Friday, August 21, 2009

[Fokus] Perbatasan NTT-Timor Leste: Daftar Masalah di Tapal Batas

-- Kornelis Kewa Ama dan Fandri Yuniarti

AWAL Agustus lalu, Konsul Jenderal Republik Demokratik Timor Leste di Kupang, Caetamo Gutteres, dalam suatu pertemuan dengan Menteri Sekretaris Negara Bidang Keamanan Timor Leste Fransisco Gutteres di Kupang, Nusa Tenggara Timur, mengungkapkan, sejak tahun 2002 hingga saat ini sudah ribuan warga eks Timor Timur yang minta dipulangkan ke Timor Leste.

”Ekonomi keluarga jauh dari memadai. Menyekolahkan anak pun tak mampu,” demikian alasan pemohon.

Sebenarnya, apa yang menyebabkan keterpurukan warga eks Timor Timur (kini Timor Leste) itu, dan adakah peluang mereka untuk maju di negeri ini?

Menurut data Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi NTT tahun 2005, jumlah pengungsi asal Timor Timur (Timtim) yang kemudian ditetapkan sebagai warga Indonesia eks Timtim adalah 104.436 jiwa. Ketika masuk ke NTT, akibat Timtim lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 30 Agustus 1999, mereka ditampung di tenda-tenda atau barak-barak pengungsian.

”Kini, sebagian besar sudah menetap di permukiman penduduk. Tinggal sekitar 14.000 (3.790 keluarga) yang masih di barak pengungsian. Tapi, jumlah mereka bertambah lagi karena mereka berkembang, banyak yang menikah dan punya anak. Tahun ini pemerintah menargetkan pembangunan 1.000 rumah untuk 1.000 keluarga,” kata Yos Mamulak, Asisten Tata Praja Sekretariat Daerah NTT.

Yos mengakui, hidup sebagian besar warga eks Timtim memang pas-pasan karena mereka tak memiliki lahan pertanian dan tak punya pekerjaan tetap. ”Penduduk miskin di NTT yang jumlahnya cukup banyak tentu akan marah jika pemerintah memberikan lahan pertanian kepada mereka,” ujarnya.

Tukang ojek

Saat ini warga eks Timtim tinggal di sejumlah wilayah di NTT, seperti di Kota/Kabupaten Kupang, Belu, Timor Tengah Utara, dan Timor Tengah Selatan. Belu merupakan kabupaten yang terbanyak menampung mereka (70.453 dari 104.000-an jiwa yang masuk ke Indonesia).

Keluarga yang tinggal di permukiman penduduk pada umumnya menempati lahan 150-200 meter persegi. Di Kampung Kota Bot, Desa Turiskain, Kecamatan Raihat, Kabupaten Belu, misalnya, kini ada 131 keluarga (487 jiwa) asal Tunubibi dan Maliana (Timor Leste). Mereka tinggal di satu permukiman khusus.

Rumah mereka sangat sederhana: dinding rumah berupa bebak (pelepah daun lontar), beratap daun lontar. Pembangunan rumah itu dibantu Care International, organisasi kemanusiaan yang membantu keluarga miskin di negara berkembang. ”Tahun 2005/2006 lahannya (masing-masing) kami beli Rp 500.000 dengan uang pribadi,” cerita warga.

”Penduduk lokal (warga asli NTT) tidak mau lagi menjual tanah mereka. Sekarang ini saya menyewa lahan satu hektar untuk menanam ubi dan jagung. Harga sewanya Rp 600.000 per satu kali panen,” ungkap Aniceto Alfonso (29), warga Kota Bot, seraya mengatakan, hasil panen itu dia gunakan untuk kebutuhan keluarga, alias dimakan sendiri.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, kaum bapak biasanya juga beternak sapi atau kambing, mencari kayu bakar, baik untuk dipakai sendiri maupun dijual, atau mencari atau memecah batu untuk dijual. Ada juga yang jadi tukang bangunan atau tukang ojek. Kaum ibu sebagian besar menenun tais, yang dijadikan selendang atau sarung.

Namun, di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, salah satu stasiun pengisian bahan bakar untuk umum telah mempekerjakan beberapa warga eks Timtim sebagai pelayan. Di sejumlah pertokoan, beberapa pemilik toko merekrut sebagian bekas pengungsi sebagai pelayan.

Kawasan perairan

Sejak Timtim lepas dari Negara Kesatuan RI sepuluh tahun lalu, sebenarnya banyak masalah yang muncul dan perlu ditangani secara serius. Tak hanya soal warga yang memilih tetap menjadi warga negara Indonesia (yang disebut warga eks Timtim), tetapi juga sejumlah masalah lain.

Batas wilayah daratan yang berupa sungai—yang kering pada musim kemarau ini—atau hutan tanpa pagar, misalnya, terkesan milik bersama warga kedua negara. Mereka, termasuk ternak sapi dan kambing, bisa lalu lalang di sana, mencuri kelengahan aparat keamanan. Setidaknya, ini terjadi di empat dari tujuh tapal batas di NTT yang kami datangi, yakni Haumeniana dan Wini (Kabupaten Timor Tengah Utara) serta Turiskain dan Motaain (di Kabupaten Belu).

Kondisi tapal batas yang demikian tidak jarang dijadikan lahan untuk mengadakan perdagangan gelap kecil-kecilan. ”Warga eks Timtim kadang-kadang menjual 10 bungkus mi instan atau 5 liter minyak tanah kepada warga Timor Leste. Tapi, biasanya mereka masih ada hubungan kekerabatan,” tutur sejumlah aparat keamanan yang ditemui di beberapa tapal batas.

Menurut data Badan Pertanahan Nasional NTT, sesuai dengan batas yang telah ditetapkan itu, belakangan juga diketahui ada sekitar 62 kilometer persegi wilayah RI yang ternyata masuk wilayah Timor Leste. ”Terutama wilayah ulayat warga,” kata Yos. Tapi, dia tidak ingat wilayah mana saja yang disengketakan.

Akibatnya, warga di perbatasan yang bermasalah tersebut menolak pemasangan plang atau tanda batas wilayah. Saat ini, dari 30 plang yang direncanakan dibuat, baru dibangun tujuh plang.

Tokoh masyarakat Desa Nilulat, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara, Aleks Tnone, mengatakan, berdasarkan informasi dari aparat pemerintah daerah yang dia terima, di kawasan perbatasan Haumeniana ada lahan warga Nilulat yang diklaim sebagai milik Timor Leste.

Klaim wilayah daratan tak hanya datang dari warga RI, tetapi juga dari negara tetangga. Pasar bersama yang sudah dibangun di Pos Lintas Batas Motaain sejak setahun lebih, menurut Yos, hingga kini belum juga beroperasi karena diklaim menjorok ke wilayah Timor Leste.

Kerancuan soal batas wilayah juga terjadi di kawasan perairan. John Kiik, nelayan asal Atapupu, Kabupaten Belu, mengatakan, sejumlah nelayan Indonesia yang mencari ikan di Selat Ombai (antara Pulau Timor dan Pulau Alor) tak jarang ditangkap aparat keamanan Timor Leste.

Tenggelam

Perlunya pembahasan lintas batas perairan sebenarnya juga berkaitan dengan pemanfaatan kawasan yang bisa berdampak negatif. Menurut sejumlah warga Desa Silawan (di perbatasan Motaain-Batugade), mereka sering ke Batugade (Timor Leste) menggunakan perahu, bahkan mengantar warga yang minta diseberangkan ke Timor Leste.

”Kami tidak lewat petugas imigrasi atau aparat keamanan di Motaain maupun Batugade. Kami jalan santai karena tidak pakai perahu bermesin,” papar para nelayan tersebut santai.

Perjalanan yang sebenarnya melanggar UU itu kadang-kadang juga meminta korban jiwa. Tanggal 27 Juli lalu, satu warga eks Timtim, Rosalinda Soares (32), tewas akibat perahu yang dia gunakan dari sekitar pelabuhan Atapupu terbalik di perairan menjelang Timor Leste.

Kepala Kepolisian Daerah NTT Brigjen (Pol) Antonius Bambang Suedi yang dihubungi beberapa waktu lalu mengakui bahwa persoalan batas wilayah perairan RI-Timor Leste harus segera dituntaskan.

Menurut Bappeda NTT, kendala penuntasan masalah lintas batas NTT-Timor Leste antara lain adalah terbatasnya prasarana, sarana, sumber daya manusia, dan regulasi. Hal lain adalah karena belum padunya kegiatan keimigrasian, kepabeanan, dan karantina, serta belum tuntasnya kesepakatan batas negara di daratan maupun perairan.

Daftar catatan permasalahan tampaknya cukup panjang. Waktu sepuluh tahun untuk membahas wilayah perbatasan NTT dengan bekas provinsi ke-28 Indonesia itu bisa dikatakan belum terlalu lama.

Akan tetapi, pemerintah sepatutnya memprioritaskan penyelesaian masalah-masalah yang belum tertangani itu, terutama dalam kaitan peningkatan kesejahteraan dan perlindungan masyarakat, serta kedaulatan negara.

Seperti diberitakan, awal Agustus lalu seorang warga eks Timtim yang pulang ke kampung halamannya ditahan kepolisian Timor Leste. Padahal, dia memiliki dokumen perjalanan yang lengkap. Bukankah ini sinyal, lemahnya kedaulatan?

(Iwan Setiyawan)


Sumber: Kompas, Jumat, 21 Agustus 2009

No comments: