Saturday, August 15, 2009

[Teroka] Padmasusastra: Modernis Nonkeraton

-- Bandung Mawardi*

KI Padmasusastra (1843-1926) mencatatkan diri sebagai Bapak Sastra Jawa Modern tetapi kerap terlupakan dan terpinggirkan. Pelupaan itu merupakan efek dari opini publik yang percaya bahwa kesusastraan Jawa tamat oleh Ranggawarsita sebagai pujangga keraton terakhir.

Nama Ki Padmasusastra pun jarang dikenali dan buku-buku tentang bahasa, sastra, dan kebudayaan Jawa yang telah diterbitkan juga kurang mendapat perhatian. Ki Padmasusastra merupakan pokok dan tokoh yang kontroversial, tetapi mendekam dalam tumpukan masa lalu sastra Jawa.

George Quinn (1992) menyebut Ki Padmasusastra sebagai pengembara, wartawan, cendekiawan, guru, dan orang terkucil. Sosok inilah yang mengawali pembentukan novel Jawa modern. Kompetensi sastra Ki Padmasusastra merupakan percampuran konstruktif dan kritis dari akar Jawa dan norma-norma sastra Eropa. Pengaruh Eropa secara intensif berasal dari interaksi dengan Van der Pant, HA De Nooy, AHJG Walbeehm, JA Wilkens, GAJ Hazeu, HN Killin, dan Winter.

Kekuatan akar tradisi sastra Jawa didapatnya dari pujangga Ranggawarsita. Ki Padmasusastra juga memiliki pergaulan intensif dengan pujangga-pujangga besar di Solo: Mangkunegara IV dan Pakubuwana IX. Dua pujangga ini merepresentasikan sastra keraton yang adiluhung. Sumber-sumber itu diolah dengan lincah dan memukau oleh Ki Padmasusastra dalam ketegangan sastra antara tradisi dan modernitas.

Laku sastra Ki Padmasusastra semakin keranjingan ketika menduduki jabatan kepala perpustakaan di Museum Radya Pustaka (Solo) yang didirikan oleh Patih Sasradiningrat IV pada tahun 1890. Kedudukan itu membuat Ki Padmasusastra suntuk dengan naskah-naskah Jawa. Kompetensi dalam bahasa dan sastra Jawa juga dibuktikan dengan peran sebagai penyunting untuk jurnal Sasadhara, Candrakanta, dan Wara Darma. Peran itu merupakan sambungan dari kerja Ki Padmasusastra ketika menjadi redaktur di majalah Bramartani. Majalah ini terbit di Solo sebagai pemula dalam jagat pers di Jawa.

Melawan keraton

Puncak dari laku kreatif Ki Padmasusastra dalam dunia bahasa dan sastra Jawa adalah penerbitan buku Serat Paramabasa (1883), Serat Urapsari (1896), Serat Bauwarna (1898), Serat Warna Basa (1900), Serat Tatacara (1907), Kandha Bumi (1924), dan lain-lain. Khusus Serat Rangsang Tuban, George Quinn menempatkannya sebagai teks yang mengandung ciri novel modern.

Kehadiran Serat Rangsang Tuban memang menjadi titik kritis dalam sejarah sastra Jawa. Ki Padmasusastra secara eksplisit mengonstruksi teks sastra dengan kesadaran modern. Sri Widati (2001) mencatat bahwa fakta pembaruan dalam Serat Rangsang Tuban adalah pemunculan tema emansipasi perempuan, pandangan pengarang untuk mementingkan ilmu pengetahuan, dan pemakaian bahasa Jawa sehari-hari.

Untuk itulah, tokoh ini menjuluki dirinya sendiri sebagai tiyang mardika kang marsudi kasusastran Jawi (orang merdeka yang menekuni sastra Jawa) dalam tiap publikasi karyanya. Sebutan ini digunakan sebagai wacana tandingan terhadap stereotip pujangga Jawa masa lalu dan masa itu. Spirit pembebasan dimunculkan dan menemukan bentuk pada teknik gancaran (prosaik atau naratif) sebagai tandingan dari tradisi puisi yang sejak lama menguasai sastra Jawa tradisional.

John Pamberton (2003) menjuluki Ki Padmasusastra sebagai etnografer modern Jawa yang pertama. Julukan yang diberikan untuk dedikasi pembacaan, pencatatan, dan penafsiran Jawa dari sudut pandang nonkeraton.

Dalam Tatacara—yang dirampungkan selama sebelas tahun (1893-1904)—ia menulis prolog tentang kesedihannya atas kepasrahan orang Jawa pada realitas dan pengetahuan.

Kesedihan itu muncul karena jagat sastra dan pengetahuan Jawa telah dikodifikasi secara ketat oleh pujangga-pujangga masa lalu. Ki Padmasusastra mencoba menjawab ironi dan kegundahan itu lewat kitabnya, Tatacara. Jawaban yang tentu belum selesai. Setidaknya selama orang Jawa, selaku pemilik dan pengembang, menempatkan sastra Jawa secara subordinatif di hadapan sastra lain. Selama orang Jawa tidak merasa bangga karena ia bersastra Jawa.

Apabila tak begitu, kita tahu, sebuah dunia, bernama sastra dalam arti kebudayaan yang ribuan tahun usianya itu, dapat mati, terbunuh oleh pemiliknya sendiri. Adakah negeri ini berdiri hanya untuk menciptakan tragedi seperti ini? Seratus dua puluh juta orang Jawa, terutama, yang harus menjawabnya.

* Bandung Mawardi, Pengarang, Anggota Kabut Institut dan Bale Sastra Kecapi Solo, Koordinator Ngudarasa Sastra di Balai Soedjatmoko Solo

Sumber: Kompas, Sabtu, 15 Agustus 2009

No comments: