JALAN berlapis koral peninggalan Korps Zeni Angkatan Laut Amerika Serikat (Seabees) masih kukuh dan menjadi tumpuan utama transportasi di Pulau Morotai. Sejak dibangun saat Perang Dunia II, jalan warisan Jenderal Douglas Mac Arthur itu baru sekali diguyur aspal oleh Pemerintah Indonesia.
Dua perempuan warga Berebere, Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara, menggendong saloi berisi kayu bakar yang dikumpulkan dari kebun, Rabu (5/8). Mereka berjalan kaki belasan kilometer untuk mengolah kebun. Kemiskinan di Morotai disebabkan infrastruktur perhubungan darat dan laut yang sangat minim. (KOMPAS/AGUNG SETYAHADI)
Seluruh jalan di sini yang membangun tentara Amerika. Orang Jakarta hanya sekali kasih aspal, itu pun sepanggal (sepotong) saja dan sekarang sudah rusak,” kata Yahya Baba (51), warga Desa Daruba, Kecamatan Morotai Selatan, Kabupaten Morotai, Provinsi Maluku Utara, 3 Agustus lalu.
Jalanan berlapis aspal tipis itu sudah berlubang di sana-sini menyingkap tatanan koral di bawahnya. Jika ada mobil atau motor yang melaju, debu putih mengepul memerihkan mata dan menyesakkan napas. Kendaraan pun sering harus zig-zag menghindari lubang-lubang menganga.
Kondisi lebih parah saat menyusuri jalan Daruba-Berebere di Morotai Utara sepanjang 90 kilometer. Jalan beraspal hanya sampai di Daeyo, sekitar 20 kilometer dari Daruba. Seterusnya jalan tanah dan perkerasan koral.
Di sepanjang perjalanan terungkap wajah kemiskinan Morotai. Ibu-ibu berjalan beriringan menggendong saloi, keranjang bambu berbentuk kerucut, berisi kayu bakar. Di atasnya ada dua-tiga sisir pisang atau ubi kayu untuk makan keluarga.
”Seperti inilah Morotai tidak banyak berubah sejak Indonesia merdeka, tetap miskin. Kami sering berpikir, kenapa dulu tidak ikut Amerika saja,” ujar Mirod Bane (34), warga Morotai.
Jaringan jalan di Pulau Morotai sebagian besar berada di Daruba. Jalan beraspal hanya sekitar 55 kilometer dan kondisinya rusak. Jalan tanah sekitar 100 kilometer yang jika hujan becek dan licin. Jalan hanya menghubungkan Daruba-Sangowo (Morotai Timur)-Berebere (Morotai Utara). Ruas jalan Berebere-Sopi (Morotai Jaya), Sopi-Wayabula (Morotai Barat), dan Wayabula-Daruba juga belum tersambung.
Saat masih menjadi bagian Kabupaten Halmahera Utara, dana dari pemerintah pusat hanya cukup untuk membangun 2 kilometer jalan aspal per tahun. Jika kondisi itu terus bertahan, paling tidak butuh 100 tahun membangun jalan lingkar Morotai sepanjang 287 kilometer.
Diperhatikan saat krisis
Kondisi infrastruktur perhubungan yang sangat minim dan menghambat pertumbuhan ekonomi itu membuat masyarakat Morotai merasa dilupakan. Morotai hanya diingat saat situasi krisis menyangkut persiapan perang.
Morotai hiruk-pikuk saat menjadi pangkalan Sekutu pada Perang Dunia II. Setelah itu giliran tentara Indonesia saat operasi penumpasan PRRI-Permesta hingga Trikora. Pulau Morotai untuk sesaat menjadi hidup oleh aktivitas militer.
”Waktu persiapan Trikora tahun 1962-1963, pesawat pengebom tempur TU-16 (Tupolev) berpangkalan di Morotai. Morotai punya tujuh landasan yang dibangun tentara Amerika sehingga sangat bermanfaat buat Republik Indonesia,” ujar Haji Madom Yaman (84), tokoh masyarakat Morotai.
Selepas hiruk-pikuk militer kehidupan pun normal dalam arti Morotai kembali dilupakan. Pemerintah seolah enggan memalingkan muka ke wilayah perbatasan Republik Indonesia-Republik Palau itu.
Bisnis kopra yang menjadi urat nadi ekonomi rakyat, misalnya, tidak pernah didorong agar terjadi diversifikasi produk, seperti minyak dara yang populer di Malaysia-Singapura, kue polvoron yang beken di Filipina, ataupun pengolahan sabut kelapa untuk jok mobil BMW dan Mercedes di Jerman.
”Setiap panen kita disuruh bayar pajak. Baru kalau ada serangan hama, petani kopra tarada (tidak) dibantu pemerintah,” kata Hajah Rohana (60), warga Daruba.
Potensi perikanan Morotai juga belum dikembangkan. Amin Bowulo (45), Kepala Desa Kenari Kecamatan Morotai Utara, mengatakan, ikan tuna dari Samudra Pasifik di timur desanya bisa mencapai ukuran ratusan kilogram. Namun, potensi itu tidak bisa dinikmati nelayan yang hanya memiliki katinting dan sampan.
Demikian pula sisa Perang Dunia II yang di Malaysia dan Singapura dikelola hingga menyedot ribuan wisatawan asing. Di Morotai jejak Perang Dunia II justru dihabisi oleh instrumen pemerintah, dikilokan menjadi besi tua.
Nasib Morotai jauh berbeda dengan pulau-pulau di sejumlah negara Pasifik Selatan. John Mamalu, warga Tobelo keturunan Sangir yang lama berkeliling di Pasifik Selatan, mengatakan, negara seperti Palau, Solomon, Papua Niugini, Tuvalu, dan Vanuatu memiliki infrastruktur lebih baik.
”Morotai jauh ketinggalan dari sisi infrastruktur dengan pulau-pulau di negara-negara Pasifik Selatan. Padahal alamnya sama-sama indah untuk wisata. Negara lain di Pasifik Selatan dibanjiri wisatawan asing setiap tahun,” ujar Mamalu.
Berharap pada pemekaran
Setelah puluhan tahun dilupakan, harapan kemajuan Morotai bersemi pascapemekaran terlepas dari Kabupaten Halmahera Utara pada akhir 2008. Pulau berpenduduk sekitar 60.000 jiwa itu ingin berlari mengatasi ketertinggalan.
”Kita berharap Morotai bisa maju seperti janji Bung Karno. Setelah Indonesia merdeka seharusnya bisa lebih baik lagi sebagai bangsa berdaulat,” tutur Haji Madom Yaman.
Asa seorang Haji Yaman beralasan, pada masa Orde Lama pun Bung Karno sudah empat kali mengunjungi Morotai. Tentu Morotai sangat strategis sehingga Bung Karno meninggalkan kenangan berupa sebuah gedung SMP pada 1952 di Daruba.
Kebanggaan sebagai bagian bangsa Indonesia identik dengan perhatian pemerintah untuk memajukan Morotai. Sudah cukup 64 tahun dilupakan, kini waktunya pemerintah membangun Morotai.
Setelah Amerika dan Jenderal Mac Arthur membangun hingga meninggalkan kenangan indah di Morotai seharusnya penguasa di Jakarta tak hanya melabur aspal di jalan yang dibangun para Seabees. (ONG/ANG)
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment