INDONESIA kecolongan lagi berhadapan dengan Malaysia. Tari pendet khas Bali digunakan negeri jiran itu untuk promosi pariwisatanya. Manuver ini menambah panjang daftar pencaplokan budaya Indonesia. Sebelumnya, negeri serumpun itu mendaku lagu Rasa Sayange, batik, musik angklung, dan reog Ponorogo sebagai budayanya. Kita berang menyaksikan tari pendet digunakan Malaysia dalam iklan pariwisatanya yang dipublikasikan luas lewat layar kaca. Kita kesal karena bukan baru kali ini Malaysia mencaplok budaya Indonesia untuk memperkuat identitasnya. Kita marah dan menuntut Malaysia menyampaikan permohonan maaf serta menarik kembali iklan itu.
Ketika kasus tari pendet ramai dipersoalkan Indonesia, seorang profesional yang memproduksi iklan pariwisata Malaysia dengan enteng menjawab: "Tidak ada salahnya kami mempromosikan tarian Indonesia. Karena tema yang kami angkat adalah the trully Asia." Itu jawaban cerdas si profesional. Tapi, si profesional itu lupa bahwa triknya terlalu mudah dibaca. Di bagian bawah iklan tidak ada penjelasan bahwa tari pendet berasal dari Indonesia.
Kita sebagai bangsa besar dengan kekayaan budaya tiada tara boleh saja kesal dan marah. Namun, itu semua tidak menyelesaikan masalah. Besok atau lusa, hanya soal waktu, Malaysia akan mengklaim lagi budaya Indonesia sebagai budayanya. Jika Indonesia ribut, mereka tinggal melayangkan permohonan maaf. Yang penting, citra sebagai the trully Asia sudah terbentuk.
Klaim budaya Indonesia oleh Malaysia merupakan salah satu bagian dari upaya sistematis Malaysia untuk menjadi negara yang kuat secara ekonomi, budaya, dan disegani dunia. Ketiga target ini saling berhubungan. Kemajuan budaya akan mendongkrak kemajuan ekonomi. Kemajuan ekonomi dan budaya akan menaikkan martabat bangsa Malaysia di mata dunia. Saat ini, tingkat kemajuan ekonomi Malaysia sudah jauh di atas Indonesia. Pendapatan per kapita Malaysia di atas US$ 8.000, sedangkan pendapatan per kapita Indonesia baru US$ 2.300. Tingkat kesejahteraan negeri dengan penduduk 25 juta ini jauh di atas Indonesia. Sekitar 3 juta tenaga kerja Indonesia, yang legal dan ilegal, kini mengadu nasib di Malaysia.
Dengan sumber daya alam terbatas, Pemerintah Malaysia mampu memakmurkan rakyatnya. Sektor pertanian dan industrinya maju pesat. Bahkan, mereka merambah wilayah Indonesia. Sekitar 40% lahan sawit di Indonesia sudah dikuasai Malaysia. Negeri tetangga itu kini gencar mengembangkan pariwisata dan mengklaim diri sebagai the trully Asia. Hasilnya nyata. Jumlah wisman Malaysia 2008 mencapai 22 juta dengan devisa US$ 14,4 miliar. Sedangkan, wisman yang mengunjungi Indonesia tahun yang sama hanya 6,2 juta dengan raihan devisa US$ 7,5 miliar. Moto the trully Asia dimaksudkan agar wisman cukup mengunjungi Malaysia, tak perlu ke seluruh negara Asia.
Noordin M Top, buron yang melakukan aksi terorisme di Indonesia, adalah warga Malaysia. Salah satu gembong teroris asal Malaysia, Dr Azahari, sudah tewas didor tahun lalu. Tidak salah jika ada yang menilai gembong teroris asal Malaysia merupakan bagian dari strategi perang ekonomi. Iklim Indonesia dihancurkan agar investor asing dan wisman, semuanya, mengalir ke Malaysia. Budaya kita pun diambil untuk memperkuat ekonominya. Malaysia tahu benar, hanya negara yang kuat secara ekonomi yang bisa punya martabat.
Indonesia harus menyikapi pendakuan tari pendet oleh Malaysia dengan serius, sistematis, dan komprehensif. Pemerintah harus lebih gencar membangun ekonomi. Pariwisata harus dikelola dengan lebih gencar, memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki, terutama kekayaan budaya. Tiada guna kita berang terhadap ulah si trully Asia tanpa langkah nyata untuk membangun martabat bangsa.
Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 26 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment