Sunday, August 23, 2009

Cerpen Remaja dari Suatu Lomba

TIGA ratus cerita pendek (cerpen) diterima panitia Lomba Cerpen Remaja se-Jawa Barat 2009. Cerpen-cerpen itu datang dari berbagai kota, bahkan beberapa di antaranya dari luar Jawa Barat. Lomba yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Bandung ini menyimpan janji bahwa ia akan memberi bayangan ke depan ihwal perkembangan sastra (cerpen) Indonesia ke depan. Akan tetapi, jika bayangan itu dianggap berlebihan, paling tidak dengan lomba ini, tingkat dan minat apresiasi remaja di Jawa Barat terhadap sastra bisa terbaca, terutama di kalangan pelajar SMA. Terlebih lagi, panitia tidak membatasi lomba ini dengan tema tertentu dan pengertian "Cerpen Remaja" yang dimaksud panitia adalah cerpen yang ditulis oleh remaja berusia antara 16 dan 20 tahun.

Dari tiga ratus cerpen yang dinilai dewan juri (Nenden Lilis Aisyah, Ahda Imran, dan Etti R.S.), umumnya didominasi oleh kisah-kisah seputar kehidupan remaja. Tak hanya romantisme percintaan ala sinetron, tetapi juga merambah ke berbagai tema. Dari mulai tema-tema misteri, religius, hingga sosial. Seluruhnya hadir dengan suasana bercerita khas remaja; lincah, lepas, naif, klise, imajinatif, hingga yang melakukan proses penulisan tak ubahnya suatu riset, lengkap dengan catatan kaki dan kolase berita koran.

Tentu saja agak berlebihan jika berharap bahwa lomba ini akan menghadirkan sejumlah karya-karya cerpen remaja yang mengejutkan. Akan tetapi, ternyata tidak. Umumnya karya dalam lomba cerpen ini memang sangat mengejutkan dalam konteks kualitas teknik penulisan. Tetapi alih-alih kejutan itu menggembirakan, sebaliknya diam-diam justru menimbulkan semacam kesedihan. Satu hal yang amat terasa dalam karya-karya mereka adalah kuatnya pengaruh sinetron dan SMS atau budaya lisan.

Bukan hanya dalam eksplorasi tematik, bangun cerita, plot, karakter, atau teknik penulisan lainnya, bahkan dalam hal yang paling elementer. Memperhatikan format atau anatomi cerpen itu sendiri, terasa betapa para remaja lebih mengandalkan budaya lisan ketimbang tulisan. Padahal beberapa di antaranya, secara ide dan gagasan relatif menampilkan potensi-potensi yang segar jika saja didukung penguasaan teknik penulisan cerpen.

Dengan kata lain, tiga dewan juri tampaknya tak cukup memiliki persiapan untuk menerima kejutan yang tak terduga ini. Tak sedikit cerpen yang menggunakan bahasa gaul dengan gaya menulis SMS. Tak hanya dalam dialog, tetapi juga dalam deskripsi cerita. Belum lagi ejaan yang menunjukkan betapa gagapnya para remaja kita mengekspresikan dirinya lewat bahasa tulisan, sehingga mereka tidak bisa membedakan mana awalan mana kata petunjuk di sebuah kalimat sehingga seorang juri sampai menggerutu pada rekannya, "Jadi apa saja kerja guru bahasa itu?"

Demikian pula dalam bangun cerita, terutama pada cerpen yang melukiskan romantisme percintaan di sekolah, amat terasa pengaruh kuat budaya tontonan seperti sinetron. Ada bagian yang selalu sama pada cerpen-cerpen sejenis ini, yakni, anak baru di kelas yang jadi rebutan. Konflik berkisar cinta, persaingan, "jadian", dan kecemburuan dengan setting kota besar dan orang gedongan. Lalu, seperti dalam banyak adegan sinetron, cerita diramu dengan peristiwa-peristiwa dramatik di rumah sakit, dengan klimaks yang penuh kejutan, dan ending yang membahagiakan, seraya menutupnya dengan semacam kesimpulan.

Tetapi, mungkin tak apa. Terlalu cepat juga menjatuhkan klaim bahwa para remaja kita ternyata tidak mendapat pendidikan bahasa yang optimal. Bagaimanapun, di antara karya-karya yang menyedihkan itu ada juga beberapa di antaranya memperlihatkan bagaimana mereka telah akrab dengan bahasa tulisan. Demikian pula dalam pemilihan cerita. Selain yang melulu mengangkat kisah cinta-cintaan, ada juga beberapa cerpen yang bertutur tentang nasib dan guru idola mereka, keluarga, misteri kematian, atau yang bertemakan cinta dengan gagasan kesadaran islami. Dan umumnya, suasana serta emosi penceritaan hadir dengan tekanan yang serba melodramatik.

Tetapi, ada karya yang terpaksa didiskualifikasi karena orisinalitasnya. Karya itu dengan terang-terangan mengambil sebagian dari karya orang lain, yang sialnya itu adalah karya salah seorang anggota dewan juri.

**

TIGA puluh karya lalu terpilih sebagai unggulan untuk disaring kembali oleh dewan juri. Ketiga puluh cerpen ini paling tidak dianggap tak lagi bermasalah dalam bentuk dan isi, di bandingkan dengan karya-karya lainnya. Deskripsi cerita dengan eksplorasi bahasa yang jelas, juga ide cerita dan gagasan yang unik serta menarik. Dari tiga puluh karya ini, terpilihlah sepuluh karya unggulan, yakni "Seutas Kasih", "Air Mata Dalam Hujan", "Fragmen", "Sawah vs Sepeda Motor", "Imanuel", "Perjamuan Izrail", "Tentang Bulan dan Bintang", "Cendrawasih Merah Putih", "Panggil Namaku Ratri", dan "Tromol".

Meski dalam teknik penulisan tak ada yang terlalu istimewa, tetapi sepuluh cerpen ini memiliki kelebihan dalam mengeksplorasi gagasan tematiknya. Kesepuluh cerpen unggulan ini menampilkan berbagai dunia kisahan yang menarik. Sebutlah, "Seutas Kasih" yang dengan sangat bersahaja bertutur tentang seorang gadis SMA dan penjaga toko fotokopi yang diam-diam saling menaruh perhatian, tanpa terjebak menjadi percintaan yang klise. Keduanya hanya saling memandang dari kejauhan. Demikian pula "Perjamuan Izrail" yang mengangkat kesadaran ihwal kematian, dan kisah futuristik suatu kota dalam "Imanuel", atau yang mengembuskan narasi nasionalisme di Papua dalam "Cendrawasih Merah Putih". Juga tentang mimpi seorang gadis yang menjadi seorang penyanyi dangdut terkenal dalam "Panggil Namaku Ratri", sampai yang menyentuh persoalan filsafat ketuhanan dalam "Fragmen".

Tema-tema sosial juga hadir dengan menarik dalam sepuluh cerpen unggulan ini. Misalnya, potret kemiskinan yang terasing di tengah masyarakat yang religius dalam "Tromol", dan "Air Mata Hujan" yang berkisah ihwal nasib TKI, atau yang mengangkat persoalan eksistensial manusia dalam cerita yang imajinatif dalam "Tentang Bulan dan Bintang".

Satu hal yang amat disayangkan, dan inilah yang umumnya banyak ditemukan, adalah bagian akhir cerita yang nyinyir. Jika tidak mengaburkan, bagian akhir yang terkesan ingin menjadi kejutan di penghujung cerita itu, kerap kali malah melemahkan nuansa cerita dan gagasan yang telah dibangun.

Tetapi dengan menolerir kekurangan-kekurangan tersebut sebagai suatu proses demi menimbang potensi yang bisa lebih diasah, kesepuluh cerpen ini tampaknya menjanjikan suatu harapan ke depan bagi dinamika penulisan dan apresiasi sastra remaja di Jawa Barat. Dari sepuluh cerpen unggulan tersebut, terpilihlah lima pemenang, yakni Pemenang Satu, "Tromol" (Adityo Wisnu Wibowo); Pemenang Dua, "Panggil Namaku Ratri" (Novita Wibowo); Pemenang Tiga, "Cendrawasih Merah Putih" (Yasmin Nindya Chaerunissa); Harapan I, "Tentang Bulan dan Bintang" (Eka Kartika Sadarayna); Harapan II, "Perjamuan Izrail" (Aan Herdiana).

Para pemenang telah terpilih. Akan tetapi, satu hal kini yang menjadi kewajiban Balai Bahasa Bandung sebagai penyelenggara adalah memikirkan bagaimana menyimpan jejak karya mereka dalam antologi cerpen remaja yang niscaya akan menjadi sebentuk motivasi. Tak hanya motivasi bagi mereka yang karyanya terpilih, tetapi juga bisa menjadi medium apresiasi berikutnya bagi para remaja. Paling tidak, jejak itu tidak akan membuat lomba cerpen ini hanya terkesan melulu mencari pemenang. (Ahda Imran)***

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Agustus 2009

No comments: