Sunday, August 30, 2009

Sastra dan Industri Kreatif

-- Asarpin

SELAMA ini industri kreatif belum banyak dimanfaatkan kalangan sastrawan untuk memasyarakatkan sastra. Mungkin karena ada anggapan bahwa sastra berbeda dengan industri kreatif. Bahkan hubungan keduanya terkesan bertentangan.

Maka, wajar saja jika tak banyak sastrawan mencatatkan karyanya ke dunia industri kreatif. Padahal, di berbagai belahan dunia, industri kreatif tak jarang dijadikan media pemasyarakatan sastra. Tak cuma sebagai media bagi sastrawan untuk mengenalkan karyanya ke publik. Tapi industri kreatif tak jarang menjadi lahan basah yang mampu memperbaiki ekonomi keluarga.

Sekarang ini tak ada alasan bagi sastrawan untuk menolak rezeki yang ditawarkan industri kreatif. Sastrawan butuh perbaikan gizi dan perbaikan rezeki. Tidak sebagaimana selama ini, sastrawan justru identik dengan kemelaratan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Contoh Putu Wijaya dan Goenawan Mohamad yang mampu eksis dengan memanfaatkan ruang yang disediakan industri kreatif.

Dunia sastra tampaknya tak mungkin hidup eksklusif selamanya. Dunia di luar sastra berkembang begitu pesat. Mau tak mau juga menuntut para pencinta sastra untuk membuka diri. Kendati sebagian sastrawan kita tampak kebingungan saat membedakan sastra dengan industri kreatif; apakah sastra itu bukannya bagian dari industri kreatif, atau industri kreatif bagian dari sastra, tak kunjung jelas.

Iklan, musik, video, film, karya sastra adalah bagian dari konten kreatif. Jika sastra dikaitkan dengan industri kreatif, apa tidak membuat sastra di bawah logika industri? Apakah menghubungkan sastra dengan industri kreatif tidak berlebihan? Apakah yang sedang terjadi pada industri kreatif sesungguhnya?

Saya teringat ungkapan Putu Wijaya beberapa waktu lalu. Dunia sastra kita, kata Putu, masih kurang diperhatikan pemerintah. Padahal sastra dapat dijadikan instrumen untuk membangkitkan industri kreatif. Sastra berperan penting dalam pengembangan industri kreatif nasional dewasa ini. Tak satu orang dan satu bidang pun kini bisa lepas dari sastra. Karya sastra mengambil bagian dalam seluruh tata kehidupan. Tak ada yang terpisah dari sastra karena sastra sebagai totalitas dari bentuk ekspresi dengan bahasa sebagai basisnya. Sastra memberi nilai tambah dalam industri kreatif yang memainkan emosi. Masyarakat dapat melihat karya-karya, misalnya novel, yang dijadikan film yang laris: Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi.

Unsur utama industri kreatif adalah kreativitas, keahlian dan talenta yang bertujuan--selain kepuasan batin--menambah pendapatan. Beberapa produk industri kreatif misalnya, film, video, musik, permainan, media, pertunjukan, kerajinan tangan, tata busana. Atau di bidang jasa: desain, arsitektur, periklanan. Semua ini biasanya dicirikan oleh siklus hidup yang singkat, risiko tinggi, margin yang tinggi, keanekaragaman tinggi, persaingan tinggi dan mudah ditiru.

Kendati sudah beberapa sastrawan melibatkan diri pada industri kreatif, seperti keterlibatan mereka di acara di televisi, ternyata tidak membuat mereka meninggalkan sastra dan bersikap tidak kritis terhadap fenomena yang ada. Bagaimanapun, industri kreatif terbukti menjadi jalur alternatif. Mereka bisa mengekspresikan karyanya dengan memperoleh perhatian publik. Bahkan sebagian sastrawan ada yang secara materil cukup sukses sejak berkecimpung dalam industri kreatif. Sebut saja misalnya Goenawan Mohamad yang bergerak di dunia media, yaitu Tempo Group.

Pilihan Goenawan mengingatkan saya pada sikap teguh Karya dan Putu Wijaya yang begitu apresiatif dengan industri kreatif. Langkah mereka tak jarang mengingatkan saya pada ucapan Gabriel Garcia Marquez beberapa tahun lalu tentang kenyamanan ekonomi dan kesehatan yang terjaga, sampai kapan pun, merupakan hal yang kondusif untuk menulis.

Bahkan, sastrawan idealis macam Afrizal Malna pun tak jarang bergerak di industri kreatif. Beberapa kali Afrizal terlibat pembuatan skenario untuk sinetron di salah satu televisi swasta. Kendati demikian, Afrizal dan Goenawan tidak pernah mengorbankan karya sastra lantaran terlibat dalam dunia industri kreatif. Tapi, justru inilah fenomena keserentakan yang secara ekonomi mungkin saling menguntungkan, dan secara budaya mampu meluruhkan tegangan binari yang berurat-berakar dalam benak sebagian orang. Bukan wajah berlawanan yang saling cakar-cakaran, saling menegasikan, melainkan sebuah fenomen hiburan yang saling mengisi.

Tiap karya sastra yang baik, sebagaimana tiap industri yang kreatif, proses kelahirannya memerlukan kreativitas. Tak ada karya yang baik tanpa ketekunan dan inovasi yang memadai. Seorang penyair dan seorang perancang bangunan, atau seorang arsitek dan seniman, memiliki daya cipta yang mirip. Masyarakat industri dan masyarakat puisi kelihatan di permukaan sebagai bertentangan, tapi jika kita dekati dengan ranah bahasa, maka keduanya sama-sama menghasilkan suatu pekerjaan yang memerlukan kreativitas dan ketekunan, kecerdasan, dan imajinasi. Puisi adalah satu cabang dari sastra kreatif, atau bahkan salah satu genre sastra kreatif yang paling menantang imajinasi.

Baik puisi maupun industri, keduanya membutuhkan kreasi (suatu hasil daya cipta). Industri mengalami perkembangan yang dahsyat saat ini karena kreatif. Puisi tak mati-mati--bahkan kini sejumlah orang menyebut "abad puisi" bersamaan dengan sebutan "abad industri" yang muncul terlebih dulu--karena sifatnya inventif dan inovatif.

"Abad industri" dan "abad puisi" di sini, yang saya maksudkan adalah bagaimana keduanya kini berada pada perkembangan yang nyaris liar. Orang kini tak lagi menggebu-gebu bicara soal "kerajaan sains" dan filsafat sebagai induk semang ilmu pengetahuan. Sejak gagasan pascamodernisme jadi bahan perbincangan yang semarak pada dekade 1960-an hingga kini, orang mulai menempatkan sains tak lebih sebagai puisi. Segalanya kini dikembalikan pada puisi. Setidaknya, kalau mengikuti Christopher Langton, sains pun kini semakin puitis.

Jadi, baik puisi maupun industri, pada dirinya telah menunjukkan sesuatu yang kreatif. Kalau ada perbedaan di antara keduanya yang mungkin relevan di singgung di sini, maka letak beda itu pada tabiat penyair--terutama pada penyair liris -yang masih memosisikan diri sebagai kaum Luddisme yang jadi musuh abadi kemajuan industri teknologis.

Tak perlu ditambah embel-embel industri kreatif, puisi kreatif, keduanya memang sesuatu yang bersifat kreatif. Apa yang dinamakan kreativitas adalah sesuatu yang memiliki inspirasi, dan pada gilirannya melahirkan kemampuan untuk mencipta. Memang, tak semua industri dan puisi adalah kreatif. Ada industri dan puisi yang mengalami stagnan, lambat, beku, dan terancam mati. Kemampuan menghasilkan (baca: proses produksi), tak selalu sejalan dengan kreativitas.

Di sini puisi dan industri dihasilkan dari kegiatan memproses, atau mengolah sesuatu dengan alat. Puisi bekerja dengan kata, dengan image, dengan metafora, dengan nada. Sekalipun tidak semua puisi tergantung pada kata sebagai alat (seperti puisi-puisi mantra Sutardji), tapi hakikat puisi tak mungkin sepenuhnya mengelak dari kata. Dan terbukti, Sutardji sendiri akhirnya kembali kepada kata.

Sementara industri berproses menghasilkan barang-barang dengan menggunakan mesin. Dengan mesin, dengan kata, terjadilah pelipat-gandaan puisi dan industri. Secara tak langsung juga terjadi pelipatgandaan pada sistem komunikasi antarmanusia. Di sinilah tantangan bagi upaya memasyarakatkan sastra dan mengenalkan industri kreatif.

Bila ada yang beda antara puisi dan industri, beda itu terletak pada ideal tertinggi puisi kini bukanlah kolektif, tapi pribadi. Setidaknya itulah pendapat Octavio Faz dalam kuliah Nobel Kesusastraan 1990. Ketika kerinduan industri kreatif akan kebutuhan hidup manusia tak tertangguhkan lagi, anehnya para penyair terus saja memusatkan diri pada tragedi dan kesepian manusia individual. Maka wajar saja jika kebanyakan sastrawan kita tidak gaul, alias kurang pergaulan. Wajar pula jika upaya memasyarakatkan karya sastra seolah tak kunjung memperlihatkan ujung.

* Asarpin, Peserta Program Penulisan Mastera 2009 untuk genre esai

Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Agustus 2009

No comments: