-- Mahdi Muhammad dan Sidik Pramono
PADA masa lalu, kebebasan untuk keluar rumah dan melakukan kegiatan—baik siang maupun malam hari—menjadi sangat mahal harganya di Aceh. ”Saya tidak ingin seperti itu lagi. Pergi ke meunasah saja susah,” kata Nyak-nyak (63), warga Deyah Glumpang, Meuraxa, Banda Aceh.
Setelah puluhan tahun terbelit konflik berkepanjangan, semuanya berubah sejak empat tahun silam. Sejak nota kesepahaman damai antara Pemerintah Indonesia dan perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ditandatangani di Helsinki, Finlandia, perubahan paling mencolok yang mudah didapati adalah kebebasan yang dirasakan masyarakat.
”Dulu, menjelang maghrib, orang sudah di rumah. Tidak ada yang berani keluar,” kata Paul (21), warga Aceh Selatan.
Perang kemerdekaan melawan Belanda disambung pasang surut hubungan dengan pemerintah pusat amat lekat dalam sejarah Aceh. GAM yang dideklarasikan pada 1976, disambung operasi militer, menyurutkan kemajuan Aceh yang pernah berjaya pada masa lalu. Ketika kemudian bencana gempa dan tsunami pada akhir 2004 menghantam Aceh, seolah ada berkah di balik musibah.
Menurut Juha Christensen, tangan kanan Martti Ahtisaari yang merupakan mediator perundingan damai, keinginan damai dari kedua belah pihak, ditambah lagi opsi merdeka yang hilang dari pimpinan GAM di Swedia, dan katalisator kondisi masyarakat Aceh yang baru saja dilanda gempa dan tsunami, membuat perundingan semakin cepat dilakukan. Tentunya, ada masa transisi yang akan memakan waktu 4-5 tahun.
Keseluruhan proses transisi baru akan tuntas sekitar 20 tahun dan semua itu harus terus dikawal agar berjalan pada jalur yang benar. Apa pun, Aceh telah berjalan menyambut perubahannya.
Makna perdamaian
Saat peringatan empat tahun Nota Kesepahaman Helsinki di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, Sabtu (15/8), Sabri Badrudin, seorang aktivis pemuda, mengingatkan, perdamaian Aceh tidak bermakna kalau hanya diperuntukkan bagi kelompok tertentu. Perdamaian di Aceh harus dimiliki dan dirasakan seluruh masyarakat Aceh dan orang yang tinggal di Aceh.
Namun, di luar kebebasan itu, menurut Paul yang mantan mahasiswa Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, tidak banyak yang berubah di kampung halamannya. Mayoritas petani penanam nilam masih merasakan dampak anjloknya harga minyak nilam di pasaran.
”Padahal, saat kampanye beberapa waktu lalu, calon pemimpin daerah menyatakan akan memprioritaskan perbaikan dan menjaga stabilitas harga minyak nilam. Tapi, sampai sekarang, tidak ada realisasinya,” kata Paul.
Hal senada dikatakan T Nur Syafarie, warga Sabang. Syafarie mengatakan, belum ada tanda-tanda perbaikan perekonomian yang signifikan di Aceh, yang sekarang sudah dipimpin putra asli Aceh. Hal yang digembar-gemborkan saat kampanye masih belum mewujud.
”Yang terjadi hanya kelompok-kelompok kecil yang merasakan ada perbaikan ekonomi. Tidak banyak yang merasakan. Bahkan sesama mereka juga sekarang berkelahi sendiri-sendiri, berebut proyek,” kata Syafarie.
Dalam buku Beranda Perdamaian—Aceh Tiga Tahun Pasca-MoU Helsinki, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Tri Ratnawati, menyatakan, bekas anggota GAM yang tergabung dalam Kelompok Peralihan Aceh (KPA) terlibat sangat erat dalam setiap pengambilan keputusan dan jalannya pemerintahan.
KPA menjadi pemerintahan bayangan di tingkat lokal. Jaringan patronase sebagai akibat dari banyaknya calon dari GAM yang menang dalam pilkada telah memudahkan anggota kelompok tersebut mendapatkan pekerjaan atau proyek dan kontrak.
Perilaku elite GAM saat ini banyak yang mengecewakan rakyat Aceh, seolah seperti mengganti elite lama yang korup dengan elite baru yang korup. Pada satu pihak, banyak elite GAM yang kaya mendadak karena menguasai dana dan proyek. Namun, di pihak lain banyak pula bekas anggota GAM yang tidak disantuni pemerintah ataupun para mantan petinggi GAM sehingga menjadi penganggur dan kadang memaksa mereka melakukan tindak kejahatan.
Antropolog Universitas Malikul Saleh, Lhokseumawe, Teuku Kemal Pasya, menyebutkan, tempat penting yang dimiliki eks GAM pascapilkada dan Pemilu 2009 tidak sebangun dengan harapan perbaikan ekonomi dan politik di Aceh. Bagi rakyat Aceh, momen politik memang memberikan kesempatan, tapi tugas utama adalah memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Problem kesenjangan antardaerah juga telah muncul. Dalam satu surat kabar lokal, Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman menyebut, pemerintahan Aceh saat ini lebih mengutamakan pembangunan di pantai timur dibandingkan pantai barat dan pantai selatan Aceh.
Salah satu bukti yang diusung Azhar, yang juga mantan petinggi GAM, pembangunan jalan di pantai barat dan selatan, terutama di wilayah Aceh Jaya, yang belum selesai sampai saat ini. Pernyataan ini juga didukung Kaukus Pantai Barat Selatan, kelompok cendekiawan dan pengusaha yang berasal dari wilayah tersebut.
Namun, Gubernur Irwandi Yusuf—lewat media yang sama— langsung menampik tudingan tersebut. Menurut Irwandi, pembangunan dan kemajuan masyarakat Aceh tidak bisa diselesaikan dalam waktu sekejap. Mengubah Aceh tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Data Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menunjukkan, anggaran pendapatan dan belanja daerah antarkabupaten/kota untuk tahun anggaran 2008/2009 tidak jauh berbeda. ”Kalau dibilang tidak memerhatikan atau diskriminatif, tidak mungkin. Anggarannya hampir berimbang,” tutur Kepala Sub-Bagian Program Bappeda NAD T Aznal Zahri.
Lampu kuning
Bagi Kemal Pasya, kondisi Aceh saat ini sedang berada dalam posisi lampu kuning. Tahapan-tahapan menuju proses perdamaian sebagai syarat formal sudah terpenuhi.
Proses selanjutnya juga akan menentukan. Sejak keberhasilan Partai Aceh merebut suara signifikan pada pemilu lalu, sebenarnya proses transisi dari konflik menuju demokrasi telah dinyatakan berakhir secara normatif. Namun, problem masih menumpuk mengingat Partai Aceh baru pertama kali menggeluti dunia parlemen sehingga tidak bisa ditaruh ekspektasi terlampau tinggi.
Kemal menyebutkan sejumlah masalah potensial dalam perjalanan Aceh ke depan, misalnya soal konflik internal di tubuh Komite Peralihan Aceh (KPA) dan Partai Aceh terkait dengan pembagian kekuasaan di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Friksi bukan hanya terjadi di lingkup internal KPA, tetapi juga pada kelompok yang selama ini dianggap seiring dan sejalan memperjuangkan Aceh. Juga masih ada sisa konflik antara KPA dan milisi yang ada di wilayah tengah Aceh, yaitu Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah.
Hal itu masih menjadi bahaya laten yang bisa meletup sewaktu-waktu. Kondisi itu berpadu dengan semakin menurunnya kondisi perekonomian dan juga kinerja dinas-dinas yang belum optimal.
Pola relasi dengan pemerintah pusat di Jakarta pun belum membaik. Terutama karena ada agenda untuk mengusulkan perubahan UU No 11/2006 mengenai Pemerintahan Aceh secepat-cepatnya. Wacana itu bisa saja dianggap pihak Jakarta sebagai keinginan menuju self-government, pemerintahan mandiri yang lebih luas fungsinya daripada otonomi khusus.
Namun, menurut Kemal, saat ini isu merdeka semakin tidak populer di kalangan KPA, apalagi mengingat situasi penting yang telah dipegang KPA melalui wakil-wakilnya di pemerintahan daerah.
Akan tetapi, adanya komunitas GAM yang tidak berada di jantung kekuasaan bisa saja akan mengambil momentum ketidaksejahteraan rakyat, lantaran ketidakberhasilan pemerintah daerah mengimplementasikan program ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, pun menilai isu merdeka terpisah dari Indonesia tidak relevan lagi. Masuknya bekas anggota GAM dalam parlemen ataupun sebagai kepala daerah adalah bentuk pengakuan terhadap konstitusi Republik Indonesia.
Kini mereka justru ditantang membuktikan kemampuannya mengelola pemerintahan dan menggerakkan roda pembangunan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh. Terlebih dengan kemenangan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono saat Pemilu Presiden 2009 dengan pencapaian 93 persen suara di Aceh. ”Meneriakkan kembali isu merdeka sama seperti pepatah ’senjata makan tuan’,” sebut Nasir.
Bagi rakyat Aceh, masa kejayaan Iskandar Muda senantiasa menjadi bayang-bayang yang ingin dikembalikan. Kala itu, Kerajaan Aceh menguasai sebagian wilayah Pulau Sumatera hingga sampai ke Kampar, Riau, dan wilayah Tanah Semenanjung. Namun, tetap saja masa kejayaan itu menyisakan kelemahan.
Merujuk buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Denys Lombard yang mengutip catatan perjalanan pelaut Perancis, Augustin de Beaulieu, menyatakan, ”Pelaut-pelaut berjiwa petani, yang datang dari Eropa yang masih mengandalkan pertanian, kesal melihat tanah-tanah itu tidak digarap atau kurang baik dan kurang banyak diolah. Yang mereka tanam hanyalah padi dan hanya sedikit sayuran. Daerah ibu kotanya tidak cukup pertaniannya untuk memberi makan kepada penduduknya sehingga sebagian besar berasnya datang dari luar.”
Jadi, akankah orang Aceh selalu bergantung (dan ”dibuat tergantung”) pada pihak luar?
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment