-- Hariadi Saptono
UCAPAN Bung Karno menguatkan kembali pertanyaan kita tentang kinerja negara ini selama 64 tahun merdeka: ”Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri.”
Pertanyaan kita, benarkah kita dan republik ini sebuah negara bangsa yang berdaulat dan telah memasuki gerbang negara bangsa yang kokoh dan paripurna—negeri makmur dan aman, dan berkeadilan sosial—alias gemah ripah lohjinawi tata tentrem kerta raharja?
Dalam bentuk poster yang dipajang pada gapura di salah satu kota menjelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus pekan lalu, dengan ucapannya itu jauh hari Bung Karno sudah melihat negeri ini bakal meniti buih lebih lama ketika merampungkan ”integrasi nasionalnya” dalam berbagai perspektifnya.
Ketika The Failed States Index 2009 baru-baru ini memasukkan Indonesia di dalamnya, dan Indonesia dinyatakan dalam kondisi in danger, peringatan Soekarno dan sebenarnya rakyat banyak sejak beberapa tahun terakhir adalah sebagai peringatan serius betapa situasi kita sebagai negara bangsa sangat memprihatinkan. Para perintis bangsa dan kita semua tentu tidak mau melihat Indonesia longsor sebagai failed state, negara yang gagal.
Namun, kita juga tahu, nasionalisme tidak serta-merta mekar hanya bermodal kemerdekaan, terpenuhinya hak asasi manusia, dan integrasi nasional.
Dalam konteks ini, tesis pakar politik dan sejarah Benedict R Anderson tentang syarat munculnya nasionalisme bangsa-bangsa, yang dirumuskannya sebagai imagined communities (komunitas khayal), setidaknya bagi negara berkembang seperti Indonesia menjadi lebih runyam. Belum lagi ”pekerjaan” integrasi nasional dituntaskan, nyaris semua kesadaran dan platform politik dan birokrasi negara diguncang dan ”ditarik” oleh paham internasionalisme atau globalisme serta problem global yang merata ditanggung oleh bangsa-bangsa—dipicu kemajuan pesat teknologi dan tata informasi global, dan celaka atau justru berkahnya (?)—bersifat borderless itu....
Masalah besar
Ada sejumlah catatan dan kesimpulan dari 10 hari laporan Kompas tentang ”Nasionalisme di Tapal Batas” (10-20 Agustus 2009). Ke-10 liputan meliputi wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) (10/8), Kepulauan Siberut (Sumbar) (11/8), Kepulauan Riau (12/8), Kalimantan Barat (13/8), Kalimantan Timur (14/8), Kepulauan Miangas dan Marore (Sulawesi Utara) (15/8), Maluku Utara (16/8), Perbatasan NTT- Timor Leste (18/8), Papua Selatan (19/8), serta perbatasan Papua-Papua Niugini (20/8).
Kami mencatat, sebagian besar wilayah liputan itu mengalami masalah secara gradual menyangkut kehadiran dan peran negara: dari tidak optimalnya kehadiran hingga tak berfungsinya birokrasi pusat maupun birokrasi lokal karena kurangnya teknokrat/tenaga profesional, tidak adanya koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan budget atas sejumlah masalah. Kasus Aceh, bocornya anggaran daerah, dan macetnya dinas-dinas yang dibuat tanpa subsidi dana dan dukungan ahli, dan di sisi lain munculnya friksi Gerakan Aceh Merdeka yang melahirkan senjang sosial dan ketegangan politik baru, semuanya itu adalah gambaran proses ”negara bangsa” yang belum tuntas dan masih amat jauh dari kondisi paripurna (mantap dan kuat).
Di lapangan, lemahnya kondisi infrastruktur dan berbagai prasarana dan sarana publik dari tingkat sama sekali tidak dibangun, sampai operasinya yang buruk di bawah standar, hingga kondisi terbengkalai.
Masalah minimnya infrastruktur dan fasilitas publik sumber penyebabnya karena tiadanya koordinasi, tidak jelasnya siapa yang bertanggung jawab, serta minim dan kurang strategisnya alokasi dana.
Di beberapa daerah, infrastruktur dan fasilitas publik itu tertinggal karena pemda salah menetapkan prioritas dan tidak paham investasi kunci yang mana yang seharusnya didahulukan. Sebutlah, misalnya, fasilitas sekolah dan ketersediaan guru di sejumlah daerah—kami anggap strategis karena output-nya pengembangan manusia kreatif dan mandiri (SDM) sesuai jenjang pendidikan mereka.
Pembangunan jaringan listrik, jalan raya lintas kabupaten, air bersih, rumah sakit—ini dominan kami temukan di Kalimantan, Sulawesi, NTT, dan Papua—jika prasarana-prasarana itu tersedia dengan standar minimal saja, sektor-sektor lain akan bersilang-guna mengisi sehingga peran negara yang menjamin, melindungi, dan akhirnya menyejahterakan bangsa itu riil.
”Tolonglah Pak, kami bisa dapat bantuan untuk membangun sumur-sumur pompa, balai latihan keterampilan remaja,” kata Mak Nyiam (68), pengusaha toko kelontong dan adik kandung Panglima Nayau (panglima perang suku Dayak saat berkonfrontasi dengan Malaysia), dari Desa Pelenggang, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau. Di perbatasan Kalimantan, Miangas-Marore, maupun Kepulauan Riau, rasa lapar yang dahsyat akan taraf hidup layak itu begitu kentara di lapangan. Puluhan ribu—bahkan jutaan—tenaga kerja Indonesia tak pernah jera menjadi TKI di luar negeri. Atau potret ribuan remaja perempuan—yang kurang pendidikan dan tidak ada kerja pilihan—menjadi pelayan kedai makan di sepanjang jalan pedalaman Kalimantan.... Ngeri sekali.
Catatan dari Provinsi Maluku Utara, khususnya dari Pulau Morotai, adalah gambaran penantian rakyat yang sunyi sepi sekian puluh tahun, menunggu uluran tangan negara. Sebab apa? Sebab, sampai kini, tidak pernah ada pejabat negara dari pusat—setingkat menteri saja—yang turun, melihat sendiri, merasakan, mendengar, dan kemudian membela mereka dengan menjamin dan memenuhi kebutuhan dasar mereka sebagai warga negara yang tak sekadar punya kewajiban bayar pajak dan berbagai pungutan, tetapi tak punya hak untuk sejahtera.
Rumpun problem kedua serius ialah lemahnya dan sikap anggap enteng kita (negara dan bangsa ini) akan penguatan dan pengembangan nilai-nilai dan kesadaran kebangsaan bukan lagi dengan slogan, tetapi dengan program kreatif dan produktif. Ibarat sambil menyelam minum air, tanggung jawab mengembangkan dan menjaga nation building dan character building sesungguhnya bisa diwujudkan lewat cara-cara yang bisa juga produktif dari sisi ekonomi. Tantangannya cuma satu: harus kreatif.
Pikiran liar lain yang muncul mengiringi pilihan topik ”nasionalisme di tapal batas” adalah kekhawatiran kita semua bahwa semangat nasionalisme masyarakat (baca: kebanggaan, ketergantungan, dan keterikatan pada negara) sebenarnya dalam kondisi kritis.
Sebutlah untuk wilayah NAD, Papua, dan perbatasan NTT-Timor Leste..., di sana ungkapan untuk lepas merdeka dari Republik ini bukan tabu.
Inilah mengapa tugas mengawal dan membina negara kebangsaan yang paripurna benar-benar bukan pekerjaan mudah.
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment