-- Ilham Prisgunanto*
SUDAH cukup lama media massa gencar melansir isu-isu seputar flu burung dan flu babi. Mulai dari pola penyebaran virus, kekalutan Amerika Serikat dengan merilis pidato kenegaraan presidennya yang menyatakan perang terhadap flu burung dan flu babi, sampai tentang penderita dari kalangan selebritis, saat kelompok musik dari Elfa’s Music School yang terkena virus influenza A-H1N1 saat ikut festival Paduan Suara Asia di Seoul, Korea Selatan (Kompas, 12/7).
Dalam pemberitaannya, media massa seakan memiliki agenda untuk merekonstruksi pikiran dan perhatian khalayak kepada sebuah isu tertentu yang diinginkan. Seperti dalam kajian teoretis tentang model agenda setting-nya Maxwell McComb, yang menyatakan, antara lain, media memiliki agenda yang diupayakan sama dengan agenda khalayak, dalam upaya mengarahkan sikap dan tindakan mereka (1995:48).
Tentu saja, dapat diketahui maksudnya agenda media ini adalah untuk meyakinkan semua orang bahwa flu babi (A-H1N1) itu nyata dan ada di sekitar kita. Satu yang diharapkan adalah bagaimana sikap dan respons dari pemerintah yang diwakili oleh menteri kesehatan dan presiden dalam kasus ini. Apakah kalut, cemas terhadap pandemi, atau malah biasa saja?
Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan, Indonesia sudah dalam status kejadian luar biasa (KLB), sesuai dengan kategori Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tidak serius?
Tingginya kasus dan korban flu A-H1N1 tampaknya tidak membuat pemerintah heboh, kalut, dan cemas. Kenapa? Apakah ini bukan persoalan serius? Di sinilah kita dapat membuktikan keampuhan komunikasi budaya—dalam konteks kesehatan—yang mendominasi alam kognisi manusia.
American Medical Association dengan tegas sedang mengembangkan kebijakan khusus bagi tenaga medis untuk sensitif dan peka terhadap budaya dalam konteks komunikasi pasiennya. Larry A Samovar dan Richard E. Potter dalam buku Communication Between Cultures (2004:257) menyebutkan perlunya pemahaman tenaga medis terhadap komunikasi antarbudaya pasien dan dimasukkan dalam sistem kurikulum sekolah kesehatan.
Pemahaman terhadap keunikan cara pandang kesehatan pasien akan membawa kepada pola penyembuhan dan tindakan medis yang tepat. Pada kenyataannya ribuan orang meninggal dan terjangkit HIV, AIDS, hepatitis, tuberkulosis dan lain-lain disebabkan kesalahan pemahaman konteks budaya pasien. Sebagaimana Haffner (1992:225-260) mencatat, kesalahan dalam pemahaman berkomunikasi tenaga medis dan pasien akan berakibat pada kesalahan diagnosis.
Tak dapat ditolak, seorang tenaga medis perlu memahami pengetahuan, orientasi kultural, bahasa, dan pola interaksi pasien terhadap kesehatan dan penyakit. Bahkan termasuk memahami takhayul dan sistem kepercayaan pasien. Menurut Koening dan Gates-William (1995:246), tenaga medis yang memahami hal-hal itu malah akan memberikan kompetensi terhadap dinamisasi lingkungan kesehatan ke dalam konteks budaya.
Benturan budaya
Setidaknya terdapat lima dimensi yang perlu dipahami dalam komunikasi antarbudaya dalam konteks kesehatan. Pertama, hubungan antara pandangan dunia dan sistem pemeliharaan kesehatan. Kedua, sistem kepercayaan kesehatan. Ketiga, keanekaragaman pemahaman terhadap penyebab, upaya menghindari dan penyembuhan penyakit. Keempat, isu-isu spesifik tentang kepercayaan spiritualitas kesehatan dan terakhir adalah pola komunikasi dalam setting kesehatan multikultural.
Di AS para tenaga medis percaya, dengan memahami cross-cultural health care, tenaga medis dapat memberikan sumbangan besar bagi dunia pengobatan dengan sebuah tindakan yang tepat.
Pandangan mekanistis lebih didominasi pemikiran budaya Barat yang menganggap penyakit ada penyebab tertentu dan alasan yang jelas secara mekanistis. Mereka percaya kepada hasil rontgen, tes darah, dan tindakan medis yang sahih menurut kevalidan dalam kajian teoretis dan konsensus kedokteran yang berlaku.
Sebaliknya, pandangan nonmekanistis condong pada peradaban yang lebih memandang kesehatan dalam konteks budaya dan religi yang dianut. Pandangan ini menggunakan intuisi dan manipulasi pikiran guna mencapai kebenaran. Mereka percaya nasib, takdir, karma, keajaiban, dan kekuatan supranatural.
Sikap petugas medis yang kaku dan tidak bijak kerap mengabaikan pandangan nonmekanistis pasien karena berbau takhayul. Terkadang sikap penolakan sikap petugas medis ini menimbulkan pelecehan dan melukai perasaan pasien.
Benturan-benturan pemahaman inilah yang antara lain menjadi soal dalam agenda komunikasi budaya kesehatan, melalui media massa.
Pemberitaan yang selalu mengaitkan penderita flu babi dan flu burung dengan yang pernah ke luar negeri, sebagai pelancong atau tenaga kerja, membuat kesan atau memunculkan pemahaman penderita penyakit ini hanyalah terjadi di kalangan orang kaya. Bukan di antara mereka yang biasa berobat ke puskesmas atau ke dukun.
Tak mengherankan apabila kemudian khalayak akan menanggapi KLB flu babi atau flu burung ini dingin-dingin saja. Tak mengejutkan apabila pandemi ini cepat meluas dan memakan korban. Kita tentu tak bisa mendiamkan.
* Ilham Prisgunanto, Penulis Buku tentang Komunikasi, Menetap di Jakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment