-- Hikmat Gumelar*
DI lantai pentas setengah lingkaran, lampu-lampu neon menyala menerangi beragam garis putih membentuk gambar posisi tubuh seperti bekas identifikasi korban di tempat kejadian peristiwa. Cahaya lampu neon itu juga menerangi beberapa hanger yang dibawa masuk beberapa lelaki bercelana panjang dan berbaju hitam. Di situ, di sudut kiri depan panggung beratap langit itu, berdiri seorang lelaki bersepatu hitam, bercelana pendek hitam, berkaus oblong hitam dan berompi putih. Lelaki yang memanggil dirinya "Jon" ini menggerakkan tubuh ke arah etalase. Ia mengendus sepatu warna cokelat.
Begitulah salah satu adegan "Interupsi Jambal Roti", teater yang naskahnya ditulis dan disutradarai Benny Yohanes. Pertunjukan yang berlangsung Jumat, 7 Agustus 2009, di Amphi Teater Selasar Sunaryo. "Interupsi Jambal Roti" oleh Benjon, nama panggilan Benny Yohanes, ditulis sebagai naskah yang terdiri dari tiga teks. Protagonis pada teks pertama bernama Jon, pada teks kedua dan ketiga bernama Cogito. Namun, kedua tokoh tersebut dimainkan aktor yang sama, Benjon. Keduanya pun kerap melontar kata bermakna tak jauh beda.
Pada teks kedua misalnya, Cogito melontar, "saat kekuatan hasrat mampu menghidupkan sang lingga, manusia akan mencapai kenikmatan metafisik, masuk ke dalam ruang nonpengetahuan, ruang kehendak, antinirwana, tapi elegan secara estetik. Inilah langit untuk seorang penemu." Tak lama sesudahnya, Cogito lantang berkata, "seni termurni adalah petualangan hasrat."
Dari situ, hemat saya, berteater bagi Benjon adalah melakukan petualangan hasrat. Akan tetapi, hasrat apa gerangan yang diperlihatkan "Interupsi Jambal Roti"? Pertunjukan ini terasa benar menempatkan konsumerisme sebagai seteru. Konsumerisme diletakkan sebagai penyakit yang mewabah di Indonesia. Penyakit ini merasuki pelbagai bidang, tak terkecuali dengan teater. Teater pun jelas diajukan sebagai bangunan yang tiang-tiangnya digerogoti konsumerisme. Praktis, teater bukan bergerak mendepak konsumerisme, melainkan malah terjerembab jadi agennya. Maka "Interupsi Jambal Roti" bukan saja berhasrat menyapu konsumerisme. Tetapi pun membuat teater jadi bahasa baru yang dengannya teater tumbuh kembali jadi alternatif, jadi salah satu sumber pemerdekaan (dari konsumerisme).
Adapun bahasa baru yang dibangun Benjon adalah mengoptimalkan produksi kata, gambar, bentuk, gerak, cahaya, dan suara. Untuk memproduksi suara, misalnya, Benjon sampai memakai suara knalpot sejumlah motor yang sengaja dibawanya ke pinggir panggung. Akan tetapi, Benjon tetap terasa sebagai seorang yang yakin benar pada kekuatan kata sebagai alat penyampai gagasan. Dia juga tampak yakin akan kemampuan dirinya mengolah kata sebagai alat pengangkut penalaran. Memang dialog-dialog "Interupsi Jambal Roti" memperlihatkan tingginya ketrampilan Benjon mengolah kata, misalnya, mentransformasikan kelas kata sehingga banyak kata jadi mengalami defamiliarisasi. Cara ini memungkinkan kata kembali berdaya, atau memungkinkan kata bertambah dayanya dalam memaknai dunia. Benjon juga cerdik memelesetkan ungkapan-ungkapan populer. Misalnya, neolib, daerahku yang akan datang. Kita tahu ini plesetan dari satu baris puisi Chairil Anwar: Di Karet, di karet, daerahku yang akan datang. Atau "Mensana in corpore sano" yang dipelesetkannya jadi "di dalam daging sehat, jiwa selalu sesat". Plesetan demikian memang sebagian berhasil memancing gelak penonton. Tetapi sebagian besar tak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini mungkin karena "Interupsi Jambal Roti" memfungsikan tubuh, gerak, cahaya, rupa, bentuk, dan suara lebih sebagai tumpuan kata-kata yang bertugas sebagai penyampai arti. Dan cara bagaimana kata menjalankan tugas tersebut pun sebagiannya dicapai dengan cara merangkai yang tidak biasa, untuk tidak mengatakan rumit.
Para aktor, kecuali Benjon, seperti tak begitu memahami dasar dan tujuan pertunjukan "Interupsi Jambal Roti", serta perannya masing-masing. Mereka seperti hanya menjalankan perintah. Akan tetapi, sebagai sutradara, Benjon berhasil menjadikan mereka sebagai pemungkin pergantian adegan jadi peristiwa yang segar dan tak terlalu membuat perhatian penonton mengabur. Sebagai aktor, Benjon tampak bersiap benar. Sampai akhir, staminanya tetap terjaga. Berbagai dialek yang dimainkannya selamat dari jebakan streotip. Hal ini mengesankan adanya riset dan latihan yang mendalam dan tekun yang melandasi pemeranannya. Tetapi tubuh Benjon rasanya tak banyak bersalin. Tubuhnya masih kerap tampak sebagai tubuhnya dalam keseharian. Caranya bergerak sebagian mengingatkan pada cara bergerak aktor-aktor "Teater Sae".
Tetapi, tubuh bukan tumpuan utama "Interupsi Jambal Roti". Pertunjukan yang merupakan respons atas "Cogito Interuptus", lukisan karya Diyanto ini, seperti telah disinggung, berusaha membangun dirinya dengan menyatukan sejumlah elemen dalam posisi yang setara. Dengan ini, "Interupsi Jambal Roti" juga merobohkan batas serius dan main-main, menjadikan keduanya membaur. Penyatuan pelbagai elemen memang terasa belum kompak benar. Namun, apa yang tersaji di Selasar Sunaryo itu telah memperlihatkan beberapa kemungkinan bagi teater, baik untuk berkolaborasi dengan seni lain maupun untuk jadi satu kekuatan kultural yang memerdekakan. Inilah, agaknya, salah satu hal yang membuat para penonton bertahan hingga "Interupsi Jambal Roti" usai.***
* Hikmat Gumelar, peminat teater.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment