Monday, August 31, 2009

Menakar Kecintaan Budaya Lokal

-- BI Purwantari

REAKSI keras bermunculan tatkala simbol-simbol kebudayaan lokal Indonesia dipakai sebagai salah satu elemen iklan pariwisata Malaysia. Sesungguhnya, proporsionalkah reaksi tersebut?

Bisa jadi reaksi keras yang muncul terhadap Malaysia itu didasari oleh rasa cinta sekaligus kekhawatiran masyarakat akan hilangnya kebudayaan tradisional mereka. Hal semacam ini juga terekam di dalam Jajak Pendapat Kompas yang diselenggarakan di 10 kota pada 26-27 Agustus 2009.

Mayoritas responden (97,6 persen) menyatakan amat bangga dengan kebudayaan lokal yang mereka miliki.

Bahkan, rasa bangga yang mereka ekspresikan ini sejalan pula dengan opini mereka (99,3 persen) yang menyatakan perlunya melestarikan produk budaya Indonesia. Artinya, dari sisi penyikapan masyarakat, tidak ada yang patut dikhawatirkan dengan ancaman akan tergerusnya produk budaya negeri ini akibat pola penyikapan warganya.

Terpinggirkan

Akan tetapi, sikap keras dan rasa bangga yang mereka ekspresikan itu tidak serta-merta menunjukkan interaksi masyarakat yang intens dengan produk-produk budaya lokal mereka sendiri. Dengan kata lain, di tataran praksis, masyarakat sendiri sebenarnya tidak banyak mengenali dan mempraktikkan kebudayaan lokal mereka sendiri.

Dari 866 responden yang berhasil dihubungi, sebagian besar mengakui hanya tahu sedikit tentang tarian (67,8 persen), musik dan lagu (68,8 persen), pakaian (67,8 persen), masakan (53,3 persen), ataupun obat-obatan tradisional (54,3 persen) yang menjadi kekayaan budaya negeri ini.

Namun, untuk pengenalan akan obyek-obyek wisata, lebih dari separuh bagian responden mengaku tahu banyak tentang obyek wisata daerah di Indonesia.

Pengetahuan yang minim tentang kebudayaan lokal ini dibarengi pula dengan pengakuan mereka secara umum dalam mempraktikkan kebudayaan lokal mereka. Misalnya, perilaku memakai pakaian tradisional dinyatakan oleh 67,9 persen responden. Atau, pengalaman menceritakan dongeng dari daerah di Indonesia diakui oleh 65,4 persen responden jarang dilakukan masyarakat.

Perbedaan proporsi yang cukup mencolok antara tataran praktik dan gagasan tentang kebudayaan lokal ini menunjukkan posisi kebudayaan lokal yang masih terpinggirkan, terutama bila dihadapkan dengan kebudayaan global.

Dalam konteks kapitalisme global saat ini, masyarakat Indonesia lebih terdorong untuk mengonsumsi produk-produk budaya yang berasal dari luar Indonesia.

Kehilangan makna

Penegasan terhadap kondisi demikian tecermin dalam berbagai aspek. Dalam hubungan dengan Malaysia, misalnya, data yang dihimpun Litbang Kompas menunjukkan, jumlah orang Indonesia yang berwisata ke Malaysia sejak tahun 2000 hingga 2008 terus meningkat tajam dibandingkan dengan jumlah orang Malaysia yang berlibur ke Indonesia.

Jika dirinci, para wisatawan Indonesia ini terdiri atas para pekerja profesional (40,8 persen), pengusaha (13,2 persen), ataupun ibu rumah tangga (14,6 persen). Ironisnya, fakta semakin meningkat tajam kunjungan wisatawan Indonesia ke Malaysia ini membuat reaksi keras yang ditunjukkan sebagian masyarakat Indonesia saat ini terhadap iklan pariwisata Malaysia seperti kehilangan maknanya. Tidak terelakkan, iklan pariwisata tersebut justru memberikan kontribusi terhadap peningkatan wisatawan Indonesia ke Malaysia.

Jika di lapis masyarakat tampak jelas kontradiksi antara penyikapan dan praktik terhadap kelestarian budaya lokal mereka, lantas, bagaimana pula di level negara? Dalam hal ini, bagaimana pandangan masyarakat sendiri terhadap peran negara dalam melindungi dan melestarikan kebudayaan lokal?

Tak puas peran negara

Hasil Jajak Pendapat memperlihatkan sebagian besar responden tidak puas terhadap upaya pemerintah dalam mengurus tiga hal, yaitu melestarikan berbagai produk budaya lokal seperti tarian, pakaian, musik dan lagu, ramuan tradisional, hingga obyek-obyek wisata daerah yang berkaitan erat dengan sejarah kebudayaan bangsa ini (68,7 persen), terhadap para pencipta dan pelaku kebudayaan lokal (66,5 persen), dan dalam hal memberikan penghargaan terhadap budaya lokal (59,1 persen).

Ketidakpuasan para responden ini cukup beralasan. Saat ini, perbincangan terhadap kebudayaan lokal tak bisa dilepaskan dari perlindungan atas hak cipta produk kekayaan intelektual di dalam konteks kapitalisme global.

Banyak negara telah mendaftarkan hak cipta ataupun mematenkan karya anak bangsanya ke level internasional. Indonesia, menurut catatan Litbang Kompas, tampaknya sangat ketinggalan.

Sejauh ini, hanya dua produk budaya tradisional yang telah terdaftar di badan PBB, UNESCO, yaitu wayang kulit (2003) dan keris (2005).

Sementara kesenian Reog Ponorogo yang sempat ramai dibicarakan masyarakat berkaitan klaim Malaysia pada tahun 2007 hanya sebatas didaftarkan di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tahun 2004.

Masih banyak produk kekayaan intelektual bangsa ini yang belum diurus oleh negara. Batik, misalnya, merupakan hasil karya ribuan perempuan Indonesia yang tinggal tersebar di beberapa wilayah sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Mereka ini bisa menciptakan ragam motif yang tak dibuat oleh negeri lain.

Namun, masyarakat begitu tersentak oleh berita bahwa batik dan kreasi ataupun salah satu formula teknologi pembuatannya terpatenkan oleh negeri jiran. Bahkan, lebih menyayat lagi jika kreasi batik negara lain mulai memasuki dan menyaingi pasar domestik yang pada gilirannya mengancam kelangsungan industri batik dalam negeri.

Segera patenkan

Tidak mengherankan jika kenyataan ini membuat hampir semua responden (95 persen) berpendapat, pemerintah perlu segera secara serius melindungi eksistensi produk budaya lokal ini dengan mematenkan produk-produk budaya lokal di lembaga internasional.

Bagi responden, hal tersebut penting untuk mencegah hasil karya cipta anak bangsa dikuasai oleh negara lain, seperti diperlihatkan oleh banyaknya kasus penggunaan simbol-simbol kebudayaan Indonesia oleh pihak asing.

Menariknya, apa yang diharapkan responden terhadap peran negara dalam perlindungan produk budaya lokal ini diikuti pula oleh harapan mereka akan peningkatan peran masyarakat.

Di tingkat gagasan, responden tetap menganggap bahwa tugas melestarikan kebudayaan lokal berada di pundak pemerintah dan masyarakat. Kedua pihak berbagi tugas dengan penekanan kepada aspek yang berbeda.

Menurut 49 persen responden, masyarakat dapat turut melestarikan kebudayaan lokal dengan mencintai produk-produk lokal, mengurangi konsumsi barang impor, serta ikut aktif mendidik generasi muda. Sementara negara, menurut 48,1 persen responden, harus berupaya memenuhi aspek legal, seperti mengurus hak paten dan membangun infrastruktur bagi pengembangan produk lokal.

Jika dua hal ini terjadi, hujatan, makian, ataupun reaksi keras masyarakat terhadap aksi negeri jiran tiada terucap. (Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Senin, 31 Agustus 2009

No comments: