Wednesday, August 19, 2009

[Nasionalisme di Tapal Batas] Perbatasan RI-Papua Niugini: Mengharapkan Investasi yang Berdamai

-- Nasrullah Nara dan Korano Nicholas LMS

PESAWAT Merpati jenis Boeing 737-300 baru saja mendarat di Bandar Udara Mopah, Merauke, Papua. Di ruang pengambilan bagasi, para penumpang dari Jakarta, Makassar, Biak, dan Jayapura merubung rel yang mengalirkan barang-barang mereka dalam kemasan tas, koper, kardus, dan karung.

Sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Sota, Merauke, Papua, belajar beternak ayam, Rabu (5/8). Mereka diharapkan menularkan kecakapan budidaya unggas kepada warga Papua yang masih gemar berburu. (KOMPAS/NASRULLAH NARA)

Suasana hiruk-pikuk di ruangan bagasi itu terhenti sejenak ketika terdengar suara lembut dari pengeras suara. Announcer mengumumkan, dengan alasan cuaca, penerbangan Merpati rute Merauke-Tanah Merah hari Minggu (2/8) itu ditiadakan.

Sebaliknya, di ruang tunggu keberangkatan yang bersebelahan dengan ruang pengambilan bagasi, terdengar suara gaduh. Sebanyak 12 calon penumpang pemegang boarding pass siang itu geram.

Mereka adalah para calon penumpang yang dijadwalkan terbang ke ibu kota Kabupaten Boven Digoel itu dengan pesawat Twin Otter. ”Wah, rugi besar lagi. Ayam potong dan ikan laut jadi busuk,” ujar Jimmy Lebang (41). Pria asal Tana Toraja yang rutin bolak-balik Merauke-Tanah Merah ini adalah pemasok lauk-pauk ke pasar yang ada di Tanah Merah.

Dua kali dalam sepekan ia berada di Merauke untuk memborong komoditas tertentu yang langka di Kabupaten Boven Digoel dan sekitarnya. Terbayang kerugian sekitar Rp 5 juta akibat batalnya penerbangan kali itu.

Tiba-tiba breaking news televisi menyedot perhatiannya. Saat itu terberitakan sebuah pesawat Merpati yang baru saja lepas landas dari Jayapura tujuan Oksibil hilang kontak di Pegunungan Bintang, Papua. Jimmy dan calon penumpang lainnya terdiam, larut dalam bahasa batin masing-masing.

Hingga usia republik ini mencapai 64 tahun, Boven Digoel rupanya masih saja lekat dengan kesan angker. Dikelilingi hutan belantara serta rawa, sarang nyamuk malaria dan buaya, ungkapan ”Boven Digoel” membuat bulu kuduk merinding. Belanda dulu menjadikannya sebagai tempat pengasingan tokoh-tokoh pergerakan nasional, termasuk proklamator kemerdekaan RI, Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri RI (pertama) Sutan Sjahrir.

Boven Digoel awalnya berada dalam wilayah Kabupaten Merauke.

Mulai tahun 2002, Boven Digoel bersama Mappi dan Asmat lepas dari Merauke dan berdiri sendiri sebagai kabupaten otonom. Namun, tujuh tahun pascapemekaran wilayah, perekonomian tiga kabupaten baru itu masih saja bergantung pada Merauke.

Penyebabnya adalah lemahnya infrastruktur. Investasi yang mengalir masuk ke Merauke dan sekitarnya tidak diimbangi dengan penyediaan jalan penghubung antardaerah. Jadilah Merauke ibarat gula yang dirubung semut sendirian tanpa berupaya menebar gula ke daerah-daerah sekitarnya.

Bersentuhan dengan Laut Arafuru di selatan Papua, Merauke punya pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal pengangkut komoditas antarpulau. Hampir tiap pekan di pelabuhan ini, kapal-kapal membongkar muatan beras dari Sulawesi serta gula, terigu, dan minyak goreng dari Jawa.

Di sini pula hasil tanaman sayuran dari Pegunungan Tengah Papua jadi tempat pemasaran utama. Petani dari Wamena mengangkut hasil kebunnya dengan pesawat Hercules milik TNI AU. Di emperan pasar tradisional Merauke mereka menggelar tumpukan wortel, brokoli, dan kol di atas tikar. Setelah barang-barangnya terjual habis, mereka kembali ke Wamena dengan pesawat yang sama.

Oleh pedagang perantau asal Bugis, Buton, Makassar, Toraja, dan Jawa, barang-barang di pasar itu diborong untuk kemudian dijual lagi ke warga Boven Digoel, Mappi, dan Asmat. Pengangkutan dari Merauke ke daerah sekitarnya belakangan lebih banyak mengandalkan pesawat kecil berkapasitas 12 orang yang sangat rentan terhadap cuaca. Dengan harga tiket Rp 1 juta, mereka hanya butuh waktu 45 menit.

Masalahnya jadwal penerbangan tidak tiap hari. Rute Merauke-Tanah Merah, misalnya, hanya tersedia hari Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, dan Minggu. Taruhlah pedagang sudah telanjur memborong barang pada hari Jumat dan hari itu cuaca tidak bersahabat, maka keberangkatan diharapkan hari Minggu.

Jika hari Minggu pun cuaca tiba-tiba masih membahayakan, harapan untuk terbang adalah Selasa. Niscaya barang dagangan berupa sayur dan ikan membusuk. Di Merauke belum tersedia pabrik es ataupun cold storage untuk pengawetan barang semacam itu.

Berharap pada jalan darat adalah mustahil. Jalan darat poros Merauke-Tanah Merah sepanjang 600 km lebih identik sebagai kubangan kerbau ketimbang jalan raya. Tanah lempung berwarna kuning kemerah-merahan itu umumnya belum dilapisi aspal dan pengerasan. Setiap hujan turun tak kenal musim, tanah tersebut langsung membubur.

Hanya kendaraan gardan ganda, sejenis jip, yang bisa lolos dari jebakan lumpur. ”Siap-siaplah menginap dua hari dua malam di jalan kalau nekat menggunakan mobil biasa,” ujar Yohannes Kahol (37), sopir yang kerap melintasi jalur itu.

Tarif angkutan darat mencapai Rp 700.000 per orang atau lebih dari separuh tarif pesawat. Itu sebabnya pedagang antardaerah lebih memilih naik pesawat. Dengan Rp 1 juta, mereka sudah tak perlu membuang waktu.

Berharap pada angkutan sungai juga tidak mungkin. Nyaris tak ada pengusaha angkutan sungai yang tertarik menyediakan moda transportasi pada Sungai Digoel, Moro, dan Bian. Padahal, ketiga sungai yang bermuara di Laut Arafuru itu lebarnya 100-120 meter, mirip sungai-sungai di Kalimantan.

Pada sisi lain, Marauke di bawah kepemimpinan Bupati Juhanis Gluba Gebze terus membuka diri terhadap kedatangan investor. Tujuannya, tak lain untuk menghela pertumbuhan ekonomi bagi 174.685 jiwa penduduknya. ”Tentu saja kemajuan signifikan di Merauke ikut berimbas pada daerah sekitar,” ujar Yohanes Letson, Kepala Bidang Pelayanan Data dan Elektronika Kabupaten Merauke.

Data yang dihimpun menunjukkan, tiga tahun terakhir, lebih dari sepertiga total luas wilayah Merauke, 4.397.900 hektar sudah terkapling oleh para investor pertanian dan perkebunan. Di antara yang menonjol adalah lima investor perkebunan sawit dan padi (lihat grafis).

Mengitari Merauke, termasuk melintasi jalan menuju pos perbatasan wilayah RI-Papua Niugini di Sota, sejauh mata memandang memang hanya tampak hamparan savana, hutan kayu bus (Eucalyptus sp), dan kayu putih. Di antara rerimbunan pepohonan endemi itu terdapat genangan air berupa rawa dan musamus, rumah rayap berwarna merah bata setinggi 2-4 meter.

Berbeda dengan wilayah Papua bagian tengah dan utara yang berbukit-bukit, di Merauke tidak tampak perbukitan segunduk pun. Tanah lempung di ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut itulah yang diincar oleh para investor untuk perkebunan dan pertanian. Nyaris tak ada upaya untuk berkaca pada gagalnya lahan gambut pertanian di Kalimantan atau rakusnya tanaman sawit menguras unsur hara dan air tanah di Sumatera.

Harry Woersok, Sekretaris Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke, mengakui, dalam kancah pergaulan global, tidak ada komunitas yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya secara sendiri-sendiri tanpa berhubungan dengan komunitas lain. Hanya saja, investasi dan kedatangan pelaku usaha dari luar yang tidak terkendali dan cenderung hegemonik akan berdampak buruk pada transformasi sosial-budaya. ”Perlu ada jalan tengah dengan melibatkan masyarakat sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan investasi,” kata Harry.

Berdasarkan pengalamannya dalam memediasi masyarakat, investor, dan pemerintah, Harry melihat bahwa akar masalahnya adalah tak adanya dialog antara masyarakat dan pihak yang berhubungan dengan investasi, yakni investor dan pemerintah.

Contohnnya, Mei lalu, masyarakat Marind yang menghuni daerah aliran Sungai Bian terlibat konflik yang melibatkan investor dan komunitas adat internal sendiri. Pangkalnya

karena ratusan hektar tanah ulayat yang sudah dikapling oleh perusahaan dari luar Marauke dua tahun lalu kembali dikapling oleh perusahaan berbeda.

Ekonom dari Universitas Negeri Musamus Merauke, Frederikus Gebze, mengingatkan perlunya pola investasi yang berdamai dengan komunitas dan alam. Memberikan manfaat bagi pihak luar, tetapi tidak menghancurkan tatanan masyarakat lokal, termasuk kearifan ekologi yang dijunjung turun-temurun.

Di beranda paling timur Nusantara, saatnya benih konflik pun dipupus, bukan terus dipupuk.

Sumber: Kompas, Rabu, 19 Agustus 2009

No comments: