Thursday, August 20, 2009

[Nasionalisme di Tapal Batas] Kekerabatan Papua-Papua Niugini: Membangun Harapan Tanpa Rasa Takut

-- B Josie Susilo dan Ichwan Susanto

TIDAK selalu kunjungan dari kerabat menggembirakan. Meski tidak harus mempersiapkan banyak hal, di tengah berbagai macam keterbatasan, kunjungan tersebut tetap dirasakan merepotkan meski hanya untuk bermalam saja.

Warga asal Papua Niugini, Senin (17/8), melintasi pos perbatasan Indonesia-PNG di Skouw-Wutung seusai berbelanja kebutuhan pokok di kios-kios wilayah Indonesia. Interaksi antarwarga yang masih memiliki kesamaan suku dan bahasa. (KOMPAS/ICHWAN SUSANTO)

Tak tentu, kadang siang, bisa juga malam atau pagi hari,” kata Julce May, warga Kampung Banda, Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua. Jika datang, setidaknya Julce May akan menyiapkan tempat untuk kerabatnya yang berasal dari Boda, Papua Niugini.

Mereka datang ke Banda dengan berjalan kaki menyusuri jalan kampung dan jalan-jalan setapak yang ada di belantara sambil membawa biji cokelat dan kulit masohi. Jika hujan turun dengan deras, mereka terpaksa bermalam di hutan dengan sedikit perbekalan. Setelah dua atau tiga hari berjalan kaki, mereka tiba di Banda.

Beberapa kali Julce May menerima mereka dalam rumahnya, menyiapkan sedikit makanan dan tempat untuk bermalam. Meskipun sedikit merepotkan, kedatangan itu tetap disambut dengan tangan terbuka, apalagi kekerabatan di antara mereka tak hanya terikat oleh darah, tetapi juga pengalaman pada masa lalu.

Kisah lalu

Era tahun 1970-an hingga pertengahan dekade 1980-an adalah masa-masa berat bagi warga Banda. Konflik politik yang mengiringi penggabungan Irian Barat berimbas pada warga Banda. Kala itu aparat keamanan terus mengejar anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) hingga pelosok perbatasan.

Warga yang tinggal di Banda, tak jauh dari tapal batas, pun terpaksa pergi meninggalkan kampung mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka takut dituduh terlibat gerombolan. Dorongan untuk mempertahankan hidup itu memberanikan mereka untuk melintas jauh ke dalam wilayah negara tetangga hingga tiba di Boda, sebuah kampung yang berada di Distrik Wasenggelaka, Papua Niugini.

Tahun 1984, seorang bayi perempuan dari warga Kampung Banda, Distrik Waris, Kabupaten Keerom, lahir dalam pelarian orangtuanya di Kampung Boda, Wasenggelaka, di Vanimo, Papua Niugini. Saat itu kedua orangtuanya bersama seluruh warga Banda menghindari operasi militer Indonesia di daerah itu. ”Saat itu ibu saya pergi dalam keadaan hamil dan saya dilahirkan dalam pengungsian. Baru sekitar tahun 1985 awal kami pulang bersama orangtua ke Waris, kembali ke kampung halaman,” kata Julce May mengisahkan pelarian orangtua dan kelahirannya.

Julce atau biasa dipanggil Mama Leo merupakan satu dari banyak keluarga yang pernah hijrah ke kampung seberang di Papua Niugini sebagai akibat konflik militer di Waris. Saat itu tentara beroperasi di kampung-kampung untuk memburu orang-orang yang diduga terlibat gerakan OPM.

Dalam pelarian, mereka ditampung oleh warga Boda yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kebanyakan warga Waris yang berasal dari Suku Walsa dan Pormanggan.

Karena itulah, warga Waris seperti halnya Julce May dengan tangan terbuka selalu menerima kehadiran warga Boda bermalam di Waris. ”Lagi pula mereka toh tidak buat apa-apa selain menjual cokelat dan kulit masohi,” kata Julce.

Namun, pengalaman masa lalu itu pula yang membuat warga Waris hingga saat ini akrab dengan kehadiran aparat keamanan, seperti polisi, tentara, dan pasukan khusus.

Pada satu masa, kehadiran pasukan itu dirasakan intimidatif. Mereka kerap datang ke rumah-rumah warga menanyakan siapa yang pernah terlibat dalam OPM atau memiliki kerabat yang menjadi anggota OPM, menyimpan senjata atau apa pun yang terkait dengan OPM.

Banyaknya warga yang melintasi perbatasan diduga menjadi salah satu alasannya. Apalagi hingga saat ini wilayah di kawasan Keerom dan sekitarnya masih dianggap sebagai wilayah rawan kehadiran anggota OPM. Terakhir, pada paruh akhir Juli lalu, beberapa anggota OPM yang dipimpin Lambert Peukikir muncul di Wembi, tak jauh dari Banda.

Cap sebagai sarang OPM pun makin sulit dihilangkan. Pater Jhon Djonga Pr yang pernah bertugas di Banda mengatakan, stigmatisasi itu membuat warga di Waris sulit berkembang dan maju, ada suasana kecurigaan. Hal senada juga diungkapkan oleh Pater Silas Wayan SVD yang saat ini bekerja di Banda.

”Pertama kali saya datang dan bertemu umat, mereka marah ketika saya tanyakan nama dan apa pekerjaan mereka,” kata Silas Wayan.

Pergerakan roda pembangunan menjadi lambat di Banda. Meskipun fasilitas fisik pelayanan publik, seperti puskesmas dan sekolah, telah didirikan di wilayah itu, gerak pembangunan dan pendampingan masyarakat berjalan pelan. Hal itu ditandai dengan masih kuatnya kepercayaan warga pada praktik-praktik ilmu hitam yang biasa disebut sinas.

”Meski ada dokter di puskesmas, mereka sering lebih percaya pada orang-orang tua untuk berobat. Karena warga percaya, sakit mereka dibuat oleh lain, jadi ada saling curiga,” kata Julce May.

Sikap atau kecenderungan itu menjadi salah satu lahan subur bagi tumbuhnya rasa curiga yang disebabkan oleh faktor lain, seperti politik. Sebaliknya, pelayanan publik yang diharapkan dapat meminimalkan rasa curiga itu, bahkan menghilangkannya, tampak tidak optimal dilaksanakan.

Guru tidak banyak hadir mendampingi anak-anak, kantor pemerintahan seperti Imigrasi kosong. Yang lebih banyak tampak ada di tengah-tengah warga adalah anggota TNI yang bertugas mengawasi perbatasan. Pos-pos pengamanan itu didirikan di kampung-kampung. Hal yang sebenarnya wajar terjadi di perbatasan.

Namun, dengan situasi batin dan pengalaman sejarah masa lalu, ada perasaan lain bergelayut dalam benak warga. Warga, sebagaimana diungkapkan oleh Julce May, berharap kehadiran pemerintah lebih tampak dalam bentuk-bentuk pelayanan publik yang lebih optimal.

Apalagi saat ini relasi kedua kampung itu tidak hanya sebatas relasi kekerabatan. Sejak warga Banda dan Waris kembali ke kampung halamannya di Banda dan Waris yang terletak sekitar satu jam perjalanan melalui jalan setapak menuju wilayah PNG di Kampung Boda, relasi itu terus berkembang pada relasi perdagangan yang saling menguntungkan.

Warga dari Kampung Boda kerap menjual hasil kebun dan hutan, seperti cokelat dan kayu masohi, kepada warga Banda. Setelah mendapatkan uang, warga Boda biasanya membelanjakannya di kios-kios Kampung Banda. Kalau hasil jualannya banyak, warga asing itu tak segan melancong ke Jayapura yang berjarak 150 kilometer. Mereka berbelanja berbagai kebutuhan pokok di Pasar Youtefa.

Sayangnya lalu lintas warga di perbatasan ini kerap tidak terpantau oleh petugas imigrasi karena Kantor Imigrasi di Kampung Banda kerap tutup karena ketidakhadiran petugas.

Warga Kampung Banda berharap pemerintah tegas dalam menjaga lalu lintas perbatasan karena keluarga yang datang dari Boda kerap datang sesukanya selama berhari-hari.

Kepala Polresta Jayapura Ajun Komisaris Besar Robert Djoenso mengakui, banyak warga negara tetangga yang berkeliaran hingga ke Kota Jayapura secara bebas. Robert khawatir mereka bertujuan buruk mengedarkan ganja dan senjata api ke Papua.

Kepala Imigrasi Kelas I Jayapura Surya Pranata pun mengakui di Jayapura terdapat banyak warga PNG masuk secara ilegal. Penyebabnya karena sangat banyak ”jalan-jalan tikus” di perbatasan kedua negara.

Belum lagi jalur laut yang juga terbuka. Pekan lalu, Polresta dan Imigrasi menangkap 17 warga PNG yang masuk diam-diam lewat jalur laut.

Surya mengakui kedisiplinan petugas di pos-pos dan Kantor Imigrasi di distrik-distrik perbatasan sangat kurang. Kondisi ini menyebabkan lalu lintas warga asing tidak terpantau.

Sumber: Kompas, Kamis, 20 Agustus 2009

No comments: