-- Rosihan Anwar
JIKA Anda punya minat pada sejarah bangsa dan tanah air sendiri, saya sarankan meluangkan waktu pergi ke Gedung Antara di Jalan Antara No 59, Pasar Baru, Jakarta Pusat. Sebab dalam rangka memperingati Proklamasi 17 Agustus 1945 kantor berita Antara menggelar sebuah pameran foto dan media cetak dari era perjuangan sampai enam bulan pertama merdeka. Tanggal 17 Februari 1946 surat kabar Merdeka menerbitkan Nomor Peringatan 6 bulan Republik Indonesia, setebal 124 halaman.
Oscar Matulah menemukan satu eksemplar dari nomor peringatan itu di Monumen Pers Nasional Solo. Empat halaman telah hilang, beberapa bagian mulai rusak, tapi sebagian besar masih utuh dan bisa dibaca. Oscar membaca dokumentasi sejarah masa dini republik ini. Banyak informasi yang pasti tidak diketahui oleh generasi sekarang. Ia terkesan oleh apiknya desain nomor peringatan, dengan isi yang menarik. Maka ia putuskan mereproduksi dan menerbitkan kembali tulisan dan foto-foto nomor peringatan lalu digelar dalam pameran yang unik serta orisinal.
Sebagai redaktur umum surat kabar Merdeka waktu itu, dalam usia 23 tahun, saya ikut mempersiapkan terbitnya Nomor Peringatan 6 bulan Republik Indonesia, sehingga dapat dimengerti bila saya membacanya kembali dengan rasa kangen atau nostalgia.
Ketiga pimpinan agung pemerintah RI, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, dan PM Sutan Sjahrir, memberikan sambutan. Para menteri dan pimpinan tentara serta polisi, gubernur, wali kota, dan wartawan menuliskan pandangan dan laporan mereka. Semua itu diperagakan di pameran Antara yang kini berlangsung.
Saya kutip beberapa bagian. Presiden Soekarno berbicara tentang serangan pihak imperialisme dan perlunya persatuan berdiri di belakang pemerintah. Matinya sistem imperialisme adalah suatu notwendigkeit. Enam bulan kita telah merdeka. Setelah enam abad, masih merdeka. Sekali merdeka tetap merdeka.
Wakil Presiden Hatta menyebutkan sejarah Indonesia dalam 6 bulan merdeka ini adalah penyelesaian proses Umwertung aller Werte. Proses yang merombak segala-galanya yang berbau penjajahan dan menetapkan sendi Republik Indonesia yang mulai ditanam pada 17 Agustus 1945. Perdana Menteri Sutan Sjahrir berbicara tentang melakukan revolusi dengan pengertian. Khusus kepada pers dia berharap pers kita hendaknya dapat bergiat dalam usaha memberikan pengertian kepada revolusi kita.
Keempat Raja Jawa juga memberikan sambutan. Pakubuwono XI dari Surakarta menyatakan: "Enam bulan berjuang. Kedudukan Republik tak dapat diguncangkan lagi". Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta berkata: "Hanya dengan kekuatan utuh, kita dapat menentang usaha kaum penjajah untuk merampas kemerdekaan kita. Dengan terlahirnya Persatuan Perjuangan nyata sekali bahwa hal itu telah diinsyafi oleh segenap rakyat Indonesia". Mangkunegoro VIII berkata: "Kita yakin bahwa perjuangan kita yang suci dan luhur itu akan dikarunia Tuhan yang Maha Esa dengan kemerdekaan yang abadi dan dengan negara yang disegani oleh seluruh dunia". Paku Alam menyatakan dukungan di belakang RI.
Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) Letjen Sudirman menulis tentang "bersiaplah menghadapi kemungkinan". Kita akui terus terang bahwa kita kurang kuat dalam persenjataan kita. Tetapi keadaan semacam itu tidak menghambat kita atau mengurangi hasrat kita untuk mempertahankan negara kita, kata Sudirman.
Mempersatukan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia R Said Soekanto Tjokrodiatmodjo menuliskan: "Polisi berkewajiban mempersatukan, menghubungkan, mendamaikan, dan melindungi, juga jika pada sesuatu saat terpaksa menjalankan kekerasan".
Sejumlah menteri kabinet Sjahrir menulis tentang bidang pekerjaannya. Di situ digambarkan kenyataan dan masalah yang aktual. Seperti Menteri Pertahanan Mr Amir Syarifuddin tentang soal pertahanan negara dan rakyat. Selanjutnya, Menteri Kesehatan Dr Darmasetiawan, Menteri Pekerjaan Umum Ir Putuhena, Menteri Agama H Rasjidi, Menteri Penerangan Mohammad Natsir.
Gubernur Jawa Timur Soerio, Gubernur Jawa Barat Mr Datuk Djamin, Wali Kota Jakarta Suwiryo menulis tentang "setiap pemimpin harus jujur" atau "kita memerlukan suatu stable government" atau "kita ada di jalan yang benar".
Banyak tulisan lain dari tokoh-tokoh penting masa itu. Antara lain dari Tan Malaka, Dr Abu Hanifah, Jaksa Agung Mr Kasman Singo Dimedjo, Dr Bahder Djohan, Mr Syafrudin Prawiranegara, dan Usmar Ismail. Kemudian wartawan Adinegoro, Parada Harahap, Manai Sophiaan, dan tentu wartawan harian Merdeka seperti BM Diah, Winarno, Rosihan Anwar, Darmawidjaja, Mohd. Supadi, Dal Basa Pulungan juga memberikan sumbangan tulisan.
Di halaman 116 terdapat sebuah karikatur tentang seorang dari sandiwara "Maya" (zaman pendudukan Jepang) sedang beraksi di pentas. Di bawah karikatur itu tertera sebuah sajak berjudul Radja Djin. Liriknya berbunyi: Aku bermain dan dipermainkan/ Raja Djin orang namakan sepasang mata di ruang hati/ memandang aku tenang menanti/ apa kubikin? Ada harapan?/ apa kubilang? Ada jawaban?/ Ah, ini tragik/ Aku tetap Rajin....
* Rosihan Anwar, wartawan senior
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 27 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment