-- Mulyawan Karim
IBAN adalah salah satu suku Dayak yang warganya hidup tersebar di daerah pedalaman bukit-bukit di Sarawak dan menjadi suku Dayak terbesar di wilayah Malaysia Timur itu. Sebagian kecil orang Iban ada juga yang tinggal di pedalaman hutan Kalimantan Barat, di sepanjang hulu Sungai Kapuas yang masih sulit dicapai dengan moda transportasi apa pun.
Dengan populasi sekitar 15.000 jiwa, Iban merupakan suku Dayak minoritas di Indonesia. Mereka mendiami kawasan perbatasan dengan 108 rumah tangga yang kebanyakan berlokasi di Dusun Sadap, Kelayam, dan Kampung Madang di hulu Sungai Batang Kanyau, salah satu anak Sungai Kapuas.
Dibandingkan dengan menjamurnya studi-studi budaya Dayak Iban di Sarawak, hanya sedikit studi yang mencatat perikehidupan Dayak Iban di Indonesia. Studi kepustakaan Dayak Iban di Indonesia hanya mungkin dilakukan di Museum Sarawak, Kuching, bukan di perpustakaan mana pun di Tanah Air. Padahal, studi ini penting dilakukan untuk melihat salah satu suku bangsa di Indonesia yang mengembangkan kedekatan kultural secara transnasional sejak awal abad ke-19.
Lebih dari itu, pola migrasi mereka sebagai peladang berpindah yang selalu melakukan kontak dengan suku-suku lain, seperti Bidayuh, Maloh, Kayan, Punan, Saben, Lun Dayeh, Tidung, dan Murut dapat menjadi bahan pelajaran bagaimana dialog antarperadaban kultural dapat terjadi dan terpelihara.
Sejarah lisan
Menurut Iwan Meulia Pirous, antropolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dalam sastra lisan suku Iban Malaysia maupun Indonesia sering disebutkan, wilayah hulu Kapuas merupakan titik episentrum dari migrasi Iban pertama ke arah utara. Lalu menuju Sungai Ulu Ai, kemudian menyebar ke sungai-sungai lain di Sarawak, seperti Saribas, Skrang, Katibas, dan Undup pada sekitar tahun 1800.
Migrasi lewat sungai berarti juga pembukaan lahan baru, pengayauan, dan penentuan daerah kekuasaan. Jadi, suku Iban yang merupakan 30 persen penduduk Sarawak secara kolektif mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Kalimantan Barat. Pola migrasi yang mengarah ke utara ini kemudian dipengaruhi oleh kedatangan Inggris di utara Kalimantan pada 1839.
James Brooke, pengusaha Inggris pensiunan tentara yang pernah bertugas gemilang di India pada 1841-1868, berhasil mengamankan Kesultanan Brunei dari gangguan suku-suku Dayak yang gemar memberontak serta menekan praktik pengayauan.
Raja Muda Hasyim (paman Sultan Brunei) menghadiahi Brooke tanah wilayah taklukan Kesultanan Brunei di sekitar Kuching untuk dikelola. Keberhasilan James Brooke membangun pelayanan masyarakat, termasuk merekrut orang-orang Eropa, membuat wilayah kekuasaannya meluas sebesar Sarawak sekarang.
Mengamankan Sarawak dari pemberontakan tentu tak mudah. Berbagai peperangan antara tentara Brooke dan pasukan Iban terjadi dan terekam lewat cerita-cerita rakyat setempat. Akhirnya, ketika Sarawak telah aman, Brooke mengangkat diri menjadi raja dan menyebut diri sebagai Raja Putih, White Rajah, dan berhasil menciptakan keteraturan dan ketertiban selama tiga generasi.
Motivasi James Brooke—yang dilanjutkan oleh Charles Brooke (1868-1917)—adalah bisnis yang mandiri dan menghindarkan Sarawak dari kapitalisme Barat. Maka, dia tidak menjadi perwakilan Kerajaan Inggris, melainkan setara dengannya.
Masih menurut Pirous, sebagai penguasa sipil, Brooke tidak merasa perlu mengontrol perbatasan antara daerah Sarawak dan Kalimantan-Belanda. Apalagi wilayah Kalimantan hanya dikuasai secara de-jure oleh Belanda, sementara pasukan tempur dan armada lautnya terkonsentrasi di Jawa. Brooke justru lebih mementingkan bagaimana dapat berpartner dengan suku-suku lokal dan mengontrol pembayaran pajak terhadapnya.
”Brooke pandai mengambil hati dengan memberikan kekuasaan kepada ketua-ketua adat dan memberikan mereka gelar-gelar lokal serta kebebasan mengatur warga serta menjamin hak-hak budaya di ruang publik, termasuk aktivitas lintas batas keluar-masuk Kalimantan-Sarawak,” ujarnya.
Namun, hegemoni ini juga ditentang oleh sekelompok Iban, yang kemudian memutuskan untuk tidak mau membayar pajak yang terlalu mahal. Mereka memilih untuk pulang ke daerah asal, yaitu anak-anak Sungai Kapuas.
Pola migrasi yang mengarah pulang—dengan menyebut-nyebut Brooke sebagai pengkhianat—yang terekam dalam sastra lisan lokal diperkirakan terjadi pada sekitar 1860. Sejarah migrasi ini masih bisa ditelusuri hingga kini, menerangkan bagaimana sistem kekerabatan transnasional adalah bagian tak terpisahkan sebagai cara untuk mengerti fenomenan perbatasan.
Menarik bahwa dalam ingatan orang Iban Indonesia di perbatasan, narasi tentang heroisme anti-Belanda tidak ada. Heroisme Iban di Indonesia lebih terbentuk lewat pengalaman historis dengan Inggris, yaitu tentang bagaimana mereka merasa bagian dari keturunan nenek moyang yang melawan penjajah, yaitu Raja Brooke dari Inggris. Juga sentimentalitasnya dalam mengingat bagaimana saudara-saudara Iban mereka di Malaysia telah berkhianat pada masa lalu karena bertahan dalam hegemoni Inggris.
Meski demikian, seperti dilukiskan dalam buku tentang Dinasti Brooke, The White Rajahs, A History of Sarawak From 1841-1946 (1960), Vyner Brooke—penerus takhta Charles Brooke yang memerintah 1917–1946—menjadi pahlawan bagi orang Iban Malaysia. Salah satu prestasi besarnya adalah memprakarsai Perjanjian Kapit tahun 1924 di Fort Sylvia agar suku-suku Iban, Kenyah, dan Kayan berhenti saling memerangi.
Pada masa itu ratusan perahu memadati sungai demi menyaksikan perjanjian yang dianggap penting. Belanda di Kalimantan tidak dapat melakukan pengumpulan massa sebanyak ini.
Inggris lebih baik?
Dave Lumenta, antropolog lain UI yang banyak mengkaji persoalan-persoalan sosial-budaya di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, menyatakan, pola kolonial Inggris dan Belanda memang menentukan bagaimana dokumentasi akademik dilakukan—termasuk untuk memahami Kalimantan.
Pihak kolonial Belanda memandang bahwa pusat daerah jajahan adalah Jawa sehingga tidak memandang perlu untuk menempatkan tenaga-tenaga administratif secara permanen di daerah-daerah yang dianggap sebagai pelosok seperti Kalimantan.
Penelitian-penelitian tentang kebudayaan Kalimantan, seperti yang dilakukan ahli bangsa Belanda, Nieuwenhuis dan Kruyt, pada awal abad ke-20, disponsori untuk kepentingan akademik universitas di negeri asal mereka. Sementara aktivitas penyebaran Kristiani, yang memberikan pelayanan dan membina kedekatan dengan masyarakat lokal, bergerak tanpa koordinasi dengan negara. Jadi, kebanyakan tenaga administrasi kolonial Belanda tidak terlatih untuk memahami realitas kultural di Kalimantan.
Charles Brooke, putra James Brooke, membangun Museum Sarawak pada tahun 1888 dengan tujuan untuk mendokumentasikan segala hal menyangkut pulau besar tersebut. Ketika wilayah Sarawak bangkrut karena invasi Jepang yang memutuskan rantai komoditas ke daerah pedalaman, maka kekuasaan swasta dinasti Brooke berakhir. Sejak 1946, wilayah Sarawak menjadi milik Kerajaan Inggris.
Namun, di tangan Inggris, yang belajar dari pengalaman keluarga Brooke serta tradisi museologi yang dibangunnya, Sarawak dibangun sebagai wilayah yang memerhatikan kebebasan kultural di ruang publik. Bahkan, hingga kini ekspresi budaya Dayak, termasuk hari libur pesta tradisional pada setiap tanggal 6 Juni, merupakan ritual tahunan Iban. Pada saat itu, banyak saudara-saudara Malaysia mereka, yang hidupnya relatif lebih baik, berkunjung ke Kapuas dengan alasan ziarah pada kerabat yang dituakan.
Daerah aliran Sungai Kapuas memang merupakan pusat sejarah di mana semua orang Iban merasa ”pulang”. Sementara itu, wilayah Sarawak lebih dianggap sebagai tempat mencari penghidupan bagi orang-orang Iban dari Indonesia yang banyak mengisi sektor konstruksi bangunan.
Sarawak adalah kawasan kosmopolitan, yang anehnya berwajah sekuler dan kultural di timur Semenanjung Melayu, wilayah Malaysia yang hingga kini lebih berwajah ”Melayu-Islam”.
Kini, di masa Indonesia maupun Malaysia telah menikmati kedaulatan masing-masing, kita bisa belajar bagaimana pola kolonial yang direproduksi dalam membangun negara-negara ini berbeda. Pola Belanda adalah menjadikan Jawa sebagai pusat peradaban, sementara daerah-daerah lain dijadikan ”Indonesia Luar” dengan ribuan pulau yang dianggap sebagai kawasan pinggiran. Sementara itu, sistem kolonial Inggris yang diadopsi Malaysia lebih membangun ke arah kemajuan budaya lokal.
Tingkat kemajuan Sarawak dibandingkan dengan Kalimantan Barat dan Timur bagaikan bumi dan langit. ”Karena itu, mungkin sudah saatnya Indonesia memikirkan bahwa masalah pembangunan perbatasan terkait dengan kebijakan-kebijakan kolonial pada masa lalu dan tidak hanya menyederhanakan menjadi isu tentang kawasan adat terpencil yang ahistoris,” kata Lumenta.
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment