-- Amir Sidharta
GARA-GARA tari pendet tampil di iklan promosi pariwisata Malaysia, kita kembali naik pitam terhadap Negeri Jiran tetangga kita itu. Kemarahan dan kekesalan atas hal itu dilontarkan dalam tweets para pelanggan twitter Indonesia hari ini. Pada akhir tahun yang jadi masalah adalah lagu ”Rasa Sayange” yang konon juga sudah diklaim Malaysia. Malah, konon Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sudah mempersiapkan surat protes keras kepada Pemerintah Malaysia.
Kalau permasalahannya adalah klaim blok Ambalat, mungkin memang kita perlu marah, mengambil sikap tegas dan melayangkan protes. Sebenarnya memang soal pendet itu juga cukup menyebalkan, tapi setelah mengendapkan kekesalan selama semalam, saya pikirkan hal itu kembali: kalau Malaysia mau menyanyikan lagu ”Rasa Sayange” atau menari pendet, kenapa kita harus marah-marah sebenarnya? Justru seharusnya kita boleh berbangga karena jika seni dan budaya kita sudah diapresiasi dan bahkan dibanggakan orang lain, itu menunjukkan bahwa seni dan budaya kita itu dianggap hebat dan memiliki pengaruh yang luas.
Mitos bahwa spageti dan ravioli yang dikenal sebagai makanan Italia merupakan salah satu hasil pengaruh dari perjalanan saudagar Venezia, Marco Polo, ke China dan ketertarikannya pada mi dan pangsit, kini tentu dibanggakan oleh orang China walaupun hal itu kemungkinan besar tidak tepat ataupun benar. Kaum Buddha di India tentu justru bangga bahwa di Indonesia ada Kalasan yang kemungkinan dipengaruhi Candi Kailash di Elora. Malaysia juga tentu berbangga ketika orang Indonesia memilih bahasa pemersatunya dari akar bahasa Melayu. Pemusik Inggris dan Amerika tentunya berbangga dengan banyaknya pemusik Asia yang mengikuti gaya menyanyi dan penampilan mereka. Afrika Bambaata, sesepuh hiphop dari East Bronx, pasti tersenyum-senyum bangga jikalau lagu-lagu ”Hiphop Jogja”-nya Marzuki Muhammad sampai ke telinganya.
Budaya itu senantiasa berkembang, dan dalam perkembangannya akan terjadi perpindahan atau semacam distribusi ke daerah-daerah yang kurang mampu mengembangkannya sendiri. Budaya keraton yang inggil ”mengalir turun” ke desa-desa. Ketika China jaya, budayanya memengaruhi Asia Tenggara. Ketika Eropa jaya, budayanya juga memengaruhi jajahan-jajahannya. Oleh karena itu, kalau seni dan budaya kita bergaung di negara tetangga yang mungkin lebih miskin secara budaya, kita tidak perlu repot-repot marah-marah. Malah kita harus berdiri bangga dan tertawa. Mungkin boleh kita tanyakan siapa guru geografi mereka.
Pada tahun 1980-an, ketika tempe mulai menjadi populer di dunia dan kemudian muncul tempe burger, kita juga berbangga. Kita berbangga ketika beberapa penerbitan internasional menerbitkan buku-buku tentang batik. Kita juga berbangga ketika bahasa Indonesia mulai diajarkan di sekolah-sekolah Australia.
Tapi, belakangan ini, bangsa kita seperti bangsa yang kurang percaya diri dan paranoid, ketakutan kehilangan seni dan budaya kita. Mungkin ini lebih mencerminkan kekurangpedulian kita atas seni budaya kita sendiri. Lucunya, sebagaimana terlihat dalam banyak video-video di youtube.com, lagu itu rupanya memang menjadi bagian dari keseharian orang Malaysia. Sementara dalam suatu kesempatan acak, ketika beberapa orang Indonesia diminta menyanyikan lagu ”Rasa Sayange”, tidak seorang pun yang terkesan fasih menyanyikan lagu itu secara lengkap. Kita suka mengklaim, tapi sebenarnya tidak terlalu peduli, apalagi paham, atas seni budaya kita sendiri. Mungkin karena itulah kita jadi paranoid dan kurang percaya diri.
Pada tahun 1996, lebih dari 20 lukisan, termasuk karya Affandi dan Raden Saleh, tercuri dari Galeri Nasional Indonesia. Karena adanya kejadian itu, terungkaplah bahwa sebelumnya lukisan-lukisan itu dibiarkan kurang terawat dan berdebu di gudang penyimpanan tanpa banyak yang peduli. Barulah setelah pencurian itu terungkap, kita kasak- kusuk dan menaruh perhatian terhadap permasalahan itu.
Kini, perhatian terhadap karya-karya seni kita di museum- museum juga sudah surut lagi. Coba kita tanya diri kita sendiri terlebih dahulu: Kapankah kita terakhir menonton pertunjukan seni tradisional di desa asalnya? Berapa lagu daerah yang bisa kita nyanyikan? Berapa jenis tarian daerah yang kita kenal dan ketahui daerah asalnya? Apakah ciri khas dari pelukis Affandi? Apa bedanya dari corak lukisan Soedibio? Apakah yang dimaksud dengan motif semen dalam batik? Siapakah yang menggubah lagu ”Hanya Semalam”? Banyak lagi pertanyaan yang akan bikin kita jadi merasa harus kembali mempelajari seni dan budaya kita secara lebih mendalam. Kapankah kita terakhir mengunjungi museum kita?
Sepertinya, surutnya rasa percaya diri kita atas kepemilikan seni dan budaya kita merupakan akibat kekurangpedulian atau bahkan ketidakpedulian kita atas warisan yang kita miliki itu. Oleh karena itu, mudah-mudahan insiden pendet ini akan membuat kita sadar bahwa kita perlu lebih peduli, lebih menyayangi, dan lebih membanggakan warisan budaya milik kita dengan cara memperluas dan memperdalam pengetahuan kita akan hal itu.
Kita butuh belajar dan meneliti lebih banyak tentang seni dan budaya kita agar masyarakat dunia tahu lebih banyak tentang sejarah dan budaya kita. Begitu banyak hal yang belum benar-benar tergali dari Indonesia, dan ketika ada upaya untuk menggali dan menyampaikannya kepada publik Indonesia, kita cenderung untuk apatis saja, tidak memedulikannya. Banyak hasil karya para peneliti, kurator, dan pekerja seni diupayakan untuk ditampilkan kepada masyarakat umum, tapi museum-museum, ruang-ruang pameran, gedung-gedung pertunjukan, dan perpustakaan kita tetap sepi pengunjung.
Usaha untuk belajar dan meneliti sebaiknya kita lakukan sebelum berkembangnya perhatian orang Malaysia atas tarian itu. Seorang Malaysia yang cukup berpengaruh, yang mengikuti pembahasan kita melalui twitter, dengan separuh berguyon mengirimkan saya direct message yang intinya mengatakan bahwa masyarakat Malaysia pada umumnya pasti sebenarnya tidak tahu apa itu tari pendet, dan tidak bisa mengidentifikasi bagian mana dalam iklan itu yang dimaksud sebagai tari pendet. Jadi, tidaklah mungkin mereka dianggap mengklaim tarian itu sebagai tarian mereka. Yang jelas, mumpung mereka belum paham tari pendet itu sebenarnya yang mana, kita bekali diri kita dengan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang seni dan budaya kita. Barulah ketika kita paham, kita bisa benar-benar berbangga dan percaya diri, serta tidak perlu paranoid lagi atas ancaman klaim dari mana pun.
Dengan berbekal pengetahuan dan rasa percaya diri itu, kita bisa memanfaatkan disertakannya sebuah tarian Bali dalam iklan promosi pariwisata Malaysia. Tidak perlu dengan protes-protes, dengan tertawa dan bersukacita, kita bisa menyebarkan informasi melalui twitter, facebook, dan jaringan informasi viral bahwa tarian yang muncul di iklan itu adalah tari pendet dari Bali, dan Bali adalah bagian dari Republik Indonesia kita tercinta, dan oleh karena itu wisatawan mancanegara bisa berkunjung lebih lama ke Indonesia karena di negara inilah ragam budaya yang sangat kaya tersedia menyambut mereka.
* Amir Sidharta, Kurator, Kritikus Seni Rupa
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Agustus 2009
No comments:
Post a Comment