Judul Buku : Hikayat Nakhoda Asik & Hikayat Merpati Emas
Penulis : Sapirin Bin Usman & M.Bakir
Penerbit : Masup, Jakarta
Cetakan : I, Februari 2009
Tebal : 334 halaman
DALAM khazanah sastra lama, nama-nama pengarang, seperti Thio Tjien Boen, Gouw Peng Liang, Tam Boen Kim, Kweek Tek Hoaij, Lie Kim Hok, Kwe Kek Beng, Haji Moekti, dan M.M. Kartodikromo, tentu sudah tidak asing. Tapi, siapa yang mengenal Sapirin bin Usman dan M. Bakir? Dua nama itu belum tercatat dalam peta sejarah kesusastraan kita. Kalaupun ada yang familiar dengan dua nama tersebut, tentu jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Tapi, berkat ketekunan para peneliti sejak 20 tahun terakhir, Sapirin dan M. Bakir bisa tampil sebagai dua pengarang lama yang karena karya-karyanya, patut diapresiasi dan pantas bersanding dengan pengarang-pengarang lain di pentas sastra lama.
Sapirin dan M. Bakir adalah paman dan keponakan dalam satu keluarga besar yang memiliki semacam taman bacaan -bila tidak bisa disebut perpustakaan- di daerah Pecenongan, Batavia, di paro kedua abad ke-19. Latar belakang keluarga itu bisa dilacak dari 43 naskah yang kini tersimpan di tiga tempat, Jakarta, Leiden, dan Saint Petersburg. Diperkirakan, Sapirin aktif menulis dan menyalin naskah pada 1858-1885.
Sementara itu, M. Bakir ditengarai pernah belajar seni mengarang dan menyalin naskah kepada Sapirin, pamannya. Barangkali karena itu, M. Bakir tercatat sebagai orang yang melanjutkan pengelolaan taman bacaan Pecenongan hingga 1898. Sejumlah catatan menyebutkan, M. Bakir dua kali menjual naskah koleksi taman bacaannya kepada Bataviaasch Genootschap -kini Museum Nasional RI- pada 1898 dan 1899. Fakta itu menunjukkan bahwa taman bacaan tersebut tidak punya banyak langganan atau tidak laris lagi.
Buku bertajuk Hikayat Nakhoda Asik (Sapirin bin Usman) dan Hikayat Merpati Mas (M. Bakir) yang dikumpulkan dan disunting Henri Chambert-Loir itu tidak seperti teks-teks sastra lama yang sudah dikenal. Dua hikayat yang semula dibacakan di hadapan khalayak pendengar tersebut terbilang unik. Semua ''serba setengah'': setengah asli setengah salinan, setengah klasik setengah modern, setengah tulis setengah lisan. Itu sebabnya dalam kerja penyuntingan, sedapat-dapatnya, diselaraskan dengan langgam hikayat-hikayat yang lebih dulu ditemukan seperti Hikayat Indraputra, Hikayat Iskandar Zulkarnaen, dan Hikayat Hang Tuah.
Hikayat Nakhoda Asik (HNA) bermula dari petualangan seorang anak raja dalam perantauannya di negeri orang. Di sana, dia bertemu sahabat dan musuh, sekutu dan seteru, memperoleh istri dan harus bertarung dengan pihak-pihak yang menghalangi pernikahannya. Setelah mengalahkan musuh-musuhnya, dia pulang ke tanah asal dan naik takhta. Pola penceritaan yang lazim ditemukan dalam hikayat-hikayat usang umumnya.
Begitu pula kisah dalam Hikayat Merpati Mas (HMM), perihal dua lelaki muda yang tampan-rupawan di sebuah istana kerajaan antah-berantah dan dua putri raja yang cantik jelita di istana kerajaan lain. Gampang ditebak ujung dari kisahnya. Cerita berkisar di sekitar petualangan asmara mereka -dibumbui huru-hara dan perang antar kerajaan dalam memperebutkan wilayah kuasa- dan berakhir pernikahan kedua pasangan itu.
Rujukan-rujukan geografis dan demografis, fase sejarah, kronologi peristiwa dalam kedua hikayat sama sekali kabur. Maka, sia-sia bila pembaca hendak memastikan fakta sejarah, sandaran penceritaannya. Tapi, setidaknya ada sebentuk karakteristik yang bisa diandalkan dalam pembacaan, yakni lelaku kepengarangan yang nyaris sama di antara kedua hikayat itu. Tengoklah, setiap peristiwa melulu berpusat di lingkungan istana, terbatas di kalangan keluarga raja, dan karib-kerabatnya, sedangkan sisanya -masyarakat biasa- dihadirkan hanya untuk gugur dalam perang. Peradaban seolah terniscaya memusat di dunia raja, sementara dunia nonraja masih biadab dan udik.
Menurut Henri Chambert-Loir, yang terus berupaya mencari sejumlah rujukan faktual dari kedua hikayat itu, hanya ada satu unsur yang terus dipertahankan pengarang. Itu pun hanya dalam HNA, yaitu laut. Nakhoda Asyik terus berlayar dari satu negeri ke negeri lain. Di laut dia bertemu Putri Asma Penghibur (kelak menjadi istrinya). Di laut pula, Nakhoda Asyik dicelakai dan dihanyutkan oleh seorang menteri yang zalim, lalu diselamatkan oleh seseorang. Tapi, laut di sini sukar ditimbang sebagai rujukan geografis. Alih-alih dapat mengidentifikasi di belahan laut mana kira-kira peristiwa itu berlangsung, realitas kelautan dalam HNA malah lebih terasa sebagai laut simbolis.
Bila ditakar dengan selera baca sastra masa kini, langgam dan gaya bahasa HNA dan HMM sukar dimengerti dan hampir-hampir tak bisa dinikmati. Alurnya lamban, berpilin-pilin, dan sudah barang tentu, tata bahasanya sedemikian kacau. Itu lumrah karena sejak mula memang tidak disiapkan untuk dibaca, tapi untuk didengar, sembari bersantai, minum kopi dan melamun. Karena itu, HNA dan HMM tidak bisa dibaca seperti membaca novel-novel Orhan Pamuk atau roman-roman Balai Pustaka. Tapi, bila pembaca menempatkan kedua hikayat itu dalam konteks sosial dan kesejarahan, akan lahir kesadaran bahwa khazanah sastra lama yang sedemikian kaya itu patut diwarisi, diapresiasi, dan terus diselami kedalamannya.
Damhuri Muhammad, cerpenis, bermukim di pinggiran Jakarta
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 23 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment