SELARUT itu, telepon genggam Said Parman masih saja berbunyi. Meski tak sampai mengganggunya menikmati ”pesta” durian—untuk menjamu sahabat-sahabatnya dari Jakarta—di kawasan Batu-9, Kota Tanjung Pinang, Pulau Bintan, bunyi telepon genggam itu tetap saja membuat ia terlihat sedikit sibuk.
Malam ini akan ada lagi serombongan TKI yang dipulangkan dari Malaysia,” kata Said, sejurus setelah menutup percakapan dengan si penelepon, sembari mencomot ’sebutir’ durian.
Tak lama berselang, telepon genggam itu kembali berbunyi. Kali ini percakapan tidak berlangsung lama. Setelah informasi teknis mengenai tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dideportasi dari Malaysia tersebut diterima, baik menyangkut jumlah (laki-laki dan perempuan) maupun jam kedatangan, perintah pun meluncur. ”Seperti biasa, tolong diatur segala sesuatunya,” ujarnya memberi instruksi melalui telepon seluler.
Sebagai Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tanjung Pinang, Provinsi Kepulauan Riau, tanggung jawab penanganan TKI bermasalah (baca: ilegal) yang dipulangkan melalui Pelabuhan Sri Bintan Pura kini ada di pundaknya. Pemerintah telah menetapkan Tanjung Pinang sebagai daerah transit bagi pemulangan TKI bermasalah dari Tanah Semenanjung, sebelum mereka dikembalikan ke daerah asal masing-masing.
”Tanggung jawab kami selesai bila mereka sudah dinaikkan ke kapal Pelni yang akan berangkat menuju Tanjung Priok (Jakarta) atau Tanjung Perak (Surabaya). Selama menunggu jadwal kedatangan kapal dari Belawan (Medan), Pemerintah Kota Tanjung Pinang yang harus menampung dan ngopeni mereka,” ujar Said.
Sejak Pemerintah Malaysia menempuh kebijakan mendeportasi TKI bermasalah, tahun 2004, tercatat sudah 194.373 TKI yang harus ditangani oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang. Setelah sempat menyusut sepanjang tahun 2005, dari 69.081 (2004) menjadi ”hanya” 10.752 orang, arus pemulangan itu kini kembali meningkat. Dari 23.907 pada tahun 2006 menjadi 34.995 pada 2007 dan 35.285 orang pada 2008. TKI bermasalah itu umumnya berasal dari Jawa, Lombok, dan Flores.
”Sekarang, dalam seminggu tercatat 4-5 trip—kadang sampai enam trip—kapal yang mengangkut TKI bermasalah dari Malaysia. Tiap trip memuat 150-160 orang. Selama semester 2009 saja sudah tercatat 20.373 TKI bermasalah yang umumnya dikirim dari Pelabuhan Johor ke sini,” tutur Said seraya menambahkan, ”Agar tidak jadi tontonan masyarakat, kini diatur agar kedatangan kapal yang mengangkut TKI bermasalah itu tiba di sini tengah malam.”
Pelintas batas
Boleh jadi, inilah sisi lain dari risiko yang harus ditanggung oleh daerah yang berada di wilayah perbatasan dengan negara tetangga. Seperti halnya kawasan perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, beberapa lokasi di Kepulauan Riau—termasuk Tanjung Pinang—jadi titik keberangkatan para pencari kerja ke Malaysia yang masuk ke sana secara ilegal. Begitu pun sebaliknya.
Di sinilah kepentingan lokal bertemu dengan kepentingan yang, meminjam istilah antropolog Iwan Meulia Pirous, mengusung identitas politik nasional. Dalam kasus terkini, ”pertemuan” itu tergambar lewat kebijakan pemerintah pusat yang menjadikan Tanjung Pinang sebagai tempat transit—untuk tidak menyebutnya (maaf) pembuangan—TKI bermasalah dari negara tetangga tersebut.
Posisi Kepulauan Riau yang berada di perbatasan dengan Malaysia dan Singapura sebagai penyedia kesempatan kerja, hanya dipisahkan laut dan selat, membuat daerah ini menjadi semacam pasar tempat bertemunya berbagai suku bangsa dari luar. Di sisi lain, pengembangan Pulau Batam sebagai kawasan industri terpadu—yang dirintis sejak akhir 1970-an—juga ikut memicu kehadiran para pencari kerja yang ingin mengadu nasib dan peruntungannya di kawasan ini.
Semua itu berawal dari kepentingan ekonomi. Akan tetapi, implikasinya merembet ke mana-mana, terutama menyangkut aspek kehidupan sosial-budaya masyarakat yang tinggal di sini. Daerah perbatasan seperti Kepulauan Riau pun menjadi semacam ruang sosial sekaligus ruang publik yang dipenuhi orang dari berbagai suku, dengan segala polah-tingkah dan adat istiadatnya.
Ruang publik yang kian sesak itu makin rumit tatkala bersentuhan dengan realitas sosial-budaya masyarakat lokal, atau penduduk tempatan menurut istilah mereka. Ada rasa gamang pada warga tempatan menyongsong perubahan yang terjadi di kawasan ini.
Menjadi TKI ke Malaysia dan Singapura bukanlah pilihan. Sebaliknya, untuk masuk ke dunia industri yang berkembang pesat di Pulau Batam, mereka kalah bersaing dengan para pendatang. Sementara tradisi berdagang dan nelayan yang sudah digeluti oleh leluhur mereka selama berabad- abad kini sudah kehilangan ruang, tergusur oleh perkembangan di kawasan ini yang tidak berpihak kepada mereka.
Dulu, perdagangan lintas batas (ke Malaysia dan Singapura) banyak ditekuni oleh orang Melayu yang mendiami pulau-pulau di kawasan ini. Dari sini mereka membawa beragam hasil bumi, seperti kopra, lada, gambir, dan karet. Ketika pulang, muatan perahu motor mereka diisi bahan kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan terigu.
Alat tukar yang berlaku bukan rupiah, tapi ringgit Malaysia atau dollar Singapura. Pada masa konfrontasi dengan Malaysia, di tahun 1960-an, intensitas perdagangan lintas batas memang agak tersendat, namun dengan satu dan lain cara aktivitas tetap berlangsung. Bahkan, ketika itu alat tukar bertambah dengan beredar KR rupiah, mata uang lokal yang khusus berlaku di kawasan ini.
Meski dalam skala kecil, model perdagangan lintas batas ini sangat dirasakan manfaatnya. Masyarakat relatif hidup makmur untuk ukuran kala itu. Usai masa konfrontasi, di awal masa pemerintahan Orde Baru sebetulnya perdagangan lintas batas sempat berputar kembali, tapi kemudian surut setelah lalu lintas laut di wilayah perbatasan diperketat.
”Tradisi berdagang orang Melayu kini punah, seperti yang dapat disaksikan di daerah Riau kepulauan sekarang. Ketika mereka tenggelam dalam dunia yang tidak begitu menguntungkan secara ekonomi, tiba-tiba mereka seperti dientak oleh hadirnya proyek-proyek industrialisasi di Batam, kemudian di Bintan. Sayangnya, peluang untuk terlibat di dalamnya masih sulit, jauh di atas kemampuan mereka,” kata Sutamat Arybowo, peneliti bidang kebudayaan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Ketika tampil dalam dialog kesejarahan Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan berharap suatu saat model perdagangan lintas batas ini bisa dihidupkan kembali tanpa harus terikat aturan yang terlalu ketat. ”Aktivitas itu sangat membantu masyarakat bawah,” katanya.
Dipinggirkan
Sudah jadi pengetahuan umum, penduduk di wilayah perbatasan umumnya miskin. Tak terkecuali di Kepulauan Riau. Di luar Batam dan Bintan, mereka yang tinggal di lebih dari 300 pulau di kawasan ini bahkan hidup dengan sarana dan prasarana umum yang masih amat terbatas.
Di banyak tempat, infrastruktur dasar masih jauh dari memadai. Akses mendapat pendidikan berkualitas, juga layanan kesehatan, ibarat masih jauh panggang dari api. Kesejahteraan pun jadi barang langka.
”Infrastruktur tentunya tidak harus diukur dari kemewahan seperti ketersediaan hotel-hotel, tapi sejauh mana kepentingan masyarakat terpenuhi sehingga mereka sejahtera,” ujar Iwan.
Meski akses kultural dan ekonomi dengan sedulur mereka di Tanah Semenanjung sudah terjalin lama, jauh sebelum Indonesia merdeka, realitas sosial ini sepertinya dinafikan oleh pemerintah (pusat) dalam penanganan masalah di perbatasan. Wilayah perbatasan yang memiliki karakteristik khas, baik dari aspek sosial-kemasyarakatan maupun secara budaya, selama ini kurang diperhitungkan dalam pengambilan kebijakan yang akan diterapkan.
Kecenderungan untuk mengedepankan pendekatan keamanan masih kental. Segala sesuatu lebih dilihat dari sudut pandang kepentingan pusat (baca: Jakarta). Aspirasi masyarakat lokal tak disertakan dalam skenario besar pembangunan di kawasan ini, seperti terlihat dari gagasan kerja sama segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau (Sijori).
Masyarakat tempatan malah diposisikan sebagai pelengkap tanpa dibukakan akses seluas-luasnya untuk bisa ikut menikmati buah dari kemerdekaan. Sebaliknya, kekayaan alam di wilayah ini terus dieksploitasi untuk kepentingan pusat.
Minyak, timah, bauksit, hutan bakau, dan pasir dikuras tanpa memberi manfaat berarti bagi mereka yang tinggal di sekitarnya. Bahkan, kawasan hutan dan pantai pun, taruhlah seperti daerah Sebong Lagoi di Bintan Utara, ”dijual” kepada investor untuk memfasilitasi turis-turis dari Singapura melepas lelah setiap akhir pekan.
Berbagai kebijakan pemerintah pusat dalam ”membangun” wilayah ini, di mata masyarakat tempatan, justru membuat mereka makin tidak paham apa yang sesungguhnya ada di benak perencana pembangunan di Jakarta. Pertanyaan mereka sederhana: semua itu untuk apa dan untuk siapa?
Kalau Jakarta bisa dianggap representasi sosok Indonesia, berbagai kebijakan yang dirancangnya justru kian membuat masyarakat di wilayah ini merasa terpinggirkan dan dipinggirkan. Mereka merasa asing dan diasingkan justru oleh ibu kandungnya: Indonesia! (KEN)
Sumber: Kompas, Jumat, 14 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment