-- H Hardi
KEBUDAYAAN bukan semata-mata diartikan sebagai benda yang telah jadi, suatu finished product, tetapi sebagai proses dialektis dalam masyarakat atau negara, tempat sistem-sistem saling menarik. Kemudian tampak sebagai ”potret budaya” dalam masyarakat yang berlangsung bertahun-tahun. Itulah potret suatu sintesis budaya... (Umar Kayam, Tempo, 1999).
Menanggapi tulisan Nunus Supardi, Kebudayaan, Bagaimana Nasibmu? (Kompas, 18 Agustus 2009), tampak penulis kurang bisa membedakan pengertian ”kebudayaan” sebagai proses dialektis pada masyarakat yang tak kunjung usai dengan kebudayaan yang dianggap produk jadi, dari sebuah unsur suatu lembaga yang di-set up oleh sebuah birokrasi.
Nasib buruk
Pertanyaan Nunus—Kebudayaan, Bagaimana Nasibmu? sebagai suatu judul tulisannya— menandakan bahwa isu kebudayaan yang dibentuk dalam sebuah Departemen Kebudayaan yang mandiri, dari tahun 1945 hingga kini dan tak terwujud, merupakan nasib buruk bagi kebudayaan Indonesia.
Kerancauan berpikir ini banyak menghinggapi para seniman dalam diskusi formal atau informal (di warung kopi), khususnya dalam setiap kongres kebudayaan yang diselenggarakan hampir setiap lima tahun sekali. Mengapa?
Hal itu terjadi karena seniman merupakan peserta mayoritas kongres kebudayaan (dan biasanya menyebut diri budayawan). Mereka menjadi narasumber kongres, yang sebagian besar tidak membicarakan kebudayaan secara holistic, tetapi mereka berbicara tentang diri sendiri dalam proses penciptaan karya.
Mengingat seniman sebagai ”tuan rumah” dalam setiap kongres, maka godaan untuk tampil sebagai birokrat dan memiliki departemen sendiri amat menggoda. Padahal, kenyataannya, para seniman adalah warga negara marjinal, hidup tanpa jaminan sosial, tanpa tunjangan hidup, tanpa income tetap, tanpa asuransi kesehatan, yang amat membebani dalam proses penciptaan.
Andaikan desain kongres kebudayaan melibatkan politisi (legislatif), eksekutif lintas departemen, yudikatif, pengusaha, maecenas kesenian, teknolog, ilmuwan, pemangku adat, raja-raja, dan agamawan, niscaya hasil kongres akan lain dan bisa menjadi masukan bagi kebijakan pemerintah.
Kita tahu, para seniman (yang menganggap diri budayawan) itu terengah-engah untuk sekadar merumuskan apa itu strategi kebudayaan. Alhasil, strategi kebudayaan tak pernah lahir dalam setiap kongres kebudayaan. Sebagai bahan banding, Bung Karno memiliki strategi kebudayaan yang jelas, yaitu ekonomi terpimpin (sosialis), berdikari yang berbuah inflasi, demokrasi terpimpin, politik nonblok meski cenderung ke kiri dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Departemen khusus
Dampak strategi kebudayaan Orde Lama membuahkan boikot film Amerika, ganyang nekolim, ganyang musik ngak ngik ngok, lahirnya perjuangan ala Bambang Hermanto, sastra Lekra versus Manikebu, di mana politik menjadi panglima penciptaan seni.
Pada era Soeharto (Orde Baru), apa yang dilakukan Bung Karno itu ditolak. Kecuali demokrasi yang tetap terpimpin (otoriter), maka kebudayaan Indonesia identik dengan masuknya budaya Barat, tanpa sempat berakulturasi, karena terlalu deras masuknya. Bahkan, Guruh Soekarnoputra yang mengadopsi Moulin Rouge, kabaret Paris pun merasa nasionalis hanya berbekal cawat putih dan ikat kepala merah, kebaya, sanggul dengan label Swara Mahardika.
Pada era reformasi, kebudayaan Indonesia sudah mulai berakulturasi. Kodrat budaya kita yang menyerap (eklektik) melahirkan gelora dinamika pada masyarakat dan Gus Dur membangkitkan budaya China yang diberangus pada era Orde Baru. Penyiaran TV jadi ultraliberal (sambil memaki-maki neoliberal). Ini sekadar contoh-contoh interaksi budaya yang terjadi pada kita.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, perkembangan kebudayaan maju merayap ke depan. Saya suka dengan booming film kita kini meski masih ada pocong-pocongan, tema cinta remaja. Booming seni rupa, gairah musik pop, dan yang lebih luas adalah fenomena budaya tanding yang terjadi di Jember, Pasuruan, dengan karnaval ala Brasil yang notabene lahirnya di wilayah kaum Nahdliyin. Selain itu, mulai bergairahnya perkebunan, agrikultur, dan lomba kecerdasan anak-anak yang meraih reputasi internasional. Olahraga liga pro, fashion, booming, batik karena merevitalisasi diri. Itu semua tak memerlukan departemen khusus.
Diperlukan kebijakan
Hal itu seperti ditegaskan Umar Kayam bahwa kebudayaan bukan produk jadi sehingga nilai- nilai yang diperjuangkan bangsa ini, meliputi akal budi dan upaya untuk kehidupan lebih sejahtera dan human, tak perlu departemen khusus. Namun, yang diperlukan pelaku budaya, termasuk seniman, adalah kebijakan atau payung hukum, dorongan mencipta, penghargaan, dan bantuan finansial perbankan.
Hollywood menjual mimpi adalah representasi budaya AS. Hollywood adalah dapur strategi kebudayaan Pemerintah AS. Hollywood adalah sinergi para industriawan, ekonom, politisi, dan seniman (maka seniman disebut actor atau pemeran saja).
Sebagai contoh, saat AS anti- Uni Soviet, maka James Bond melabrak komunis Rusia. Rambo mengobrak-abrik di hutan Vietnam. Ketika AS perang dengan terorisme, tiap orang Arab diberi label pasti jahat. Film tentang antiterorisme diciptakan dan didistribusikan ke negara-negara dunia, bersamaan distribusi teknologi, handphone, komputer, senjata, dan lainnya.
Atas keadaan ini, saya bertanya, jika kebudayaan itu bisa berdiri sendiri dan menjadi satu departemen, mengapa sejak 1945 hingga kini tidak diwujudkan?
Mengingat founding fathers dan penerusnya tahu, kebudayaan adalah suatu proses, bukan tata nilai yang sudah selesai.
Artikel Saudara Nunus perlu ditanggapi karena terasa amat tendensius. Hal itu bisa dibaca pada akhir tulisan, ”...Masalah ini sepenuhnya jadi hak prerogatif presiden. Akan tetapi, perlu dicatat, budayawan telah lelah menunggu impian lama itu menjadi kenyataan. Impian agar kebudayaan (ibu) melahirkan anak bernama Kementerian Kebudayaan pada kabinet 2009-2014 ini”.
Nah... betul kan?
H Hardi, Pelukis; Intelektual; Anggota Badan Pekerja Kongres Kebudayaan Indonesia
Sumber: Kompas, Sabtu, 22 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment