Friday, August 28, 2009

Kekuatan Mencomot Malaysia

-- Denny Ardiansyah*

SENIN (24-08), Discovey Channel resmi mencabut tayangan iklan pariwisata Malaysia. Walau demikian, iklan berdurasi satu menit yang menampilkan tari pendet itu tetap menyisakan sisi problematik nan krusial bagi bangsa Indonesia.

Bukan satu kali ini saja Malaysia mencomot pernik kebudayaan khas Indonesia. Malaysia pun pernah memakai tanpa izin lagu Rasa Sayange untuk mempromosikan pariwisata mereka dan mengklaim reog sebagai produk kebudayaan Malaysia. Bahkan, iklan pariwisata bertajuk Enigmatic Malaysia bikinan Dicovery Channel yang kini menuai kontroversi itu tak hanya memuat tari pendet, tapi menampilkan pula tarian khas suku Dayak (Viva News, [24-08]).

Tindakan Malaysia yang berulang kali mencomot produk kebudayaan khas Indonesia tentu akan berimbas pada hubungan kedua negara. Hubungan Indonesia-Malaysia tak akan berjalan harmonis dan sangat mungkin akan menyebar pada ranah ekonomi dan politik. Hal ini pastilah kontraproduktif untuk kawasan Asia Tenggara.

Apalagi pada tahun 2009, agaknya pemberitaan media massa Indonesia tentang Malaysia sangatlah kurang baik. Kita tentu masih ingat berita kasus Manohara dengan Putra Mahkota Kerajaan Kelantan dan warta tentang kapal perang Malaysia yang sering menerobos perbatasan Indonesia.

Beberapa bulan lalu, Panglima Angkatan Laut Malaysia menyampaikan permintaan maaf atas ulah kapal perang mereka yang menerobos perbatasan Indonesia. Ini adalah bukti bahwa negara Indonesia masih memiliki harga diri dan pengaruh yang sangat diperhitungkan oleh negara lain. Pada kasus iklan pariwisata yang mencomot tari pendet, kita pun layak untuk menuntut permintaan maaf dari Pemerintah Malaysia.

Bagi masyarakat Bali, tari pendet adalah tarian sakral karena diperuntukkan bagi para dewa hingga hanya bisa dipertunjukkan di pura. Beruntunglah ada sosok Wayan Rindi yang menggubah tari pendet untuk menjadi tarian penyambutan para tamu. Secara umum, siapa pun yang melihat pertunjukan tari pendet tidak akan ragu bahwa tarian itu adalah milik masyarakat Bali. Maka, Pemerintah Indonesia harus teguh menuntut permintaan maaf dari Pemerintah Malaysia. Pencabutan tayangan iklan Enigmatic Malaysia dari Discovery Channel seharusnya tak membuat Pemerintah Indonesia puas dalam kasus tersebut.

Memang, sangat ironis jika kita melakukan introspeksi terhadap bangsa Indonesia yang makin hari kian mengunggulkan produk kebudayaan asing ketimbang barang bikinan kebudayaan "rumah sendiri". Namun, ketika negara lain mencomot produk kebudayaan kita, bangsa Indonesia bagai "kebakaran jenggot".

Kalau kita mencermati, tindakan pencomotan produk kebudayaan khas Indonesia oleh Malaysia memiliki kekuatan tersendiri, yakni "kekuatan pengingat". Tindakan mereka mengingatkan kita bahwa Indonesia masih memiliki begitu banyak produk kebudayaan yang tak merasakan pelestarian secara wajar hingga produk kebudayaan itu bagai sekarat.

Pelaku seni tradisional banyak yang hidup jauh dari kelayakan. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemerintah agak seret dana untuk menampilkan, memelihara, dan mengeksplorasi seni-tradisi. Bahkan, kabar buruk berupa raibnya benda-benda peninggalan masa lalu kerap menyeruak dari museum Indonesia. Hal ini berbanding terbalik dengan mal, diskotek, dan kafe yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Penetrasi kebudayaan asing lainnya pun yang kian menancap di masyarakat kita lewat siaran televisi.

Kebudayaan memang bukan sekadar produk semata, tapi seperti diyakini Peter Berger, turut pula mencakup hal-hal yang tak tampak, misal semangat dan cita-cita. Namun, bagaimana dapat menjaga api semangat kebudayaan jika masyarakat kita justru tak lagi menghargai produk kebudayaan sendiri? Maka, menjaga produk kebudayaan berarti turut pula menghidupkan terus nafas kebudayaan khas tiap subkultur di Indonesia.

Inilah tugas utama yang harus diemban oleh pemerintah sebagai pemelihara kehidupan berbangsa. Menjaga kelestarian senitradisi agar terus hidup dan tumbuh di "rumah sendiri" lebih baik daripada baru ribut ketika negara lain mencomot atau mengklaim seni-tradisi tersebut. Maka, usul beberapa kalangan untuk membuat katalog seni-tradisi Indonesia harus dilaksanakan oleh pemerintah. Logikanya, sebuah barang harus kita akui sebagai milik kita melalui bukti tertulis agar dapat mengatakan orang lain sebagai maling ketika mengenakan barang itu tanpa izin.

Hari ini, kita harus mendata dan melestarikan seni tradisi yang merupakan milik bangsa Indonesia. Akan lebih baik jika mampu mengkreasikan/melahirkan kesenian baru seperti dilakukan oleh Wayan Rindi terhadap tari pendet. Jika perlakuan khusus kita berikan kepada seni-tradisi khas Indonesia secara terus-menerus, tentu saja negara lain akan berpikir ribuan kali ketika akan mencomotnya.

Tantangan ke depan, sebagai imbas dari mekanisme pasar bebas, tentu saja akan menyebabkan produk kebudayaan khas Indonesia kian mudah dicomot oleh negeri jiran jika tak dijaga oleh kita. Pelaku pencomotan sangat mungkin bukan hanya Malaysia, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, jiran memiliki arti tetangga/memiliki rumah berdekatan. Oleh sebab itu, bisa jadi Australia, Singapura, Thailand, dan negara-negara lain yang berjiran dengan Indonesia. Dus, jagalah buah yang ada di pohon mangga di halaman rumah kita agar jiran tak kuasa mengambilnya!

* Denny Ardiansyah, Penekun sosiologi kebudayaan, alumnus Universitas Jember

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 29 Agustus 2009

No comments: