-- An. Ismanto
BARU-BARU ini, Google berencana menciptakan arsip digital raksasa dengan memindai jutaan buku di Amerika Serikat (AS). Raksasa internet tersebut telah mengajukan tawaran untuk membayar royalti bagi para penulis dan penerbit yang buku-bukunya akan dipindai. Penulis dan penerbit AS punya waktu untuk memikirkan tawaran tersebut hingga 4 September 2009.
Menurut juru bicara Google, proyek itu adalah salah satu bagian terpenting dalam upaya Google mengorganisasikan informasi dunia. Google didasari prinsip menjadikan informasi semakin mudah diakses oleh lebih banyak orang. Sejak awal, Google memiliki visi tentang masa depan, ketika para pelajar, peneliti, dan pencinta buku dapat memperoleh dan mengakses buku-buku di seluruh dunia secara online.
Langkah pertama dijalankan lima tahun silam, yaitu meluncurkan Google books search. Langkah awal itu meliputi pemindaian buku-buku yang tidak diterbitkan lagi, yang sebagian besar berasal dari perpustakaan dan penerbit di AS. Salah satu perpustakaan ternama yang telah bekerja sama dengan Google adalah Bodleian Library di Oxford.
Tahun lalu, sebenarnya terjadi kesepakatan yang kompleks antara Google dan Authors Guild (serikat pengarang) dan para penerbit yang menjadi anggota Association of American Publishers. Kesepakatan itu, antara lain, menetapkan, para pengarang buku yang dipindai akan memperoleh 63 persen dari hasil penjualan buku digital dan pemasukan lain. Sementara itu, Google bakal menerima 37 persen bagian.
Namun, para penulis dan penerbit yang disasar Google tidak satu suara dalam menanggapi tawaran itu. Hanya sebagian yang menerima, sementara yang lain menolak, bahkan menentang kelanjutan proyek tersebut. Kini, baik pendukung maupun penentang berhadapan di Pengadilan Southern District, New York, AS. Pengadilan baru memberikan keputusan Oktober nanti untuk memastikan kesepakatan yang dibuat tahun lalu memang adil atau tidak. Selain itu, pengadilan bakal menyelidiki rencana Google tersebut melanggar hukum persaingan dagang (competition law) atau tidak.
Berdasar hukum class action di AS, para pengarang yang tidak ikut bertanda tangan tahun lalu tetap diwajibkan untuk menyetujui kesepakatan tersebut. Para penentang beralasan bahwa ketentuan itu memungkinkan Google untuk memonopoli secara besar-besaran buku-buku yang tak diterbitkan lagi maupun yang masih beredar. Seorang pengacara spesialis class action di Washington juga menyatakan, dengan hukum itu, para pengarang dipaksa menyetujui kesepakatan tanpa memahami implikasinya.
Google belum memberikan informasi apakah proyek tersebut juga akan dilaksanakan di Indonesia dan negara-negara lain. Namun, kita tahu bahwa proyek awal Google books search telah diterapkan di Indonesia. Kita dapat mengakses secara gratis buku-buku yang sudah dipindai Google walaupun tidak bisa membaca secara utuh.
Selama ini, jika membuka Google books search, kita mendapatkan tiga pilihan layanan (baik di google.com maupun google.co.id), yaitu all books (semua buku), limited preview and full preview, serta full preview only (tampilan utuh saja). Namun, tiga layanan tersebut tidak menampilkan konten buku secara utuh. Untuk membaca keseluruhan buku, kita tetap harus membeli melalui pemesanan di berbagai toko buku online atau secara konvensional di toko-toko buku. Walaupun demikian, sedikit maupun banyak para peselancar tentu telah dapat memetik manfaat layanan itu.
Namun, karena buku juga merupakan suatu industri, kita harus dapat memandang secara adil proyek lanjutan Google books search tersebut. Berdasar kacamata penerbit, tentu rencana Google itu merupakan sebuah terobosan yang akan menghadirkan jenis tantangan yang belum pernah ada di bidang pemasaran. Misalnya, jika disepakati bahwa persentase bagi hasil adalah 63 persen untuk penulis dan 37 persen untuk Google, di mana posisi penerbit sebagai entitas ekonomi yang mencari laba?
Sementara itu, dari sisi penulis, rencana tersebut menimbulkan situasi yang rumit. Para penulis di Indonesia belum memiliki perkumpulan penulis yang berkekuatan hukum seperti Authors Guild di AS yang mewakili kepentingan kelas penulis ketika berhadapan dengan pihak-pihak lain. Sehingga, kita sering mendapati kasus penulis harus sepenuhnya tunduk kepada penerbit tanpa memiliki daya tawar dan pembelaan yang cukup kuat dari rekan-rekan sesama profesi jika terjadi konflik.
Maka, seandainya Google memang menerapkan rencana itu di Indonesia, mungkin visi menjadikan informasi semakin mudah diakses lebih banyak orang akan terhambat oleh masalah pertama, yakni siapa yang akan diajak berunding? Tentu pihak tersebut harus memiliki legitimasi hukum dan kultural yang kuat sehingga sah ketika menyatakan diri sebagai wakil para penulis di Indonesia. Masalahnya, perkumpulan penulis yang ada sekarang merupakan perkumpulan yang bersifat peguyuban dan disatukan oleh solidaritas dan etika, bukan legal-formal yang memiliki wewenang serta hak untuk bertindak secara sah menurut hukum.
Dari sisi perusahaan penerbit, mungkin persoalannya lebih mudah karena di Indonesia telah terbentuk beberapa persatuan penerbit yang cukup solid, seperti Ikapi. Keputusan mereka tentu lebih mudah dikoordinasikan. Walaupun demikian, jika yang ditawarkan oleh Google adalah 63:37 persen seperti yang ada di AS, penerbit harus memastikan diri memang tercakup dalam skema tersebut. Pasalnya, bila kesepakatan hanya terjalin antara Google dan penulis, berarti fungsi penerbit yang memiliki kewajiban untuk membayar royalti penulis dan hak untuk memperoleh keuntungan dari penjualan buku diambil alih oleh Google. Jika demikian, penerbit harus tutup buku.
Yang harus diingat, pengguna internet di Indonesia semakin hari semakin meningkat dan sarana koneksi kian mudah diakses. Situasi itu tentu berpengaruh terhadap cara orang mengapresiasi dan membaca buku. Jika masa depan buku memang berupa buku digital, seperti yang diangankan oleh Google, agaknya kita memang harus mulai menyiapkan sistem industri perbukuan yang benar-benar baru. (*)
* An. Ismanto, bergiat sebagai penulis di MelayuOnline.com
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment