupun internasional.

Agenda tetap dan berkelanjutan

Alangkah indahnya jika setiap daerah memiliki agenda tetap dan berkelanjutan untuk keriaan besar kebudayaan itu. Durasinya, masing-masing bisa selama seminggu atau sebulan. Sehingga, selain bisa terus-menerus berdenyut memberi penyadaran kepada masyarakat akan kuantitas dan kualitas kekayaan budayanya, juga bisa dijadikan sebagai komoditas wisata domestik dan mancanegara. Sehingga, kegiatan itu tidak hanya menjadi acara yang menghabiskan anggaran, melainkan menjadi adrenalin bagi kegiatan ekonomi yang menguntungkan dan bisa dinikmati oleh banyak sektor usaha masyarakat.

Dengan demikian, seluruh untaian mutiara di Khatulistiwa dari Sabang sampai Merauke itu akan tampak berkelap-kelip memancarkan gairah pesona masing-masing sepanjang masa.

Di Ibu Kota, hal serupa wajib diselenggarakan. Area Taman Mini Indonesia Indah bisa diubah menjadi Taman Besar Indonesia Indah. Setiap daerah/anjungan bisa secara bergilir mengadakan perhelatan selama sebulan—misalnya Festival Budaya Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dan lain-lain—dengan memanfaatkan seluruh kawasan.

Jika dipromosikan secara luas, didukung segenap lapisan masyarakat, termasuk para sponsor dan pebisnis, acara semacam itu niscaya memiliki gaung yang bersipongang ke segala arah, menumbuhkan kebanggaan, dan memperkuat jati diri bangsa.

Tak cukup hanya dengan cogito ergo sum. Tidak cukup hanya dengan mengaku dan mendaku. Hanya dengan bekerja, maka kita ada. Untuk itu, mungkin perlu dibentuk lembaga swadaya masyarakat semacam ”Lembaga Pewaris Budaya Bangsa”, yang melibatkan seluruh komponen masyarakat yang peduli dan mau bekerja untuk memajukan kebudayaan.

Jika tidak, di tubuh pemerintahan, kita sudah memiliki lebih dari cukup departemen, berikut anggaran dan jaringannya: Depdiknas, Depbudpar, Depkominfo, Depdagri, dan Deplu. Jika dalam setahun ke depan seluruh kekuatan itu masih belum mampu mengerjakan agenda besar tadi, berarti kita harus mengakui bahwa sesungguhnya kita bukanlah bangsa yang besar.

Maka, kita harus ikhlas menerima kenyataan itu, berikut seluruh pelecehannya yang akan datang. Sebab, hanya kekuatan dan kualitas kebudayaan yang bisa menentukan tinggi-rendahnya harkat dan martabat sebuah bangsa.

* Yudhistira ANM Massardi, Sastrawan; Pengelola Lembaga Pendidikan Dasar Gratis untuk Kaum Duafa di Bekasi

Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Agustus 2009